Tentang Tragedi Orang-Orang yang Menggantung di Pedalaman Wonosari
Dengan seutas tali ia membuang sisa kata
dari lidahnya. Menyerahkan leher terjerat
pada dahan akasia, teritis rumah
atau pekarangan sunyi tak terjaga.
Tak ada secarik kertas, pesan selintas
mengapa memilih tercekik
terbeliak dan kalah?
"Bumi tak memberikan tempat. Duka pun juga
tak menyiapkan air mata untuk memandikan jazadnya.
Tanggal dan hari hanya mencatat
ketika tetangga kerabat enggan merawat
ketika doa dan upacara seperti numpang lewat,"
kata orang-orang tua menyampaikan fatwa lama.
Tapi, sepanjang hari, bulan, dan tahun
diam-diam mereka malah antri, susul-menyusul
peduli kayu batu mengumpat, mencerca
kutu serangga menonton dan terpana
bersyukur tak memiliki tangan jahat
yang begitu kejam dan merdeka
1996
Sumber: Dunia Semata Wayang (2005)
Analisis Puisi:
Puisi "Tentang Tragedi" karya Iman Budhi Santosa adalah sebuah refleksi tajam dan pilu tentang kenyataan paling kelam dalam hidup manusia: bunuh diri. Dengan bahasa yang lugas namun menyimpan lapisan makna mendalam, penyair menggambarkan bagaimana seorang individu yang tertindih luka batin dan kesepian akhirnya memilih untuk pergi tanpa kata. Namun, tragisnya, kepergiannya tak selalu diiringi air mata atau penghormatan—malah, seringkali hanya disambut stigma, cibiran, dan penghakiman diam-diam.
Tema
Tema utama puisi ini adalah tragedi eksistensial dan bunuh diri. Penyair mengangkat problematika manusia yang merasa terasing dari dunia, kehilangan tempat berpijak, dan tidak lagi menemukan makna untuk melanjutkan hidup.
Di samping itu, puisi ini juga menyinggung kemunafikan sosial, bagaimana masyarakat memperlakukan kematian seseorang—bukan dengan belas kasih, melainkan dengan kecaman atau pura-pura peduli.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini sangat dalam. Ia berbicara tentang kesunyian manusia modern yang tak terlihat. Saat seseorang memilih untuk mengakhiri hidupnya, seringkali ia tak meninggalkan sepatah kata pun karena merasa sudah tak didengarkan lagi.
Lebih lanjut, penyair mengkritik sikap masyarakat yang terlalu cepat menghakimi, alih-alih memahami penderitaan seseorang. Bahkan kematian tidak mampu membangkitkan empati yang tulus, hanya sebatas "doa yang numpang lewat."
Selain itu, puisi ini juga memberi peringatan bahwa siapa pun bisa berada dalam posisi serupa: diam-diam “mengantri” menuju titik akhir, meski mulut penuh fatwa dan tangan terlihat bersih.
Puisi ini bercerita tentang seorang manusia yang memilih bunuh diri—seutas tali, dahan akasia, dan pekarangan sunyi menjadi saksi bisu dari akhir hidupnya. Tidak ada pesan, tidak ada surat, hanya tubuh yang menggantung dan mata yang terbuka, seolah masih bertanya.
Namun, cerita tak berhenti di situ. Puisi ini melanjutkan narasinya pada reaksi masyarakat sekitar: pengabaian, stigma, hingga penghakiman berbasis budaya dan kepercayaan. Ironisnya, orang-orang yang mencibir itulah yang sebenarnya sedang mengantri diam-diam menuju kehancuran yang sama.
Suasana dalam Puisi
Suasana puisi ini sangat muram, getir, dan sunyi. Ada kesedihan yang tertahan, rasa frustrasi, dan aroma penghakiman yang pekat. Di balik suasana itu, juga tersimpan perasaan marah dan jengah terhadap kepura-puraan sosial, terutama dalam menyikapi tragedi kemanusiaan seperti bunuh diri.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang hendak disampaikan oleh penyair adalah bahwa bunuh diri bukanlah sekadar peristiwa kematian, melainkan jeritan dari penderitaan yang tak terdengar. Alih-alih mencibir atau menjauhi, masyarakat seharusnya belajar untuk lebih mendengar, memahami, dan memeluk sesama sebelum semuanya terlambat.
Puisi ini juga ingin menyadarkan kita bahwa siapa pun bisa rapuh, dan bahwa berpura-pura “normal” bukanlah jaminan bebas dari luka batin. Maka, belas kasih dan empati menjadi hal yang sangat penting dalam kehidupan sosial kita.
Imaji
Puisi ini menghadirkan imaji visual dan emosional yang kuat, antara lain:
- “Seutas tali... leher terjerat pada dahan akasia” – imaji konkret dari tindakan bunuh diri.
- “Pekarangan sunyi tak terjaga” – menggambarkan keterasingan total.
- “Orang-orang tua menyampaikan fatwa lama” – imaji budaya yang sarat nilai tradisional dan religius.
- “Kayu batu mengumpat, mencerca, kutu serangga menonton” – imaji yang mengesankan alam pun turut menjadi saksi dan menghakimi secara simbolik.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
Metafora:
- “Dengan seutas tali ia membuang sisa kata” – metafora untuk keputusan bunuh diri yang diam dan tak bersuara.
- “Mereka malah antri, susul-menyusul” – menggambarkan orang-orang lain yang diam-diam mengalami penderitaan serupa.
Ironi:
- “Doa dan upacara seperti numpang lewat” – ironi tentang kematian yang seharusnya sakral tapi hanya menjadi formalitas.
Personifikasi:
- “Kayu batu mengumpat, mencerca” – memberikan sifat manusia pada benda mati untuk memperkuat kesan penghukuman.
Puisi "Tentang Tragedi" karya Iman Budhi Santosa bukan hanya bicara tentang kematian, tapi tentang kesunyian yang tak terlihat dan penghakiman yang terlalu cepat datang. Ia menantang pembaca untuk melihat lebih dalam ke dalam jiwa manusia yang terluka dan bertanya: apakah kita benar-benar peduli, atau hanya sedang menunggu giliran?
Dengan nada yang lirih namun tajam, puisi ini menjadi pengingat keras bahwa kita butuh lebih banyak mendengar dan memahami, bukan mencibir dan menjauhi. Karena, dalam sunyi yang panjang itu, setiap manusia berpotensi menjadi tragedi berikutnya.
