Analisis Puisi:
Salah satu ciri khas puisi kontemporer adalah keberaniannya menempuh jalan sunyi dan ringkas, bahkan ekstrem dalam keringkasan. Di antara para penyair Indonesia modern, Joko Pinurbo adalah sosok yang paling lihai meramu kegetiran, ironi, dan refleksi eksistensial ke dalam bentuk-bentuk yang tampak sederhana, bahkan “ringan”, tapi menyimpan daya ledak batin yang dahsyat. Puisi "Jeritan Bayi di Dasar Jurang" adalah salah satunya.
Meski hanya terdiri dari satu kalimat pendek:
"Merontokkan semua huruf 'a' / dalam doaku yang bawel dan manja."
puisi ini menyimpan kedalaman makna yang tak kalah dari puisi yang berlarik-larik panjang.
Sebuah Pemberontakan Diam dalam Doa
Puisi ini bercerita tentang tindakan simbolik yang sangat personal: menyunting, atau bahkan menghapus, huruf “a” dari doa. Tentu, tindakan semacam ini bukan tindakan literal. Tidak ada doa yang hanya berhenti karena satu huruf ditiadakan. Tetapi dalam dunia puisi, ini bisa dimaknai sebagai pemberontakan halus terhadap bentuk-bentuk doa yang selama ini mungkin terasa terlalu rutin, terlalu sentimental, atau bahkan terlalu egoistik.
Subjek dalam puisi ini seolah menyadari bahwa doa-doanya selama ini bersifat “bawel dan manja”—dua sifat yang secara umum tidak dikaitkan dengan doa dalam makna spiritual yang sakral. Doa di sini bukan penghambaan yang hening dan ikhlas, melainkan keluh yang cerewet dan penuh keinginan. Maka, dengan metafora “merontokkan huruf ‘a’”, penyair seolah ingin membersihkan, menyunat, atau mendisiplinkan dirinya sendiri dari bentuk doa yang berlebihan, atau bahkan mempermainkan bentuk dan makna dari doa itu sendiri.
Tema: Keresahan Spiritual dan Kritik Personal terhadap Bentuk Doa
Jika kita tarik dari lapisan makna yang lebih dalam, maka puisi ini mengangkat tema tentang keresahan spiritual dan ketidaksesuaian antara bentuk doa dengan keikhlasan batin. Joko Pinurbo seakan sedang menggugat dirinya sendiri, atau siapa pun yang sering berdoa namun dengan cara yang tidak tulus—sekadar “bawel dan manja”, penuh permintaan, tanpa penerimaan.
Dengan hanya satu baris, penyair membuka ruang refleksi yang sangat luas: sudah sejauh mana doa kita benar-benar bersih dari kepentingan? Sudahkah doa menjadi dialog yang jernih dengan yang ilahi, atau sekadar daftar keinginan yang tak pernah selesai?
Makna Tersirat: Kritik terhadap Ego dalam Relasi dengan Tuhan
Puisi ini menyimpan makna tersirat yang tajam namun tidak berkhotbah. Ia tidak menyuruh pembaca untuk berdoa dengan cara tertentu, tapi justru menyajikan kegelisahan personal yang bisa kita tafsirkan sebagai kritik terhadap ego yang menyusup dalam spiritualitas. Kata "bawel dan manja" menggambarkan sifat kekanak-kanakan yang sering kali tanpa sadar menyelinap dalam hubungan manusia dengan Tuhan.
Dengan “merontokkan huruf ‘a’”, bisa juga dibaca sebagai upaya membersihkan doa dari kata-kata yang mungkin terlalu memaksa atau tidak perlu. Dalam konteks linguistik, huruf “a” adalah salah satu vokal utama dalam bahasa Indonesia. Dengan menghapusnya, doa mungkin akan kehilangan bentuk dan keteraturan, tapi barangkali justru bisa menemukan keheningan.
Suasana dalam Puisi: Sunyi yang Geram
Puisi ini memancarkan suasana yang agak paradoks: di satu sisi hening, tetapi di sisi lain penuh dengan pergolakan batin. Kalimatnya pendek, tanpa seruan emosional, tetapi justru karena itu terasa seperti sebuah jeritan dalam diam. Judulnya, “Jeritan Bayi di Dasar Jurang”, memberi latar emosional yang dalam—sebuah suara yang tidak terdengar, atau terdengar tapi tak bisa direspons, mungkin karena terlalu dalam atau terlalu sunyi.
Ini adalah suasana alienasi spiritual, atau keterputusan dari makna-makna lama yang dulu dianggap sakral. Doa yang tak lagi bisa mengangkat karena terlalu banyak "huruf ‘a’", terlalu penuh dengan permintaan yang egoistik.
Imaji: Minimalis Tapi Menohok
Secara eksplisit, puisi ini tidak menawarkan banyak imaji visual, tetapi judulnya sangat kuat dalam menciptakan gambaran. "Jeritan bayi di dasar jurang" menciptakan visual sekaligus suasana yang mencekam: sebuah tangisan tak berdaya, tersembunyi dalam kedalaman, seolah ditinggalkan. Bayi di sini bisa menjadi simbol dari jiwa manusia yang rentan, dari harapan yang tak terdengar, atau dari kelahiran makna baru yang masih tertindih reruntuhan spiritualitas lama.
Imaji ini berdiri kontras dengan tubuh puisi yang justru mengarah ke pemangkasan—menghapus huruf, menyunat kelimpahan kata, mengelupas lapisan-lapisan doa yang dianggap “berlebihan”.
Majas: Metafora Bunyi dan Kritik Diri
Secara struktur, puisi ini menggunakan majas metafora, terutama pada frasa “merontokkan huruf ‘a’”. Ini bukan tindakan linguistik biasa, tapi simbolik. Huruf “a” mungkin mewakili kata-kata tertentu—yang penuh emosi, penuh rayuan, atau mungkin kata-kata yang biasa digunakan dalam keluh kesah.
Kemudian, “doaku yang bawel dan manja” adalah bentuk personifikasi dari doa. Doa dihadirkan sebagai entitas yang punya karakter, bahkan punya “nada suara” dan sikap. Ini memberi kesan bahwa sang penyair punya hubungan yang sangat pribadi dan reflektif dengan ibadah, bukan dalam kerangka dogma, tapi sebagai relasi eksistensial yang dinamis.
Amanat / Pesan yang Disampaikan: Renungkan Ulang Doamu
Jika kita harus menarik amanat dari puisi ini, maka salah satu yang paling terasa adalah ajakan untuk merefleksikan ulang bentuk dan isi doa kita. Apakah doa kita selama ini hanya tumpukan kata yang berisik tapi kosong? Apakah kita benar-benar hadir dalam doa, atau hanya melontarkan keluhan sambil berharap mujizat?
Puisi ini menyentil kita untuk menyingkirkan yang berlebihan, untuk menyepi dari kata-kata, dan mungkin menemukan esensi spiritual justru dalam pengurangan, dalam penghilangan, dalam diam.
Satu Kalimat, Seribu Gema
Joko Pinurbo, dalam "Jeritan Bayi di Dasar Jurang", tidak memberi kita banyak kata, tapi justru memberi ruang untuk banyak tafsir. Ia menunjukkan bahwa puisi tidak harus panjang untuk dalam, tidak harus rumit untuk menyentuh. Ia hanya perlu jujur, dan mengalir dari kedalaman batin yang sungguh-sungguh.
Dan mungkin, dalam keheningan puisi ini, kita bisa mendengar jeritan paling lirih: jeritan diri kita sendiri yang sedang mencari cara baru untuk percaya, berdoa, dan hadir.

Puisi: Jeritan Bayi di Dasar Jurang
Karya: Joko Pinurbo