Setiap kali bulan Ramadan tiba, masyarakat Indonesia diramaikan dengan berbagai tradisi khas, salah satunya adalah War Takjil, atau perburuan makanan berbuka puasa. War Takjil adalah sebuah istilah yang merujuk kepada persaingan antara pedagang makanan ringan atau takjil yang terjadi menjelang waktu berbuka puasa selama bulan Ramadan.
Dalam War Takjil, para pedagang tersebut berlomba-lomba untuk menarik perhatian dan memikat pelanggan dengan berbagai macam makanan kecil atau minuman yang disajikan untuk berbuka puasa. War Takjil umumnya terjadi di sepanjang jalan-jalan atau area pasar yang ramai, di mana pedagang-pedagang tersebut mendirikan tenda atau gerobak untuk menjual berbagai macam takjil kepada umat Muslim yang sedang berpuasa. Takjil yang dijual biasanya berupa makanan ringan, minuman segar, buah-buahan, atau hidangan kecil lainnya yang mudah dinikmati untuk memecah puasa.
Fenomena War Takjil sering kali menjadi bagian dari tradisi budaya di banyak negara dengan mayoritas penduduk Muslim, di mana masyarakat bersuka cita dalam mencari dan menikmati takjil yang beragam selama bulan Ramadan. Selain itu, War Takjil juga menjadi momen di mana masyarakat berinteraksi dan bersosialisasi satu sama lain, menciptakan suasana kebersamaan dan kegembiraan menjelang berbuka puasa.
Di berbagai tempat, dari kota besar hingga pelosok desa, takjil dijajakan dengan beragam bentuk dan rasa, menciptakan suasana khas yang hangat dan penuh semangat. Namun di balik keceriaan dan keramaian itu, terdapat satu kelompok yang sering luput dari perhatian: umat minoritas yang tidak menjalankan ibadah puasa.
Indonesia dikenal sebagai negara yang majemuk, baik dari segi agama, budaya, maupun etnis. Dalam masyarakat yang plural ini, umat Islam memang menjadi mayoritas, tetapi ada pula umat Kristen, Hindu, Buddha, Konghucu, dan kepercayaan lokal yang hidup berdampingan. Ketika bulan Ramadan tiba, sebagian dari mereka tidak ikut berpuasa, namun tetap menjadi bagian dari kehidupan sosial yang berlangsung selama bulan suci tersebut. Fenomena War Takjil yang identik dengan semangat berburu makanan jelang berbuka sering kali menjadi ajang kebersamaan.
Yang menarik, tak jarang umat non-Muslim juga turut meramaikan suasana ini, baik sebagai penjual, pembeli, bahkan sebagai bentuk solidaritas terhadap rekan-rekan Muslim. Banyak dari mereka yang dengan penuh toleransi menyesuaikan aktivitas publik mereka, menghargai orang-orang yang sedang berpuasa, bahkan ikut membagikan takjil secara sukarela. Ini merupakan wujud nyata dari keberagaman yang saling mendukung dan menghargai.
Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam beberapa situasi, umat minoritas justru merasa terpinggirkan, baik secara sosial maupun kultural. Di tengah semangat War Takjil, mereka kadang dianggap asing atau bahkan tak layak ikut serta dalam perayaan yang identik dengan mayoritas. Padahal, dalam konteks negara yang menjunjung tinggi nilai Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal Ika, keberadaan umat minoritas seharusnya tidak hanya diakui, tetapi juga dilibatkan dalam suasana kebersamaan. Peran umat minoritas dalam menjaga keharmonisan selama Ramadan sangat penting. Mereka yang dengan penuh kesadaran menahan diri untuk tidak makan atau minum di tempat umum sebagai bentuk penghormatan, menunjukkan betapa kuatnya rasa empati dan toleransi antar umat beragama. Sebaliknya, umat mayoritas juga perlu menunjukkan keterbukaan dan penghargaan terhadap mereka yang berbeda keyakinan. Ramadan bisa menjadi momentum untuk memperkuat semangat kebangsaan, mempererat solidaritas antarwarga, dan mematahkan sekat-sekat yang memisahkan.
Fenomena War Takjil bukan hanya soal makanan dan berbuka puasa, tapi juga simbol dari hidup bersama dalam keberagaman. Keterlibatan umat minoritas dalam suasana Ramadan menunjukkan bahwa semangat toleransi di Indonesia masih hidup dan nyata. Alih-alih menjauhkan, perbedaan seharusnya menjadi perekat sosial yang menjadikan bangsa ini lebih kuat dan bersatu. Maka, sudah saatnya kita tidak hanya memaknai Ramadan sebagai ibadah personal, tetapi juga sebagai ruang membangun solidaritas dan kemanusiaan lintas iman.
Penulis: Alvi Kamalia