Puisi Wahyu Prasetya

Puisi: Menatap Bendera dalam Gerimis (Karya Wahyu Prasetya)

Menatap Bendera dalam Gerimis kelembutan waktu yang melahirkan seribu musim dan sejarah dalam masa lalu yang dicucuri airmata dari segala orang. saat…

Puisi: Surat Carok (Karya Wahyu Prasetya)

Surat Carok 99 malam kuasah celurit melebihi sorot mata kekasih di tengah peradaban yang dijejalkan sebagai simbol lenturnya lidah kita telah berjanj…

Puisi: Tarian Mer (Karya Wahyu Prasetya)

Tarian Mer ……"…susu yang inilah, susu yang itulah…" Syair lagu dangdut itupun memantul ke dinding kayu, ke jendela Berkelambu, gerit lantai…

Puisi: Urbanisasi dari Meja Makan (Karya Wahyu Prasetya)

Urbanisasi dari Meja Makan bagi: goenawan muhamad anak-anakku menggelar peta dunia di wajahku mencari syair samudra dan reruntuhan perang juga meneba…

Puisi: Sepasang Sepatu Tambang (Karya Wahyu Prasetya)

Sepasang Sepatu Tambang Lelaki lelaki biasa itu meninggalkan pintu rumah sebagai kepompong Kini, ke sudut masa kini, mereka menjelma kupu-kupu baja, …

Puisi: Memandang Anak-Anak Tak Bersepatu (Karya Wahyu Prasetya)

Memandang Anak-anak Tak Bersepatu hanya matahari yang tumbuh di telapak kaki kecil itu menuju sekolah atau tempat ibadah, kerikil menjelma kudis dan …

Puisi: Kemerdekaan dalam Diary Anni Fitria (Karya Wahyu Prasetya)

Kemerdekaan dalam Diary Anni Fitria kesenyapan yang menjauh dari keriuhan kota serta mikrophon, menjauh dari berita dan gerutu, Allahuakbar, huruf ta…

Puisi: Lembaran (Karya Wahyu Prasetya)

Lembaran sisa kumandang suara takbir masih menghiasi hari kasih dan matahari ranum di belahan langit betapa lain sambutan dari ribuan tangan senyumku…

Puisi: Muka (Karya Wahyu Prasetya)

Muka ( I V) matahari masih datar menyelinap di sela ilalang Engkau mengangkat pijar bayang bayang seketika bibir merupa sama terkatup doa tipis tebar…

Puisi: Stamboel Dewi (Karya Wahyu Prasetya)

Stamboel Dewi Jaman yang kini meminta museum untuk dikenang , mengubur Seribu gramofon dan babak tonil dalam dunia. Saat asia Meluncur dalam iklan se…

Puisi: Belajar Membaca Hutan (Karya Wahyu Prasetya)

Belajar Membaca Hutan Sejak aku bisa membaca kitabmu tentang kebajikan alam. Hidup dan kematian, aku begitu riang menjalani tepian hutan Sampai ke pa…

Puisi: Amsal Tugu (Karya Wahyu Prasetya)

Amsal Tugu diserahkan waktu batu yang ibuku menunggu menatap war-wer yang membawa ayat istri anak-anakku penengadah memanjat hikmah tujuh kembang tuj…

Puisi: Amsal Los Pasar (Karya Wahyu Prasetya)

Amsal Los Pasar (antara ngasem – beringharjo) ya langkah itu ke itu juga menemani terik tak lagi menghindari matahari di saku celana dan gemuruh seju…

Puisi: Amsal Tepi Kali Code (Karya Wahyu Prasetya)

Amsal Tepi Kali Code ada saja harapan yang melereng di tebing atau riak pedih coklat dan bahagia mengapung lebih setia menganyam duka pada batu kecup…

Puisi: Metafora Mata Hutan Mahang (Karya Wahyu Prasetya)

Metafora Mata Hutan Mahang Aku mulai menyukai tatapan mata mistik dari balik belukar Berada disekitar tepian atau tengah hutan yang menarikku kearahn…

Puisi: Amsal Coitus Pertama (Karya Wahyu Prasetya)

Amsal Coitus Pertama ranjang yang kubeli dengan angsuran ternyata membawa berkah pada sejarah nadiku menabung desah berat dan gelisah hingga kusulur…

Puisi: Anakku Menulis Merdeka atau Mati (Karya Wahyu Prasetya)

Anakku Menulis Merdeka atau Mati Dengan cat semprot anakku menulis di dinding-dinding rumah kalimat yang ia pilih dari buku tulis sejarah sekolah da…

Puisi: More Fool Me (Karya Wahyu Prasetya)

More Fool Me buat: beni setia menemukan ketenangan jalan dalam wajah debu masihkah kecermatan bayang-bayang itu menangkap keberanian atau kemuliaan d…
© Sepenuhnya. All rights reserved.