Reruntuhan
Reruntuhan berdiri dengan gagah
Tertahan oleh batu yang mengawalinya
Terlihat oleh rumput dan pohon yang mengaguminya
Berdiri walau menderita
Teringat walau dulu dilupakan
Terindah walau hancur
Reruntuhan hancur dengan penyesalan
Terlupa oleh mata yang memandangnya
Terlepas oleh tangan yang membangunnya
Berjatuh walau indah
Terluka walau tak punya hati
Tertinggal walau tak ada taranya
2025
Analisis Puisi:
Puisi "Reruntuhan" karya Muhammad Altair Rizkyllah merupakan sebuah karya reflektif yang mengangkat simbol bangunan yang telah hancur sebagai metafora kehidupan. Melalui diksi yang kuat dan sarat makna, penyair mengajak pembaca untuk melihat reruntuhan bukan hanya sebagai sisa-sisa kehancuran, tetapi juga sebagai simbol kekuatan yang bertahan di tengah waktu dan pengabaian.
Tema: Ketegaran dan Penyesalan
Tema utama puisi ini adalah ketegaran dalam kehancuran, yang berpadu dengan nuansa penyesalan dan kenangan akan masa lalu. Reruntuhan dalam puisi ini tidak hanya merepresentasikan bangunan yang hancur secara fisik, tetapi juga bisa dibaca sebagai simbol dari pengalaman hidup yang pernah berdiri megah namun kini hanya tersisa puing-puing, baik karena waktu, pengkhianatan, maupun kelalaian.
Puisi ini bercerita tentang sebuah reruntuhan yang tetap berdiri dengan gagah meskipun telah hancur. Ia tetap dikenang, diam-diam dikagumi oleh rumput dan pohon, dan meskipun secara fisik telah runtuh, nilai dan keindahannya tetap terasa. Ada narasi yang menyentuh di sini—tentang sesuatu yang dulunya megah, kemudian dilupakan, namun ketika ia hilang atau runtuh, justru baru terasa keberadaannya.
Puisi ini bisa juga dibaca sebagai kisah tentang kehilangan, kelalaian, dan keterlambatan dalam menyadari nilai sesuatu. Entah itu orang, hubungan, atau warisan sejarah, reruntuhan menjadi simbol dari segala hal yang baru disadari berharganya setelah tidak lagi utuh.
Makna Tersirat: Keindahan Tak Selalu Harus Utuh
Makna tersirat dari puisi ini menyentuh sisi filosofis: bahwa keindahan tidak selalu harus hadir dalam bentuk yang utuh. Bahkan yang telah rusak pun bisa tetap menyimpan nilai, bisa tetap dikagumi, bisa tetap dikenang. Puisi ini juga mengandung refleksi tentang betapa sering kita melupakan sesuatu yang penting hingga terlambat untuk menghargainya.
Penyair seperti ingin berkata bahwa kehancuran bukan akhir dari makna. Bahkan puing-puing bisa berbicara tentang sejarah, perjuangan, keindahan, dan penyesalan. Ketika sesuatu telah rusak, ia tidak serta-merta kehilangan nilainya—justru bisa mengandung pelajaran dan kenangan yang sangat mendalam.
Imaji: Reruntuhan, Rumput, dan Pohon
Puisi ini penuh dengan imaji visual yang kuat:
- "Reruntuhan berdiri dengan gagah" – menciptakan citra bangunan tua yang tetap tegar.
- "Rumput dan pohon yang mengaguminya" – membangun suasana sepi namun penuh penghormatan dari alam sekitar.
- "Berjatuh walau indah / Terluka walau tak punya hati" – menghadirkan kontras yang menyentuh antara kondisi fisik dan esensi batin.
Dengan imaji-imaji ini, pembaca dapat membayangkan reruntuhan sebagai sesuatu yang sepi tapi agung, terluka tapi tetap berharga, dan tidak dihargai sampai semuanya terlambat.
Suasana dalam Puisi: Sendu, Reflektif, dan Penuh Penyesalan
Suasana yang terasa dalam puisi ini adalah sendu dan reflektif, seolah mengajak pembaca untuk merenungi sesuatu yang telah mereka lupakan atau abaikan dalam hidup. Ada suasana sepi yang dalam—seperti berdiri di depan bangunan tua yang tinggal puing-puing, namun dalam diamnya menyimpan banyak cerita dan emosi yang tak bisa diungkapkan langsung.
Suasana ini juga mengandung penyesalan, terutama pada bait:
"Reruntuhan hancur dengan penyesalan / Terlepas oleh tangan yang membangunnya"
—yang menyiratkan bahwa pihak yang dulu membangun kini menjadi pihak yang melupakan. Ini menggugah rasa bersalah dan refleksi mendalam.
Majas: Personifikasi dan Paradoks
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Personifikasi – Reruntuhan digambarkan seperti makhluk hidup: "berdiri dengan gagah", "menderita", "terindah walau hancur". Ini memberi napas hidup pada benda mati, membuatnya berbicara tentang luka dan keberanian.
- Paradoks – Kalimat seperti "berdiri walau menderita", "berjatuh walau indah", "terluka walau tak punya hati" menciptakan kontras tajam yang menggugah pikiran. Kontradiksi ini justru memperkuat makna bahwa dalam kehancuran pun ada kekuatan, dalam keterlambatan pun ada pelajaran.
Amanat: Hargailah Sebelum Terlambat
Amanat yang terkandung dalam puisi ini cukup jelas namun mendalam: hargailah sesuatu atau seseorang sebelum semuanya berubah menjadi kenangan atau reruntuhan. Entah itu bangunan, relasi, atau kenangan, kita sering kali baru menyadari nilainya saat semuanya telah hancur dan tidak bisa kembali.
Puisi ini juga mengingatkan bahwa keindahan tidak selalu identik dengan kesempurnaan. Bahkan dalam keterpurukan, dalam kehilangan, ada pelajaran, keagungan, dan makna yang tetap hidup jika kita mau melihat lebih dalam.
Reruntuhan yang Tak Pernah Sepenuhnya Runtuh
Puisi "Reruntuhan" karya Muhammad Altair Rizkyllah merupakan refleksi yang kuat tentang ketegaran dan penyesalan dalam kehidupan. Puisi ini mengajarkan bahwa meski sesuatu telah runtuh, jejaknya tetap hidup, dan dalam reruntuhan itu ada nilai yang mungkin lebih kuat dari bentuk aslinya. Dengan menggunakan simbol reruntuhan, penyair mengajak kita untuk tidak sekadar melihat kehancuran sebagai akhir, tetapi juga sebagai pintu masuk menuju pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan, penghargaan, dan nilai sejati.
Jika kamu pernah melupakan sesuatu yang berharga, mungkin puisi ini akan menggema di relung hatimu. Karena reruntuhan bukan hanya sisa, tetapi juga pengingat yang diam-diam bicara.
Karya: Muhammad Altair Rizkyllah
Biodata Muhammad Altair Rizkyllah:
- Muhammad Altair Rizkyllah lahir pada tanggal 31 Januari 2011 di Makassar.