Puisi: Pelabuhan Pulau Terasing (Karya Afrizal Malna)

Puisi “Pelabuhan Pulau Terasing” bercerita tentang individu yang merasa asing terhadap dirinya sendiri, terhadap Tuhannya, bahkan terhadap realitas ..
Pelabuhan Pulau Terasing

Pulau diri Pulau tak terkata
seribu tahun kau terkubur dalam tubuhku
dalam orang yang telah bertuhan
berumah pada daun-daun yang tak berpohon
kita telah berlayar untuk berlupa pada darat:
pelabuhan yang mendingin dalam diriku

Dan tuhan mengalir dalam kesembunyian rahasia
menjadi petaka semesta hari

Aku berkata dalam laut yang tidur dalam sukma ikan
mencari tanah tanah jauh tak berkota
waktu yang terkubur seribu tahun:
Aku mau hidup dalam nama-nama kematian

Dan tuhan berenang-renang dalam laut yang hilang dalam diriku
tak tahu mau pulang ke mana

Dalam kuburmu: semua telah berlabuh.

1982

Analisis Puisi:

Afrizal Malna adalah salah satu penyair paling eksperimental dan berpengaruh dalam sastra Indonesia kontemporer. Karya-karyanya kerap mengaburkan batas antara dunia batin dan dunia luar, antara realitas dan metafor, antara tubuh dan dunia. Puisi “Pelabuhan Pulau Terasing” adalah potret kerinduan dan keterasingan yang sangat eksistensial, ditulis dalam gaya yang surealis, puitis, dan menyesakkan. Dalam puisi ini, pembaca seperti diajak menyelam ke dalam diri yang menjadi pulau, yang tak lagi berpeta dan tak tentu arah.

Puisi ini bercerita tentang individu yang merasa asing terhadap dirinya sendiri, terhadap Tuhannya, bahkan terhadap realitas yang selama ini dipeluknya. Tubuh diibaratkan sebagai pulau yang sunyi dan terkubur, tempat di mana kenangan dan waktu tidak lagi dikenali. Di dalam tubuh itu, “Tuhan mengalir dalam kesembunyian rahasia”—sebuah pernyataan yang mengindikasikan keterputusan spiritual, atau setidaknya, jarak yang semakin melebar antara manusia dan Ketuhanan.

Lebih jauh, puisi ini menghadirkan gambaran seseorang yang merasa terdampar di lautan kesadaran dan ingin menemukan pelabuhan, tetapi pelabuhan itu sendiri telah mendingin, menjadi tempat sunyi yang tak lagi memberi rasa pulang. Bahkan dalam pencariannya terhadap “tanah-tanah jauh tak berkota,” tokoh dalam puisi seolah tak benar-benar mencari kehidupan, melainkan justru ingin hidup dalam “nama-nama kematian.”

Tema: Keterasingan, Krisis Spiritualitas, dan Pencarian Identitas Eksistensial

Tema utama puisi ini adalah keterasingan eksistensial. Ini bukan hanya keterasingan terhadap lingkungan atau dunia luar, melainkan keterasingan yang lebih dalam: terhadap diri sendiri, terhadap waktu, terhadap makna hidup, bahkan terhadap Tuhan. Ada juga tema pencarian, tetapi pencarian ini tidak diarahkan pada sesuatu yang konkret—melainkan pada makna, pada arah pulang yang telah menghilang.

Afrizal menghadirkan tema spiritualitas yang kompleks dan ambigu, di mana Tuhan bukan digambarkan sebagai sosok yang dekat dan membimbing, tetapi sebagai arus tak terjamah, berenang-renang dalam lautan diri yang telah hilang arah. Puisi ini seperti menyoroti kegelisahan spiritual manusia modern—yang merasa punya Tuhan, tetapi tak tahu bagaimana menjangkaunya.

Makna Tersirat: Tubuh sebagai Ruang Sejarah, Tuhan sebagai Ketakpastian

Makna tersirat dari puisi ini begitu luas dan terbuka. Namun salah satu tafsir yang bisa digarisbawahi adalah bahwa tubuh manusia menyimpan begitu banyak sejarah dan luka, hingga menjadi “pulau diri” yang terkubur dalam waktu. Pulau itu tidak lagi memiliki pohon (identitas, akar), hanya daun-daun yang tak punya asal. Ini bisa dimaknai sebagai kondisi manusia yang kehilangan orientasi hidup, baik secara spiritual maupun kultural.

Makna lainnya adalah bahwa Tuhan dalam puisi ini bukan hadir sebagai jawaban, tetapi justru sebagai pertanyaan. Ia “berenang-renang dalam laut yang hilang dalam diriku”—sebuah gambaran spiritual yang jujur, getir, dan berani. Ini adalah pengakuan bahwa dalam dunia yang telah kehilangan pusat makna, manusia sering kali mendapati Tuhannya pun menjadi samar.

Suasana dalam Puisi: Sunyi, Getir, dan Metafisis

Suasana dalam puisi ini sangat meditatif, sunyi, dan bahkan menyentuh dimensi metafisis. Ada kesan getir yang merambat perlahan—bukan dari kata-kata yang meledak, tetapi dari larik-larik yang seolah bergema dalam ruang kosong.

Dari awal hingga akhir, pembaca akan merasakan suasana yang ambigu: antara pasrah dan resah, antara menerima takdir atau justru menggugat keberadaan itu sendiri. Kedinginan pelabuhan dalam diri, laut yang tak lagi punya arah pulang, dan tuhan yang tak tahu arah renangnya—semuanya menyatu membentuk suasana yang surealis dan sunyi, hampir seperti doa yang tak pernah selesai.

Imaji: Pulau, Laut, Tubuh, Tuhan yang Berenang

Afrizal adalah penyair yang piawai dalam menciptakan imaji-imaji yang mengejutkan dan tak biasa. Dalam puisi ini, imaji sangat berperan membangun lanskap batin tokoh sekaligus menggambarkan dunia luar yang ia rasakan.
  • “Pulau diri, pulau tak terkata” menciptakan imaji tentang individu yang menjadi semesta kecil, terasing, dan tertutup.
  • “Berumah pada daun-daun yang tak berpohon” adalah imaji paradoks yang memunculkan kesan kehilangan akar, identitas yang terlepas dari sumbernya.
  • “Tuhan berenang-renang dalam laut yang hilang dalam diriku” adalah imaji metafisis yang mencengangkan, menggambarkan spiritualitas yang kabur dan tanpa arah.
  • “Pelabuhan yang mendingin dalam diriku” mengisyaratkan bahwa dalam dirinya sendiri, tempat pulang sudah tak lagi hangat.
Imaji-imaji ini tidak sekadar visual, melainkan menggugah kesadaran pembaca tentang kondisi eksistensial dan spiritual manusia kontemporer.

Majas: Metafora, Personifikasi, dan Paradoks

Afrizal menggunakan majas dengan cara yang unik dan khas. Metafora mendominasi hampir seluruh puisi ini. Misalnya:
  • “Pulau diri” adalah metafora untuk individu yang terasing dari lingkungan dan bahkan dari dirinya sendiri.
  • “Tuhan berenang-renang dalam laut yang hilang dalam diriku”—metafora kompleks yang mempersonifikasikan Tuhan sebagai perenang, tetapi perenang tanpa arah dalam tubuh yang telah kehilangan lautan itu sendiri.
  • “Berumah pada daun-daun yang tak berpohon” adalah bentuk paradoks, menggambarkan keberadaan yang tidak lengkap, yang tercerabut dari asalnya.
Majas dalam puisi ini bukan hanya untuk memperindah, melainkan untuk menantang logika pembaca. Ia mengundang kita untuk tidak hanya membaca dengan mata, tetapi juga dengan kesadaran dan ketakutan terdalam.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Jika boleh ditarik sebagai sebuah pesan, maka puisi ini ingin mengatakan bahwa pencarian makna dan spiritualitas bukanlah perjalanan yang selalu terang dan pasti. Kadang, kita harus menavigasi diri dalam lautan yang kehilangan koordinat. Kita harus jujur bahwa dalam tubuh, dalam diri, dalam keyakinan pun, bisa saja terselip keterasingan yang tak terkatakan.

Puisi ini tak memberi jawaban, tetapi justru memberi ruang untuk bertanya—dan itulah kekuatan sesungguhnya. Ia memaksa kita menengok ke dalam, menggali suara-suara sunyi yang selama ini teredam, dan memeluk ketersesatan itu sebagai bagian dari perjalanan menjadi manusia.

Sebuah Lautan Sunyi Bernama Puisi

Puisi “Pelabuhan Pulau Terasing” bukan puisi yang mudah dipahami, tetapi justru di situlah letak keindahannya. Afrizal Malna menulis seperti seseorang yang sedang mendayung dalam kabut. Ia tak berusaha membimbing kita dengan arah pasti, tetapi dengan metafor-metafor tajam dan kontemplatif, ia membuka pintu menuju pertanyaan-pertanyaan besar tentang identitas, spiritualitas, dan eksistensi.

Jika puisi ini terasa asing, barangkali itu karena ia sedang berbicara kepada bagian paling asing dari diri kita: ruang sunyi yang lama tak kita kunjungi. Dan mungkin, dalam pelabuhan yang dingin itulah, akhirnya kita bisa mulai pulang.

Puisi Afrizal Malna
Puisi: Pelabuhan Pulau Terasing
Karya: Afrizal Malna

Biodata Afrizal Malna:
  • Afrizal Malna lahir pada tanggal 7 Juni 1957 di Jakarta.

Anda mungkin menyukai postingan ini

  • Di Atas ViaductLemparkan pandangmu, sungai berlikuMembelah gubuk-gubuk kartonLemparkan rindumu, pandang dengan mata hatiCikapundung menyalib duka: seorang gadis menantiApa katamu k…
  • Lagu PembiusanBulan temaram di punggungmuUdara bau rumputanPerdu, dan lereng akasiaAngin melintas dalam ciuman panjangDi sini, saat usia tak terpahamkanAda yang bergulir dari kelop…
  • Sajak PerkawinanMemahami makna ketunggalanDalam kebersamaan. Dua nada yang berbedaBersatu dalam lagu. Dalam irama kehidupanDalam alun gelombang. Dalam pasang dan surut lautanMemaha…
  • Bosansemacam apakah hidup ini? Rasanya kokbosan dan masamapa hanya cuilan mimpi?kokoh kelamin kupakai membajak duniatitik keringat dan tetesan manimengekalkan resah tidurkujutaan s…
  • Lagu EmbunBahkan kesedihan pun dewasaDi matamu. Ia tahu makna dunia yang fanaDan paham tentang asinnya airmataKetika langit menyalaMenyaksikan perang saudaraMatamu buta. Dan kesedi…
  • PerjamuanLembar-lembar sunyiAnggur kata-kataLembar-lembar hariMemintal kitaGelas-gelas di meja, gairahEmbun dan bulanAngin dari jendela, imanMengipasi hidanganKita telah bercinta, …
© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.