Puisi: Pernyataan Perkutut (Karya A. Muttaqin)

Puisi "Pernyataan Perkutut" karya A. Muttaqin bercerita tentang perkutut yang merasa difitnah oleh burung kutilang. Tuduhan bahwa ia menghasut ...
Pernyataan Perkutut

Bagaimana mungkin sang kutilang, burung penyair yang riang
dan rajin sembahyang itu mengoceh di pucuk pohon cemara
bahwa akulah yang menghasut burung puter dan derkuku.

Tidak. Sebagai burung penyair yang mahir menaksir sejarah
dan rahasia burung-burung purba, pasti ia tahu kalau leluhurku
sama belaka dengan leluhur burung puter dan derkuku itu.

Mengapa pula gagak, burung sepuh yang mengerti rahasia kelam
dan kematian itu, percaya begitu saja ocehan kutilang dan berfatwa
kepada jalak prihal pelik yang sungguh-sungguh tak diketahuinya.

Bagaimana mungkin, sebagai burung salik aku tega terhadap
pertumpahan darah dulur-dulurku, burung puter dan derkuku itu.
Bagaimana mungkin sekeji itu prasangka mereka terhadapku.

Sungguh, itu adalah kebodohan yang nyata. Pun tak patut bila
mereka menghujat beo, burung latah yang setia mengocehkan
ayat-ayat hutan, sebab begitu tafsir tugas yang dilepas ke lidahnya.

2016

Catatan:
Puisi alegoris ini diilhami "Musyawarah Burung" karya Fariduddin Attar, penyair sufi asal Persia di abad ke-12.

Analisis Puisi:

Puisi "Pernyataan Perkutut" karya A. Muttaqin merupakan puisi alegoris yang menggunakan metafora burung-burung untuk menyampaikan pesan mendalam tentang fitnah, kesalahpahaman, dan pencarian kebenaran.

Tema Puisi

Tema utama dalam puisi ini adalah fitnah dan ketidakadilan dalam masyarakat. Puisi ini juga menyentuh soal kesalahpahaman, bagaimana opini dapat dimanipulasi, serta tentang kebijaksanaan dan pencarian kebenaran.

Makna Tersirat

Secara tersirat, puisi ini berbicara tentang realitas sosial dan politik, di mana seseorang bisa difitnah dan disalahpahami oleh orang lain, bahkan oleh mereka yang dianggap bijaksana. Burung perkutut dalam puisi ini mewakili sosok yang mencari kebenaran dan merasa tidak adil atas tuduhan yang dialamatkan kepadanya.

Selain itu, puisi ini juga menyinggung bagaimana gosip atau fitnah bisa menyebar dan diterima begitu saja tanpa verifikasi, seperti yang dilakukan oleh gagak terhadap perkutut. Hal ini mencerminkan kondisi manusia yang sering kali terjebak dalam prasangka dan informasi yang belum tentu benar.

Puisi ini bercerita tentang perkutut yang merasa difitnah oleh burung kutilang. Tuduhan bahwa ia menghasut burung puter dan derkuku membuatnya mempertanyakan keadilan dan kebenaran.

Burung gagak, yang melambangkan kebijaksanaan dalam melihat rahasia kelam dan kematian, ternyata juga mudah percaya tanpa mengecek kebenarannya. Sementara burung beo, yang dikenal hanya bisa meniru suara, digambarkan sebagai makhluk yang hanya menjalankan tugasnya tanpa memahami makna dari apa yang diucapkannya.

Secara keseluruhan, puisi ini mencerminkan bagaimana sebuah kebohongan atau fitnah bisa berkembang menjadi sebuah "kebenaran" dalam masyarakat jika orang-orang tidak kritis terhadap informasi yang mereka terima.

Suasana dalam Puisi

Puisi ini memiliki suasana yang penuh dengan keprihatinan dan kekecewaan. Perkutut sebagai tokoh utama merasa dikhianati oleh burung-burung lain, bahkan oleh mereka yang seharusnya bijak. Ada nuansa kegelisahan dalam pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh perkutut, seolah-olah ia sedang mencari jawaban atas ketidakadilan yang menimpanya.

Amanat/Pesan yang Disampaikan

Pesan yang dapat diambil dari puisi ini adalah pentingnya berpikir kritis sebelum mempercayai suatu informasi, terutama jika informasi tersebut berisi tuduhan terhadap orang lain.

Puisi ini juga menekankan bagaimana prasangka dan fitnah dapat merusak hubungan dalam sebuah komunitas. Selain itu, ada pesan bahwa kebijaksanaan sejati tidak hanya terletak pada usia atau pengalaman, tetapi pada kemampuan untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya.

Imaji dalam Puisi

Puisi ini menggunakan berbagai imaji yang membangun suasana dan memperjelas maknanya, seperti:
  • Imaji visual: Burung penyair yang riang dan rajin sembahyang itu mengoceh di pucuk pohon cemara (memberikan gambaran tentang keceriaan burung kutilang).
  • Imaji auditori: Mereka menghujat beo, burung latah yang setia mengocehkan ayat-ayat hutan (menghadirkan suara beo yang terus-menerus berbicara tanpa memahami makna).
  • Imaji intelektual: Burung sepuh yang mengerti rahasia kelam dan kematian (memberikan gambaran tentang gagak yang bijak tetapi tetap bisa salah dalam menilai sesuatu).

Majas dalam Puisi

Puisi ini menggunakan banyak majas alegori karena burung-burung dalam puisi ini sebenarnya merepresentasikan sifat manusia dalam kehidupan sosial. Beberapa majas lain yang digunakan antara lain:
  • Personifikasi: Burung-burung dalam puisi ini digambarkan seperti manusia yang bisa berpikir, menuduh, percaya, dan mencari kebenaran.
  • Metafora: Burung kutilang melambangkan sosok penyair atau orang yang pandai berbicara, burung gagak melambangkan orang tua atau pemimpin yang dianggap bijak, sedangkan burung beo melambangkan orang yang hanya meniru tanpa memahami makna sebenarnya.
  • Ironi: Gagak yang dianggap bijak ternyata tetap bisa tertipu oleh gosip yang disebarkan oleh burung lain.
  • Repetisi: Bagaimana mungkin yang muncul beberapa kali memperkuat perasaan tidak percaya dan kekecewaan sang perkutut terhadap keadaan yang menimpanya.
Puisi "Pernyataan Perkutut" adalah sebuah kritik sosial yang tersirat dalam bentuk alegori. A. Muttaqin menggunakan perumpamaan burung-burung untuk menggambarkan bagaimana fitnah dan kesalahpahaman dapat menyebar dalam masyarakat.

Melalui puisi ini, pembaca diajak untuk lebih berhati-hati dalam menilai seseorang dan tidak langsung percaya terhadap gosip atau tuduhan yang belum terbukti kebenarannya. Selain itu, puisi ini juga mengajarkan bahwa kebijaksanaan sejati bukan hanya tentang usia atau pengalaman, tetapi juga tentang kemampuan untuk menimbang kebenaran secara adil.

A. Muttaqin
Puisi: Pernyataan Perkutut
Karya: A. Muttaqin

Biodata A. Muttaqin:
  • A. Muttaqin lahir pada tanggal 11 Maret 1983 di Gresik, Jawa Timur.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.