Setiap daerah di Indonesia memiliki cara unik dalam menyambut Hari Raya Idulfitri. Salah satu tradisi khas yang masih lestari hingga kini adalah Prepegan. Tradisi ini umum dijumpai di daerah Jawa Tengah bagian utara seperti Tegal, Brebes, dan sekitarnya. Prepegan biasanya berlangsung pada dua atau satu hari menjelang Lebaran dan identik dengan ramainya aktivitas di pasar-pasar tradisional.
Istilah Prepegan berasal dari kata "pepe" yang dalam bahasa Jawa berarti "memanaskan" atau "menyiapkan," sedangkan akhiran "-an" menunjukkan suatu kegiatan. Maka, Prepegan dapat dimaknai sebagai hari persiapan besar menjelang Lebaran. Pada momen ini, masyarakat berbondong-bondong pergi ke pasar untuk membeli berbagai keperluan Lebaran, mulai dari bahan makanan, daging ayam, telur, bumbu dapur, hingga perlengkapan rumah tangga. Tak ketinggalan pula kue-kue kering, sirup, dan aneka jajanan khas Idulfitri.
Suasana pasar saat Prepegan sangat meriah, bahkan bisa dikatakan padat dan semrawut. Para pedagang memanfaatkan momen ini untuk menambah penghasilan dengan membuka lapak sejak dini hari. Di sisi lain, masyarakat pun rela berdesakan demi bisa mendapatkan bahan terbaik untuk menyambut tamu dan sanak keluarga saat hari raya tiba. Ini menjadi bukti kuat bagaimana budaya dan ekonomi berjalan beriringan dalam tradisi lokal.
Bagi sebagian orang, Prepegan bukan hanya soal belanja, tapi juga soal tradisi yang mengandung nilai kebersamaan. Banyak keluarga yang menjadikan kegiatan ini sebagai bagian dari persiapan Lebaran bersama. Suasana pasar yang sangat ramai menjadi tempat berkumpulnya saudara, tetangga, hingga teman lama yang tak sengaja bertemu. Bahkan tak jarang, momen Prepegan juga dimanfaatkan untuk berbagi rezeki dengan sesama, baik melalui belanja di pedagang kecil maupun memberi sedekah kepada yang membutuhkan.
Namun, ada pula sisi lain dari tradisi ini. Kenaikan harga barang seringkali tidak bisa dihindari karena tingginya permintaan. Tak sedikit masyarakat yang merasa terbebani karena harus mengeluarkan uang lebih besar hanya untuk memenuhi tradisi ini. Di sisi lain, kemacetan dan kepadatan pasar membuat sebagian orang merasa lelah bahkan stres. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijaksanaan dalam menjalani Prepegan agar tetap membawa kebaikan, bukan beban.
Selain itu, tradisi Prepegan juga memengaruhi ritme kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Pedagang musiman bermunculan, anak-anak ikut membantu orang tua berdagang atau berbelanja, bahkan petugas kebersihan dan keamanan pun harus bekerja ekstra. Hal ini menunjukkan bahwa Prepegan tidak hanya berdampak pada ranah konsumsi, tetapi juga menggambarkan dinamika sosial dan ekonomi masyarakat dalam skala kecil.
Dalam perspektif budaya, Prepegan adalah simbol dari semangat menyambut hari kemenangan dengan persiapan lahir dan batin. Tradisi ini mengajarkan pentingnya berbagi, gotong royong, dan kesungguhan dalam menyambut hari suci. Bukan sekadar belanja, melainkan bentuk penghormatan terhadap tamu, keluarga, dan nilai-nilai keislaman yang kental dengan silaturahmi dan kebersamaan.
Akhirnya, Prepegan bukan sekadar aktivitas tahunan, tetapi bagian dari identitas budaya masyarakat Jawa. Ia adalah penanda waktu, penanda rasa, dan penanda semangat. Di tengah arus modernitas dan belanja daring, Prepegan tetap menjadi magnet tradisional yang membawa nostalgia, kehangatan, dan kesan tersendiri menjelang Lebaran.
Lebih dari itu, Prepegan juga menjadi momen yang menghidupkan kembali pasar tradisional yang mungkin selama ini kalah saing dengan pusat perbelanjaan modern. Dalam dua hari menjelang Lebaran, pasar tradisional berubah menjadi pusat keramaian yang penuh warna. Anak-anak, ibu rumah tangga, hingga para pemuda tumpah ruah dalam satu ruang yang penuh interaksi sosial. Aktivitas tawar-menawar pun menjadi hiburan tersendiri yang mencerminkan kearifan lokal masyarakat Jawa.
Sebagai warisan budaya tak tertulis, Prepegan patut dijaga kelestariannya. Pemerintah daerah, komunitas budaya, hingga generasi muda memiliki peran penting untuk terus melestarikan tradisi ini agar tidak tergerus zaman. Dengan semangat yang sama setiap tahunnya, Prepegan bukan hanya menjadi aktivitas jelang Lebaran, tetapi juga perayaan kecil atas semangat gotong royong, kekeluargaan, dan kecintaan pada tradisi yang membumi dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Biodata Penulis:
Sabilul Najah saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.