Puisi: Lorong Gelap dalam Bahasa (Karya Afrizal Malna)

Puisi "Lorong Gelap dalam Bahasa" bukan puisi yang mudah dicerna. Ia menuntut perenungan. Ia seperti ruang kabur yang tidak menawarkan jawaban, ...
Lorong Gelap dalam Bahasa

Si maut itu sudah datang membuat kamar dalam perutku. Ia membeli lemari baru, tempat tidur baru, meja dan lampu kamar. Ia juga memasang sebuah cermin. Si maut itu tidak pernah keluar dari kamarku. Setiap malam ia menyetel Radio dan TV. Koran pagiku selalu diambilnya. Si maut itu, membuatku harus menggotong tubuhku sendiri untuk berdiri. Lemari goyah menahan berat tubuhku. Kamar seperti akan tenggelam ke dalam pagar-pagar jiwa. Si maut itu mengatakan, semua yang aku rasakan bukan milikku.

Aku bertengkar dengannya. Ia telah mengambil semua yang aku rindukan, semua mimpi-mimpiku. Si maut itu telah membuat kamar tidurku seperti sebuah gereja yang rusak. Seluruh penghuninya telah pergi. Lonceng berdentang seperti menggemakan lorong gelap dalam bahasa. Dan Si maut itu membuat mulutku seperti peti besi. Kata-kata yang tak pernah lagi menemui anak-anak kucing bermain. Bulunya halus dan lembut, tubuhnya gugup menghadapi setiap gerak dari dunia luar. Ibunya datang, memanggilnya dengan suara yang datang dari lorong kematian dan kelahiran, menggigit lehernya, dan membawanya ke dalam sebuah kardus.

Si maut itu, api dari kaki-kaki bahasa.

Sumber: Dalam Rahim Ibuku Tak Ada Anjing (2002)

Analisis Puisi:

Afrizal Malna bukanlah penyair biasa. Ia adalah penjelajah bahasa, seorang pelukis visual dengan kata-kata, sekaligus pencipta ruang-ruang absurd dalam puisi. Salah satu puisinya yang menghantui dan dalam maknanya adalah “Lorong Gelap dalam Bahasa”. Judulnya saja sudah cukup menggetarkan: sebuah lorong gelap, bukan sekadar lorong fisik, melainkan lorong dalam bahasa—sebuah dimensi di mana kata-kata kehilangan makna, atau justru menampakkan kengerian terdalamnya.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah keterasingan eksistensial dan kematian sebagai entitas yang hidup dalam bahasa dan tubuh. Bukan sekadar kematian fisik, melainkan semacam kematian dalam kesadaran, kematian dalam pengalaman berbahasa, atau dalam relasi personal terhadap dunia dan diri.

Puisi ini menggambarkan bagaimana “maut” atau “si maut” menjadi bagian dari keseharian, bukan sebagai simbol akhir hidup, melainkan sebagai sosok yang menyatu dalam eksistensi tokoh puisi: tinggal di kamarnya, mengambil mimpinya, menyerap ruang-ruang personalnya hingga yang tersisa hanya kegelisahan dan kesunyian.

Secara naratif, puisi ini bercerita tentang seseorang yang hidup bersama kematian yang telah hadir secara metaforis dalam hidupnya. Kematian itu tinggal dalam tubuh dan ruang pribadinya, bahkan mengambil peran domestik: membeli furnitur, menyetel TV, mengambil koran pagi. Segalanya terasa surealis, seolah kehidupan telah menjadi panggung dari absurditas.

Namun dalam absurditas itu, kita bisa membaca bahwa si penyair sedang menggambarkan proses kehilangan diri, kehilangan makna, dan hilangnya kemampuan untuk berkomunikasi secara otentik. Kata-kata telah menjadi peti besi, tidak lagi menjalin hubungan dengan dunia luar. Bahkan pengalaman personal seperti merindukan sesuatu, bermimpi, berbicara—semua itu dirampas oleh si maut.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini sangat kompleks dan multi-dimensi, namun beberapa lapisan penting yang bisa kita tangkap antara lain:
  • Bahasa dan kematian bukanlah dua hal yang terpisah. Dalam puisi ini, bahasa telah menjadi tempat persemayaman kematian—atau justru sebaliknya, kematian menyatu dalam bahasa dan menjadikannya sunyi dan hampa makna.
  • Ketidakberdayaan manusia di hadapan dunia modern dan absurditas eksistensi. Tokoh dalam puisi ini tidak lagi memiliki kontrol atas ruang dan tubuhnya sendiri. Ia harus "menggotong tubuhnya sendiri", karena “si maut” telah mengambil alih.
  • Kritik atas kondisi kesadaran pasca-modern, di mana manusia terkunci dalam bahasa, terasing dari makna sejati, dan kehilangan relasi otentik dengan dunia.
  • Simbol kucing dan anak-anaknya menjadi refleksi dari kelembutan dan kehidupan baru, namun yang justru dihadapkan pada lorong kelahiran dan kematian. Seolah semua proses kehidupan pun, dari yang paling polos, sudah ditelan oleh kegelapan bahasa.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini gelap, sunyi, surealis, dan penuh kegelisahan. Afrizal Malna menciptakan suasana yang hampa, sepi namun padat oleh rasa kehilangan yang tidak bisa dijelaskan secara langsung. Ada aura psikologis yang berat, seolah pembaca ikut masuk ke kamar tokoh yang dihuni “si maut”. Mimpi dan kenyataan bercampur, realitas dan metafora menubuh dalam lanskap batin yang kacau.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Jika harus menarik pesan dari puisi ini, maka pesan tersebut adalah: hati-hatilah terhadap bagaimana bahasa bisa menjadi tempat terkuburnya diri kita sendiri. Bahasa tidak lagi menjadi alat ekspresi, melainkan penjara. Jika kita tidak menyadari hal ini, kita bisa kehilangan makna, identitas, bahkan harapan.

Juga, ada pesan eksistensial yang lebih dalam: hidup bersama kematian adalah kenyataan batin yang bisa hadir secara metaforis dalam diri manusia, terutama ketika ia merasa kehilangan kendali atas hidup, tubuh, dan relasinya dengan dunia.

Imaji

Puisi ini penuh dengan imaji kuat dan aneh yang mengaduk perasaan pembaca. Beberapa yang menonjol:
  • "Si maut itu sudah datang membuat kamar dalam perutku." → Imaji ini menyampaikan betapa personal dan intimnya kematian dalam kehidupan tokoh; ia tidak hanya hadir di sekitar, tapi sudah tinggal di dalam tubuh.
  • "Ia membeli lemari baru, tempat tidur baru, meja dan lampu kamar." → Imaji domestik ini memperkuat absurditas situasi; kematian yang bertingkah seperti penghuni rumah biasa.
  • "Kata-kata yang tak pernah lagi menemui anak-anak kucing bermain." → Imaji ini sangat menyentuh; kata-kata tak lagi hidup, tak lagi menyentuh sesuatu yang lembut dan polos seperti anak-anak kucing.
  • "Lonceng berdentang seperti menggemakan lorong gelap dalam bahasa." → Imaji ini menjadi pusat makna puisi. Bahasa itu sendiri telah menjadi lorong gelap, gema dari sesuatu yang telah rusak.

Majas

Afrizal Malna mengandalkan majas metafora, personifikasi, dan simbolisme surrealistik dalam puisi ini.
  • Metafora: “Si maut itu membuat kamar dalam perutku” → menggambarkan betapa mendalamnya pengaruh kematian terhadap kehidupan batin tokoh. “Mulutku seperti peti besi” → mulut sebagai lambang bahasa telah menjadi penjara bagi ekspresi.
  • Personifikasi: Kematian digambarkan sebagai sosok hidup yang bisa membeli lemari, menyetel radio, bahkan mencuri mimpi.
  • Simbolisme: Anak kucing, lonceng gereja, lemari goyah, kardus—semuanya adalah simbol kompleks yang membawa pembaca pada berbagai dimensi makna, dari kenangan hingga kesepian, dari harapan hingga absurditas.

Lorong Gelap Itu Adalah Kita

Puisi "Lorong Gelap dalam Bahasa" bukan puisi yang mudah dicerna. Ia menuntut perenungan. Ia seperti ruang kabur yang tidak menawarkan jawaban, tapi justru memperlihatkan kekacauan batin yang sangat manusiawi. Afrizal Malna tidak sedang menulis untuk menjelaskan, tapi untuk menyuguhkan realitas batin yang porak-poranda, dan ia melakukannya dengan keberanian penuh.

Dalam dunia yang semakin padat informasi dan narasi, puisi ini mengajak kita berhenti sejenak dan bertanya: apa arti dari semua ini? Apakah bahasa masih bisa menyelamatkan kita, atau justru menjadi peti mati dari semua yang ingin kita sampaikan?

Membaca Afrizal Malna, adalah memasuki lorong. Dan sering kali, lorong itu adalah bayangan kita sendiri.

Puisi Afrizal Malna
Puisi: Lorong Gelap dalam Bahasa
Karya: Afrizal Malna

Biodata Afrizal Malna:
  • Afrizal Malna lahir pada tanggal 7 Juni 1957 di Jakarta.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.