Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Bersandar pada Pilar-Pilar (Karya Abdul Wachid B. S.)

Puisi "Bersandar pada Pilar-Pilar" karya Abdul Wachid B. S. bercerita tentang sekelompok guru dan dosen yang berlatih teatrikalisasi puisi di ...
Bersandar pada Pilar-Pilar

Ada masanya
Tatkala lalu seorang tua dengan senyum beracun
Setelah jaman Soekarno dan para petani itu

Ratusan orang membentuk lingkaran penonton
Ratusan orang sekaligus memainkan peran
Mereka berlatih teater di antara
Tangga-tangga gedung rakyat
Bukan demonstrasi
Tapi guru dan dosen latihan teatrikalisasi puisi
Tentang teratai hidup di rawa-rawa
Tentang senasib terjerembab di rawa-rawa
Mereka mendadak menjelma penyair
Minum anggur dari kenyataan
Menelan buah kepahitan

Seseorang menguak keramaian
Dengan mengutip Anton Chekov
"Jika bangsa inginkan peradaban
Sejahterakan guru"

"Ya. Gaji kami bagai cacing kepanasan
Perut kosong, mata kunang-kunang
Hidup kami cukup tahu diri
Tak nuntut yang bukan-bukan"

Matahari menjadi latar
Langit bening kebiruan digelar
Sebuah puisi
Melebihi seribu kavaleri

Tapi, dari kerumunan itu
Penonton terpukau
Oemar Bakri dengan sepeda kumbangnya
Bertuliskan "Dijual cepat dan murah
Untuk mengembalikan gaji
Lantaran mengundurkan diri
Sebab mengikuti tugas istri ke lain provinsi"

Orang-orang ribut
Tapi bukan untuk berdebat
Orang-orang ribut
Justru buat sepakat

"Interupsi!
Bagaimana mungkin
Buruh bekerja, mengembalikan keringat upahnya?"

Aisiah, gadis Yogya dari Gadjah Mada
Dalam teka-teki hatinya bertanya
"Bukankah beri upah buruhmu
Sebelum kering keringat?
Tapi kenapa keringat telah berlarat-larat
Hanya lantaran mengundurkan diri
Seorang dosen dipaksa kembalikan upah keringatnya?"

"Astaga! Ini lebih jahil dari Abu Jahal!"
geram seorang wartawan, "Di mana itu?"

"Di satu universitas yang mengatasnamakan umat"

Orang-orang ribut
Tapi bukan untuk berdebat
Orang-orang ribut
Justru buat sepakat

Kami bukan bunga bangkai
Tapi kembang teratai
Kami bukan nyebar kata bangkai
Tapi nuntut manusiawi yang tergadai

Sungguh gedung rakyat menjelma teater
Dan sejernih wajah bocah
Guru merasa penyair
Semoga sajak bukan menambah darah

Aisiah masih bersandar pada pilar-pilar
Ia tak mengerti
Tapi mencoba mengangguk pasti
Dan langit merekam segala itu dalam
Gerimis yang gemetar

Tiba-tiba!
Berderapan penonton lain
Berlapis barikade dengan
Gas airmata dan pentungan

Serentak 
Tangan-tangan lalu angkat tangan
Membentuk lingkaran
Melingkar-lingkar kata
Kata melingkar-lingkar
Bukan demonstrasi
Tapi guru dan dosen latihan teatrikalisasi puisi

"Mari bersulang!"
"Untuk guru kita?"
"Bukan!"
"Untuk politisi?"
"Bukan!"
"Untuk polisi?"
"Bukan!"
"Untuk penyair?"
"Apalagi!"
"Habis untuk apa?"
"Untuk siapa?"

"Untuk teratai…..
amiin….."

1997-1999

Analisis Puisi:

Puisi "Bersandar pada Pilar-Pilar" karya Abdul Wachid B. S. adalah sebuah narasi yang kuat tentang perjuangan, ironi, dan harapan yang terselip di antara nasib para guru dan dosen. Dengan latar suasana teatrikal yang hidup, puisi ini merekam kegelisahan sosial yang dihadapi para pendidik, terutama dalam ketidakadilan yang mereka alami. Karya ini tidak hanya menjadi kritik sosial, tetapi juga pengakuan terhadap keberanian dan ketulusan mereka.

Tema

Tema utama dari puisi ini adalah ketidakadilan sosial terhadap guru dan dosen. Abdul Wachid B. S. menggambarkan bagaimana para pendidik harus menghadapi kenyataan pahit: upah yang tidak sebanding, penghargaan yang minim, serta ironi dalam sistem yang mengatasnamakan kepentingan umat tetapi justru menindas mereka.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah seruan agar masyarakat lebih manusiawi dalam memperlakukan para pendidik. Lewat berbagai simbol dan ironi, penyair menekankan bahwa penghargaan sejati terhadap guru dan dosen bukan hanya dalam bentuk pujian kosong, melainkan melalui keadilan sosial yang konkret: upah yang layak, penghormatan terhadap jerih payah mereka, dan sistem yang tidak merendahkan profesi mulia ini.

Puisi ini bercerita tentang sekelompok guru dan dosen yang berlatih teatrikalisasi puisi di tangga gedung rakyat, bukan dalam bentuk demonstrasi keras, melainkan sebagai cara mereka menyuarakan kegelisahan hidup mereka. Di tengah latihan tersebut, muncul kisah nyata tentang seorang dosen yang harus mengembalikan gaji lantaran mengundurkan diri mengikuti tugas istrinya ke luar provinsi. Peristiwa ini menggugah kesadaran kolektif tentang ketidakadilan yang mereka alami, diiringi dengan ketegangan antara ketidakberdayaan dan keberanian untuk bersuara.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi terasa penuh kegelisahan, getir, namun tetap mengalirkan semangat solidaritas. Ada ketegangan yang terus dibangun, dari keributan yang bukan untuk berdebat melainkan untuk sepakat, hingga munculnya aparat yang membawa gas air mata dan pentungan. Namun di balik semua itu, ada juga suasana harapan, yang digambarkan lewat sosok Aisiah dan simbol teratai.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Pesan yang disampaikan puisi ini adalah pentingnya memperlakukan pendidik secara adil dan manusiawi, serta perlunya masyarakat untuk lebih peka terhadap ketidakadilan yang dialami para guru dan dosen. Puisi ini juga mengingatkan bahwa perubahan sosial membutuhkan keberanian, bahkan jika harus diungkapkan dalam bentuk-bentuk yang sunyi seperti teatrikalisasi puisi.

Imaji

Puisi ini penuh dengan imaji kuat yang membangun suasana dan emosi:
  • "Minum anggur dari kenyataan": melukiskan bagaimana guru dan dosen harus menelan pahitnya realita.
  • "Oemar Bakri dengan sepeda kumbangnya": citra sederhana tentang kesederhanaan hidup seorang guru.
  • "Langit merekam segala itu dalam gerimis yang gemetar": memberikan nuansa kesedihan dan ketidakpastian.
  • "Berlapis barikade dengan gas airmata dan pentungan": gambaran keras tentang represi atas suara-suara yang seharusnya didengarkan.
Setiap imaji ini menguatkan kesan getir, namun juga menunjukkan keberanian dan solidaritas.

Majas

Puisi Bersandar pada Pilar-Pilar memanfaatkan berbagai majas yang memperkaya kekuatannya:
  • Metafora: "Minum anggur dari kenyataan" sebagai lambang menelan pahitnya hidup.
  • Personifikasi: "Langit merekam segala itu dalam gerimis yang gemetar", menghadirkan langit seolah menjadi saksi peristiwa.
  • Simbolisme: Teratai digunakan sebagai simbol ketabahan dan kemurnian di tengah rawa-rawa kenyataan yang keras.
  • Ironi: Penggambaran "universitas yang mengatasnamakan umat" justru memperlakukan dosen dengan tidak adil.
Majas-majas ini mempertebal nuansa kritik sosial sekaligus memperdalam rasa haru dalam puisi.

Puisi "Bersandar pada Pilar-Pilar" bukan sekadar kritik sosial; ia adalah seruan sunyi yang menggema tentang pentingnya menghormati para pendidik, bukan hanya dalam kata-kata, tetapi dalam tindakan nyata. Melalui gaya teatrikal dan simbolik, Abdul Wachid B. S. mengajak kita merenung: bahwa perubahan besar bisa dimulai dari gerakan kecil, dari sepotong puisi yang lahir di antara pilar-pilar gedung rakyat.

Abdul Wachid B. S.
Puisi: Bersandar pada Pilar-Pilar
Karya: Abdul Wachid B. S.
© Sepenuhnya. All rights reserved.