Puisi: Pun (Karya Remy Sylado)

Puisi "Pun" karya Remy Sylado bercerita tentang seorang yang sedang mengalami kesusahan hidup, merasa tidak didengarkan oleh masyarakat sekitar, ...
Pun

Waktu aku susah
kupikir angguran jadi gila
berteriak di jalanan tanpa dipedulikan
Toh sebuah jalan gampang berubah
jadi pengadilan jadi panggung drama
memergoki semua najis yang mustahil pun.

Di manakah engkau telinga?

Waktu aku susah
kuputuskan tidak bicara
sebab membuka mulut terlalu gampang
seperti membikin kentut di klep dubur
Jadi kukatakan kepada batinku
kejahatan selalu menular
bukan dalam kemiskinan saja
tapi lebih dalam kekayaan pun.

Sumber: Kerygma & Martyria (2004)

Analisis Puisi:

Remy Sylado selalu dikenal dengan gaya penulisannya yang tajam, nyentrik, dan kadang sarkastik. Puisi “Pun” adalah salah satu karya yang secara sederhana namun dalam mengungkap keresahan manusia dalam menghadapi kenyataan hidup, khususnya ketika terjerat dalam kesulitan ekonomi dan sosial.

Tema

Puisi ini mengangkat tema penderitaan dan alienasi sosial. Ia menyinggung bagaimana manusia—terutama mereka yang terpinggirkan—berusaha mencari tempat untuk didengar, namun justru menghadapi kebisuan dan kekacauan dunia yang tak peduli.

Puisi ini bercerita tentang seorang yang sedang mengalami kesusahan hidup, merasa tidak didengarkan oleh masyarakat sekitar, dan akhirnya memilih diam. Ia merenung, menyadari bahwa kejahatan bukan hanya hidup dalam kemiskinan, tetapi juga tersembunyi dalam lapisan kekayaan.

Ada ironi di sini: orang miskin sering dicurigai membawa masalah, tapi ternyata kekayaan pun menyimpan kebusukan yang lebih dalam. Ini semacam pukulan pelan namun tajam terhadap anggapan sosial yang menyederhanakan persoalan moral hanya dari sisi ekonomi.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini cukup kompleks. Penulis menyampaikan bahwa ketidakadilan dan kejahatan bukan hanya milik kaum papa. Ia juga menyusup di balik kemewahan, dalam sistem yang kelihatannya rapi tapi busuk. Sementara itu, orang-orang yang benar-benar menderita justru sering dianggap gila atau diabaikan.

Pertanyaan “Di manakah engkau telinga?” seperti mewakili rasa frustasi akan hilangnya empati dan pendengaran sosial. Tidak ada ruang bagi curhat yang jujur, tidak ada siapa pun yang mau mendengar jeritan diam orang-orang kecil.

Imaji

Remy Sylado menciptakan imaji yang kasar tapi jujur. Gambaran tentang orang menganggur berteriak di jalanan, atau perumpamaan kentut yang muncul “dengan mudah” saat seseorang membuka mulut, adalah bentuk realisme yang pahit. Imaji ini bukan indah, tapi mengena. Ia merefleksikan kegetiran dan kekesalan yang mendalam.

Majas

Puisi ini menggunakan sindiran, ironi, dan metafora. Salah satu yang paling kuat adalah saat penyair menyamakan kemudahan berbicara dengan "membikin kentut di klep dubur"—sebuah metafora yang vulgar tapi efektif menunjukkan bahwa bicara tak lagi bermakna, hanya buangan dari tekanan batin.

Majas lain yang menarik adalah personifikasi jalan sebagai “pengadilan” atau “panggung drama”. Ini memberi kesan bahwa ruang publik sudah kehilangan makna sebenarnya—ia hanya tempat kebisingan tanpa keadilan.

Amanat / Pesan

Pesan yang ingin disampaikan terasa seperti ajakan untuk lebih jujur memandang kenyataan, bahwa penderitaan bukanlah aib, dan kekayaan bukan berarti kebersihan moral. Dan mungkin yang paling penting, puisi ini menegur kita agar menjadi "telinga" bagi yang tersisih—karena mereka juga manusia yang punya suara.

Puisi “Pun” bukan jenis puisi yang dibacakan di acara formal dengan nada pelan dan penuh hormat. Ia lebih seperti keluhan di tengah jalan—keras, getir, dan kadang tak enak didengar. Tapi justru karena itu, ia menjadi penting. Dalam suara-suara yang seperti ini, kita bisa menangkap realitas yang sering kita tolak untuk akui: bahwa hidup ini memang tidak selalu adil, dan tidak semua orang bisa bicara dengan bebas. Tapi mereka tetap ingin didengar.

Puisi Remy Sylado
Puisi: Pun
Karya: Remy Sylado

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.