Puisi: Waktu yang Sehitam Dedak Kopi (Karya Acep Zamzam Noor)

Puisi "Waktu yang Sehitam Dedak Kopi" bercerita tentang perjalanan waktu yang tak bisa dihentikan dan bagaimana manusia merasakan kehampaannya.
Waktu yang Sehitam Dedak Kopi

Waktu yang sehitam dedak kopi di gelasmu itu
Adalah sepi. Tahun-tahun merayap pelahan
Dari hutan yang terbakar jauh di selatan
Kau tahu, detik masih akan terus berbunyi
Pada weker. Menit dan jam akan beranjak pergi

Sedang kenangan jumpalitan seperti burung asing
Pada segaris ranting. Asap akan terus mengepul
Dari tumpukan arang hutan dan sisa api
Kau tahu, waktu yang sehitam dedak kopi itu
Adalah sepi yang menyelami kisah cintanya sendiri

Sepi yang terus berdetak pada arloji. Pada jam besar
Yang gemetar di dinding lengang hari

2006

Sumber: Menjadi Penyair Lagi (2007)

Analisis Puisi:

Puisi "Waktu yang Sehitam Dedak Kopi" karya Acep Zamzam Noor menghadirkan renungan puitis yang mendalam tentang waktu, sepi, dan kenangan. Melalui simbol-simbol sederhana seperti dedak kopi, jam, dan arang hutan, penyair menggambarkan suasana batin yang sunyi namun bergolak dalam diam. Seolah-olah waktu bukan hanya sesuatu yang bergerak, tetapi juga makhluk hidup yang menyimpan rasa dan cerita.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah kesepian dan refleksi atas waktu yang berlalu. Waktu dalam puisi ini tidak digambarkan sebagai sekadar angka pada jam, melainkan sebagai ruang batin yang gelap, sunyi, dan penuh kenangan yang melompat-lompat dalam benak.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa waktu tidak hanya menggerakkan hidup, tetapi juga membawa luka dan sunyi yang perlahan mengendap. Penyair menyamakan waktu dengan dedak kopi—hitam, pekat, pahit, namun akrab—lambang dari sesuatu yang kita konsumsi dan resapi setiap hari, meski kadang getir.

Ungkapan seperti “waktu yang sehitam dedak kopi itu adalah sepi” menyiratkan bahwa waktu tidak selalu memberikan kehadiran atau kebahagiaan, tetapi justru menyisakan ruang kosong yang merenung dalam diam. Sepi di sini bukan sekadar kesunyian, melainkan juga bentuk kontemplasi terdalam akan hidup yang terus bergerak tanpa jeda.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan waktu yang tak bisa dihentikan dan bagaimana manusia merasakan kehampaannya. Di tengah hutan yang terbakar, burung asing yang hinggap di ranting, dan arloji yang terus berdetak, pembaca diajak menyelami bagaimana kenangan dan waktu saling mengejar, saling melarikan diri, namun pada akhirnya menyatu dalam sunyi.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini begitu sunyi, suram, dan kontemplatif. Asap, arang, dan waktu yang merayap menciptakan atmosfer yang berat, seolah dunia tengah membisikkan kisah lama yang tidak selesai. Ada ketegangan diam di dalam puisi ini—antara yang telah pergi dan yang masih terus berdetak.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang bisa ditangkap dari puisi ini adalah bahwa waktu, meski terus berjalan, tidak selalu menyembuhkan atau memberi jawaban. Ia bisa menjadi ruang sepi yang menyimpan luka dan kenangan. Namun, justru dari sanalah manusia belajar mengenal dirinya—melalui detak yang hening dan kenangan yang tak terucapkan.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji visual dan auditorik:
  • “Waktu yang sehitam dedak kopi di gelasmu itu” — menghadirkan visual waktu sebagai zat pekat, gelap, dan diam-diam menyelinap ke dalam hidup.
  • “Kenangan jumpalitan seperti burung asing” — menggambarkan ingatan yang tak menentu, liar, dan tak selalu disambut.
  • “Asap akan terus mengepul / dari tumpukan arang hutan” — membangkitkan bayangan kehancuran, jejak masa lalu yang terus menguar.
Imaji tersebut membuat puisi terasa hidup, seolah pembaca bisa mencium bau asap, melihat dedak kopi, dan mendengar denting jam dalam keheningan.

Majas

Beberapa majas penting yang digunakan dalam puisi ini:
  • Metafora: “Waktu yang sehitam dedak kopi” — menyamakan waktu dengan dedak kopi, memberi gambaran tentang pekatnya rasa sepi dan kenangan yang mendalam.
  • Personifikasi: “Sepi yang menyelami kisah cintanya sendiri” — menjadikan sepi sebagai subjek yang hidup, mampu merenung, bahkan mencintai.
  • Repetisi: Pengulangan kata “kau tahu” menguatkan nada percakapan dan perenungan, seolah penyair sedang bicara langsung kepada seseorang yang akrab.
Puisi "Waktu yang Sehitam Dedak Kopi" adalah puisi yang membawa pembaca masuk ke lorong waktu yang sunyi, gelap, dan penuh kenangan. Dengan gaya bahasa khas Acep Zamzam Noor—lirikal, tenang, namun tajam—puisi ini mengajak kita merenungi bagaimana waktu tidak selalu berarti kemajuan, tapi bisa juga menjadi ruang sepi tempat kita bergulat dengan kenangan.

Melalui simbol kopi, hutan, dan jam, penyair menunjukkan bahwa kesunyian dan kehampaan adalah bagian dari hidup yang harus dirangkul, bukan ditolak. Justru dari dalam sepi itu, kita mungkin menemukan makna terdalam dari hidup, cinta, dan keberadaan.

Acep Zamzam Noor
Puisi: Waktu yang Sehitam Dedak Kopi
Karya: Acep Zamzam Noor

Biodata Acep Zamzam Noor:
  • Acep Zamzam Noor (Muhammad Zamzam Noor Ilyas) lahir pada tanggal 28 Februari 1960 di Tasikmalaya, Jawa Barat, Indonesia.
  • Ia adalah salah satu sastrawan yang juga aktif melukis dan berpameran.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.