Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Tamasya (Karya Muhammad Rois Rinaldi)

Puisi “Tamasya” karya Muhammad Rois Rinaldi bercerita tentang seorang “tuan” yang diajak bertamasya, bukan ke tempat wisata yang menyenangkan, tapi ..
Tamasya

Tuan, sudikah kau kuajak bertamasya
di sana ada sedebur ombak minta direnangi
kan kutunjukkan padamu karang-karang
dan ikan-ikan yang mati.

Lepaskan sepatumu, seusai hujan jalanan berlumpur
kita sisiri bilik-bilik bambu, sesekali tengoklah
dari lubang bilik anak-anak tengah menahan lapar
menanti bapaknya pulang membawa sesuap kehidupan.

Mari kita nikmati wangi oli
dan pijaran mentari yang letih
larungkan pangkatmu ke laut
Maka, kau akan mendengar
jerit nelayan menyeru namamu
tertimbun tumbukan sampah pantai.

Sebelum pulang, catatlah di sisa putih hatimu
agar kau tak lupa dan kuajak bertamasya lagi.

Cilegon, Banten, 17 November 2011

Analisis Puisi:

Puisi berjudul “Tamasya” karya Muhammad Rois Rinaldi bukanlah tamasya dalam arti harfiah yang ringan dan menyenangkan. Justru, tamasya dalam puisi ini adalah perjalanan menuju sisi gelap kehidupan masyarakat kecil yang kerap luput dari perhatian para pemilik kuasa. Dengan bahasa puitik yang tajam, penyair membawa pembaca melihat langsung realitas sosial yang pahit, getir, dan menyayat.

Puisi ini bercerita tentang seorang “tuan” yang diajak bertamasya, bukan ke tempat wisata yang menyenangkan, tapi ke tempat yang menggambarkan derita rakyat kecil. Di tempat itu ada ombak dan ikan, tapi ikan-ikan itu telah mati. Ada bilik-bilik bambu yang reot, tempat anak-anak menahan lapar sembari menunggu sang ayah yang tengah berjibaku dengan kerasnya hidup. Ada wangi oli, pijar matahari yang letih, dan sampah-sampah pantai yang menumpuk—sebuah tamasya menyedihkan menuju dunia kelas bawah yang tidak mendapatkan keadilan.

Tema: Kepedulian Sosial dan Kritik terhadap Ketimpangan

Tema utama puisi ini adalah kepedulian sosial dan kritik terhadap ketimpangan sosial yang begitu tajam. Penyair menyoroti betapa mereka yang duduk di posisi berkuasa—yang dilambangkan dengan sebutan “tuan”—sering tidak melihat realitas getir masyarakat kecil. Tamasya di sini adalah tamasya empatik: sebuah ajakan untuk melihat dunia yang tak pernah mereka tengok dari balik jendela mobil dinas. Dunia yang nyata, yang berisi penderitaan nelayan, anak-anak yang lapar, dan laut yang tercemar.

Makna Tersirat: Empati yang Terabaikan

Makna tersirat dari puisi ini sangat menyentuh: empati adalah hal yang makin langka. Orang-orang yang memiliki kuasa sering tidak benar-benar mengerti penderitaan rakyat. Mereka terlalu sibuk dengan kekuasaan, jabatan, dan formalitas. Puisi ini ingin menyadarkan kita bahwa penderitaan rakyat itu nyata, dan hanya bisa dimengerti bila kita benar-benar “melepas sepatu” dan masuk ke lumpur kehidupan mereka. Seruan “larungkan pangkatmu ke laut” bukan sekadar retoris, tapi ajakan untuk melepaskan ego dan status, agar bisa mendengar jerit sesama manusia yang tertindih oleh keadaan.

Suasana dalam Puisi: Muram, Perih, dan Reflektif

Suasana dalam puisi terasa sangat muram dan penuh luka. Penyair menggambarkan suasana dengan detail yang menyayat: anak-anak menahan lapar, ikan-ikan mati, jerit nelayan tertimbun sampah. Semua ini membangun atmosfer kesedihan, keprihatinan, dan protes halus terhadap sistem sosial yang timpang.

Amanat / Pesan: Lihatlah Realitas dengan Hati yang Terbuka

Amanat yang ingin disampaikan cukup jelas dan menusuk: lihatlah kehidupan masyarakat kecil dengan hati, bukan hanya dengan angka statistik atau pidato. Jangan cuma menikmati kekuasaan, tapi turunlah ke bawah, saksikan sendiri bagaimana rakyat kecil berjuang untuk sesuap kehidupan. Ada ajakan moral yang kuat untuk memiliki empati, kesadaran sosial, dan kepedulian yang otentik.

Imaji: Penuh Visual yang Kuat dan Menyayat

Puisi ini kaya dengan imaji visual yang sangat kuat. Contohnya:
  • “sedebur ombak minta direnangi” – menciptakan gambaran laut yang bergelora, menanti dijelajahi.
  • “ikan-ikan yang mati” – membangkitkan kesan lingkungan yang tercemar, kehidupan yang mati.
  • “dari lubang bilik anak-anak tengah menahan lapar” – imaji yang langsung menggugah emosi pembaca, menunjukkan penderitaan yang senyap tapi nyata.
  • “jerit nelayan menyeru namamu tertimbun tumbukan sampah pantai” – menggambarkan teriakan yang sia-sia, tenggelam dalam ketidakpedulian.
Imaji dalam puisi ini bukan hanya menggambarkan lingkungan fisik, tetapi juga menggambarkan kondisi batin masyarakat yang menderita dalam diam.

Majas: Alegori dan Simbolisme Sosial

Puisi ini banyak menggunakan majas alegori dan simbolisme untuk menyampaikan kritik sosial. “Tamasya” di sini bukan sekadar jalan-jalan, tapi simbol perjalanan nurani, agar “tuan” memahami kehidupan yang jauh dari kenyamanan kekuasaan. “Sepatu” menjadi simbol kenyamanan kelas atas, yang diminta untuk dilepaskan agar bisa menyentuh realitas rakyat.

Selain itu, ada juga majas metafora seperti:
  • “larungkan pangkatmu ke laut” – mengajak membuang ego jabatan demi menyatu dengan penderitaan rakyat.
  • “sisa putih hatimu” – mengacu pada sisi kemanusiaan yang masih tersisa, tempat untuk menyimpan pelajaran empati.
Penyair tidak menyampaikan kritik dengan amarah, tetapi dengan puisi yang lembut namun menghujam.

Sebuah Ajakan Menyentuh Nurani

Puisi “Tamasya” karya Muhammad Rois Rinaldi adalah sebuah karya yang halus tapi menggigit, penuh dengan kritik sosial, empati kemanusiaan, dan seruan moral untuk mereka yang hidup dalam lingkaran kekuasaan. Ini bukan sekadar puisi, tapi sebuah undangan reflektif: untuk menengok ke bawah, ke dunia yang sering dilupakan, dan menyalakan kembali nurani yang mungkin mulai pudar.

Dalam dunia yang makin egoistik, puisi ini adalah napas segar penuh kesadaran, mengajak kita bertamasya bukan ke taman hiburan, tetapi ke sisi kehidupan yang perlu dilihat dengan mata terbuka dan hati yang lapang.

Muhammad Rois Rinaldi
Puisi: Tamasya
Karya: Muhammad Rois Rinaldi

Biodata Muhammad Rois Rinaldi:
  • Muhammad Rois Rinaldi lahir pada tanggal 8 Mei 1988 di Banten, Indonesia.
© Sepenuhnya. All rights reserved.