Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Siaran Radio Malam Hari (Karya Juniarso Ridwan)

Puisi "Siaran Radio Malam Hari" bercerita tentang pergulatan batin seorang individu—kemungkinan seorang pekerja kantoran—yang merasakan ...
Siaran Radio Malam Hari

belantaraku terpuruk dalam tas kantor, hamzah,
padang perburuanku terkurung dalam kalkulator;
masadepanku larut dalam komik, menggapai
dunia yang melayang dalam igauan telepon

kulayari kota-kota sungaiku, kulacak arah
timur-baratku; o, pantai nasibku telah ditelan
kertas grafik - rumah ingatanku menjelma angin,
mengalir ke muara kata-kata

inikah alam diriku; jiwa yang telanjang,
terombang-ambing gelombang suara: mencari
bayangan sendiri dalam kegelapan makna

suara itu, hamzah, yang menerobos kuping waktu;
ya, kemudian dibakar angan-angan malam.

1995

Analisis Puisi:

Dalam puisi berjudul Siaran Radio Malam Hari, Juniarso Ridwan menyajikan sesuatu yang lebih dari sekadar narasi larut malam. Bukan sekadar bunyi dan suara yang bergema di udara, melainkan gema jiwa yang terdalam, mengarungi realitas dan absurditas kehidupan modern. Puisi ini bukanlah sesuatu yang bisa dibaca sekali lalu selesai—ia mengundang perenungan, mengganggu ketenangan pikiran, dan membawa kita bertualang ke ruang-ruang batin yang mungkin tak nyaman, tapi jujur.

Puisi ini bercerita tentang pergulatan batin seorang individu—kemungkinan seorang pekerja kantoran—yang merasakan keterasingan dalam kehidupan sehari-hari. Sosok "aku" dalam puisi ini berada dalam dunia yang nyaris sepenuhnya dikuasai oleh benda-benda fungsional: tas kantor, kalkulator, kertas grafik, dan komik. Dunia yang dulu liar, penuh kemungkinan dan makna personal, kini seakan telah ditelan oleh rutinitas, angka, dan simulasi.

Penyebutan nama “Hamzah” secara berulang memberi kesan adanya teman atau sosok yang diajak bicara, mungkin imajiner, mungkin nyata, atau mungkin hanya simbol dari harapan atau kenangan masa lalu. Sosok ini menjadi semacam jangkar emosional, tempat si penyair mencurahkan kegalauan identitasnya.

Tema: Keterasingan dan Pencarian Jati Diri

Tema utama puisi ini adalah keterasingan dan pencarian jati diri dalam dunia modern. Segala yang dulunya akrab dan bermakna—belantara, padang perburuan, rumah ingatan—telah berubah menjadi hal-hal teknis dan kering, seperti kalkulator, komik, dan kertas grafik. Sang penyair mengungkapkan krisis eksistensial melalui metafora benda-benda ini, dan mempertanyakan: inikah alam diriku?

Ada juga pencarian spiritual atau filosofis yang samar namun terasa kuat—jiwa yang telanjang dan gelombang suara menjadi metafora akan kerinduan akan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar hidup yang "normal".

Makna Tersirat: Hidup dalam Kekosongan Simulasi

Makna tersirat dari puisi ini sangat bergema bagi siapa pun yang pernah merasa kehilangan arah dalam hidup. Kita melihat bagaimana penyair menyandingkan masa depan dengan komik, dan arah hidup dengan kertas grafik. Ada ironi dan sinisme yang kuat di sini: dunia yang dulu liar dan bebas kini dibungkus dalam perhitungan, hiburan semu, dan grafik statistik.

Makna tersirat lainnya bisa dibaca sebagai kritik terhadap bagaimana teknologi dan sistem kerja modern menyerap makna hidup manusia. Suara radio malam hari, yang dulu mungkin membisikkan romansa atau harapan, kini hanya menjadi suara kosong yang “menerobos kuping waktu”—masuk, lalu hilang, dibakar angan-angan yang tak pernah jadi nyata.

Imaji: Kota, Sungai, dan Pantai yang Kini Tak Lagi Akrab

Puisi ini penuh dengan imaji yang kuat dan kontras. Dari awal kita disambut oleh:

"belantaraku terpuruk dalam tas kantor"

Bayangkan bagaimana sebuah hutan lebat, simbol kebebasan dan kealamian, kini hanya muat dalam sebuah tas kantor. Imaji ini begitu mengguncang—menggambarkan bagaimana keindahan dan liar-nya alam telah direduksi menjadi bagian kecil dari rutinitas pekerja urban.

Kemudian:

"kulayari kota-kota sungaiku, kulacak arah
timur-baratku; o, pantai nasibku telah ditelan
kertas grafik"

Visualisasi kota, sungai, pantai, dan arah mata angin membentuk lanskap batin si penyair yang luas dan penuh kemungkinan. Namun semua itu diakhiri oleh gambaran kertas grafik—metafora yang menyakitkan dari bagaimana nasib manusia kini ditentukan oleh angka dan rencana bisnis.

Majas: Metafora dan Personifikasi yang Penuh Daya Guncang

Dalam soal majas, puisi ini kaya akan metafora, seperti:
  • “belantaraku terpuruk dalam tas kantor”
  • “padang perburuanku terkurung dalam kalkulator”
  • “rumah ingatanku menjelma angin”
Metafora-metafora ini bukan sekadar perhiasan bahasa, tapi jantung dari puisi itu sendiri. Ia menyampaikan perasaan kehilangan, penyempitan ruang hidup, dan lenyapnya kenangan dalam kehidupan modern.

Ada juga personifikasi dalam:

“suara itu, hamzah, yang menerobos kuping waktu”

Seolah-olah waktu punya telinga, dan suara punya niat untuk menembusnya. Ini menambah nuansa surealis sekaligus tragis dalam puisi.

Suasana dalam Puisi: Sunyi, Melankolis, dan Kontemplatif

Jika kita mencoba membayangkan suasana dalam puisi, maka yang terasa adalah sunyi yang dalam, melankolia yang nyaris membeku. Meskipun kata “malam” hanya muncul di akhir puisi, namun keseluruhan nada dan gambarnya membawa kita ke dalam lanskap malam yang gelisah—malam yang penuh suara namun kosong dari makna. Seperti siaran radio yang tak didengar siapa-siapa.

Amanat / Pesan yang Disampaikan: Temukan Diri Sebelum Dilenyapkan Sistem

Jika puisi ini bisa disimpulkan dalam satu pesan, mungkin itu adalah: "Carilah makna sejati dalam dirimu sebelum semuanya ditelan oleh sistem yang tak peduli pada keberadaan pribadi." Dunia modern dengan segala perangkatnya—dari komik, kalkulator, hingga siaran radio—tak mampu mengisi kekosongan batin manusia. Malam hari, ketika segala hiruk pikuk mereda, menjadi saat di mana pertanyaan paling mendasar menyeruak: siapakah aku ini?

Sebuah Puisi yang Menggema Seperti Gelombang Malam

Puisi "Siaran Radio Malam Hari" adalah salah satu puisi yang mencerminkan kompleksitas zaman kita. Ia tak bicara secara langsung, tapi melalui simbol dan metafora, mengajak pembaca menggali makna di balik rutinitas dan benda-benda harian. Dalam waktu yang semakin cepat dan kehidupan yang makin dangkal, puisi seperti ini mengingatkan kita untuk memperlambat langkah, mendengarkan suara batin, dan bertanya: apakah aku masih hidup sebagai manusia, atau hanya gema dari sistem yang lebih besar?

Puisi ini bukan untuk dibaca sekali. Ia untuk diresapi, diulang, dan direnungkan—seperti siaran radio malam hari yang datang diam-diam, lalu tinggal di dalam jiwa.

Puisi: Siaran Radio Malam Hari
Puisi: Siaran Radio Malam Hari
Karya: Juniarso Ridwan

Biodata Juniarso Ridwan:
  • Juniarso Ridwan lahir di Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 10 Juni 1955.
© Sepenuhnya. All rights reserved.