Puisi: Penyair Tardji (Karya Joko Pinurbo)

Puisi “Penyair Tardji” adalah puisi penghormatan sekaligus refleksi spiritual dari Joko Pinurbo terhadap sosok Sutardji Calzoum Bachri.
Penyair Tardji

Tardji minta bir buat pesta di malam buta.
"Sampai tuntas pahit-asamnya.
Sampai pecah ini botolnya."

Dalam mabuk ia minta tuak dari jantung-Mu.
"Mana kapak? Biar kutetak leher panjang-Mu."

Sampai huruf habislah sudah.
Sampai nganga luka dibelah.
"Ya Allah, sajak terindah kutemu dalam Kau darah."

1986

Sumber: Celana Pacarkecilku di Bawah Kibaran Sarung (2007)

Analisis Puisi:

Puisi “Penyair Tardji” karya Joko Pinurbo adalah sebuah penghormatan, sekaligus refleksi, terhadap sosok penyair Sutardji Calzoum Bachri—ikon puisi eksperimental Indonesia. Dengan pendekatan puitik yang khas, Joko Pinurbo mengangkat sisi eksentrik, spiritual, dan tragis dari pergulatan seorang penyair dalam menjelajahi semesta kata dan Tuhan. Puisi ini padat, liar, tetapi juga penuh kedalaman, menggambarkan bagaimana kata-kata bisa jadi senjata dan sekaligus doa yang berdarah.

Tema

Tema utama puisi ini adalah pergulatan spiritual dan eksistensial seorang penyair dalam pencarian makna hakiki melalui puisi dan ketuhanan. Ada juga tema kegilaan kreatif, pengorbanan, dan hasrat untuk menjebol batas antara bahasa dan Tuhan.

Makna Tersirat

Puisi ini sarat dengan makna tersirat tentang bagaimana puisi bukan hanya produk estetika, tetapi juga medan pertarungan batin antara manusia, bahasa, dan Sang Pencipta. Tardji, tokoh utama puisi ini, menjadi simbol penyair yang berani menyelami absurditas hidup dan menantang bentuk-bentuk mapan dalam sastra maupun spiritualitas.

Kalimat seperti "Mana kapak? Biar kutetak leher panjang-Mu." bukanlah penghujatan, tapi ekspresi ekstrem tentang bagaimana seorang penyair ingin mengiris kebenaran hingga ke sumsum. Ia ingin menembus tabir yang memisahkan antara dirinya dan Tuhan, dan berani sampai ke titik penghabisan—hingga darah dan kata menyatu.

Puisi ini bercerita tentang sosok Tardji—yang mewakili Sutardji Calzoum Bachri—dalam perjalanannya sebagai penyair yang tak puas hanya dengan kata, tapi ingin menjadikan puisi sebagai sarana mistik dan eksistensial untuk bertemu Tuhan. Ia digambarkan meminum bir dan tuak bukan sekadar simbol mabuk, tapi sebagai metafora atas pencarian spiritual yang intens, melelahkan, bahkan berdarah-darah.

Puisi ini juga menyuarakan bagaimana puisi bisa menjadi doa yang paling jujur, bahkan dalam bentuknya yang paling liar sekalipun.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini liar, gelap, tapi juga mistik dan penuh ketegangan batin. Kita bisa merasakan kesan sebuah malam yang absurd—mabuk, amarah, pencarian Tuhan, pertumpahan darah, sekaligus kebangkitan puisi dari luka itu sendiri.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan tersirat dari puisi ini adalah bahwa puisi sejati lahir dari keberanian total—berani menyelam ke dasar luka, berani menggugat Tuhan, dan berani menelanjangi bahasa itu sendiri. Penyair sejati tak hanya bermain kata, tapi bertaruh jiwa, bahkan mungkin rela kehilangan akal sehatnya demi meraih satu momen kejujuran mutlak.

Imaji

Puisi ini sangat kuat dalam menghadirkan imaji visual dan emosional, seperti:
  • “Sampai pecah ini botolnya” — menghadirkan gambaran pesta mabuk yang destruktif.
  • “Minta tuak dari jantung-Mu” — gambaran yang mengguncang, penuh simbolisme mistik tentang bagaimana puisi bisa bersumber dari kedalaman ilahi.
  • “Ya Allah, sajak terindah kutemu dalam Kau darah” — ini adalah puncak imaji sekaligus klimaks spiritual, ketika puisi dan Tuhan bersatu dalam luka dan pengorbanan.

Majas

Puisi ini menggunakan beberapa majas yang sangat khas Joko Pinurbo:
  • Metafora: “Tuak dari jantung-Mu”, “Sajak terindah kutemu dalam Kau darah” adalah metafora yang membawa pembaca ke dimensi spiritual.
  • Personifikasi: Tuhan digambarkan dengan atribut tubuh manusia, seperti “leher panjang-Mu”, untuk memberi kesan kedekatan yang provokatif sekaligus personal.
  • Hiperbola: Gambaran ekstrem tentang memecahkan botol, meminta kapak, dan pertumpahan darah adalah bentuk penguatan ekspresi yang intens.
  • Ironi dan paradoks: Di balik tindakan destruktif seperti mabuk dan menetak leher, tersembunyi pencarian makna yang suci dan mendalam.
Puisi “Penyair Tardji” adalah puisi penghormatan sekaligus refleksi spiritual dari Joko Pinurbo terhadap sosok Sutardji Calzoum Bachri. Di dalamnya terkandung narasi seorang penyair yang tak puas hanya dengan keindahan kata-kata, tapi ingin menjadikan puisi sebagai jalan menuju Tuhan, walau harus melewati luka, mabuk, dan kegilaan.

Puisi ini menantang kita untuk melihat puisi bukan hanya sebagai permainan bahasa, tapi juga sebagai senjata eksistensial dan doa paling jujur. Karena dalam darah, dalam mabuk, dalam amuk spiritual yang liar, kadang justru di situlah sajak terindah ditemukan.

Puisi: Penyair Tardji
Puisi: Penyair Tardji
Karya: Joko Pinurbo

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.