Puisi: Beri Aku Malam (Karya Iyut Fitra)

Puisi "Beri Aku Malam" karya Iyut Fitra mengangkat tema tentang waktu, perpisahan, dan pencarian kedamaian dalam kegelapan malam.
Beri Aku Malam


Berkali ulang, telah kuucapkan kepadamu, bahwa mataharilah
yang akan menceburkan kita pada waktu. Tapi kau selalu sembunyi
berbagi jarak dengan angkuh, seolah membawa Tuhan ke mana-mana
"Aku sudah terlalu tua untuk berlari. matahari hanya membakar hari
yang bertahun-tahun kusemai dalam damai!" ungkapmu
seakan berupaya melemparkanku pada jurang yang lain. Segumpal silsilah
tempat dulu kita menggambar senapan-senapan pelepah pisang
di matamu kulihat sebuah dusun sedang tenggelam.

Tidak bisakah kaupercaya? Aku juga menanam mimpi untuk cinta
untuk pagi, dan sungai tangis yang menjadi batu. Bila teriknya leleh
atau harapan terpanggang di sepanjang jalan. Marilah bernyanyi
bahwa kedamaian terbakar adalah setumpak hujan yang terlambat
dan senapan-senapan pelepah pisang itu hanya peta kanak-kanak
tapi kita tak pernah lagi bertemu setelah kautuliskan pada senja
"Beri aku malam, seliang kelam menuju Tuhan!"

Analisis Puisi:

Puisi "Beri Aku Malam" karya Iyut Fitra mengangkat tema tentang waktu, perpisahan, dan pencarian kedamaian dalam kegelapan malam. Penyair menggambarkan ketegangan antara harapan dan kenyataan, serta bagaimana kenangan dan hubungan masa lalu membentuk perjalanan seseorang dalam mencari kedamaian atau pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan dan eksistensi.

Makna Tersirat

Secara tersirat, puisi ini menggambarkan pergulatan batin seseorang yang merasa terjebak dalam keterbatasan waktu dan kenangan yang tak bisa dilupakan. Matahari, yang simbol dari waktu dan kehidupan, dipandang sebagai sesuatu yang membakar dan mempercepat perpisahan, sementara malam menjadi ruang untuk perenungan, ketenangan, dan pencarian Tuhan. Ada ketegangan antara perasaan yang terpendam dan keinginan untuk menemukan kedamaian dalam kegelapan, yang diwakili oleh permintaan untuk malam, simbol dari ketenangan dan kesempatan untuk berhubungan dengan yang lebih tinggi.

Puisi ini bercerita tentang percakapan batin dengan seseorang yang tampaknya enggan untuk bergerak maju atau menerima perubahan. Penyair menggambarkan dirinya yang mencoba untuk mengungkapkan keinginannya untuk mengejar impian dan cinta, tetapi dihadapkan dengan kenyataan bahwa orang yang dia ajak bicara tampak lebih memilih untuk tetap tinggal dalam kenangan dan masa lalu, yang digambarkan dengan senapan pelepah pisang—sebuah simbol dari kenangan dan konflik yang tidak bisa dihindari. Penyair ingin berlari menuju kedamaian, namun merasa terhalang oleh waktu dan kenyataan yang ada.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan pesan tentang pentingnya menerima waktu dan perubahan, meskipun terkadang perubahan itu datang dengan kesulitan atau kenangan yang sulit untuk dilepaskan. Penyair mengajak kita untuk tidak hanya melihat ke masa lalu, tetapi juga untuk berani bergerak maju dan mencari kedamaian dalam kegelapan malam, yang bisa menjadi simbol dari pencarian spiritual atau pemahaman diri yang lebih dalam.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji yang menggambarkan perasaan batin yang dalam dan perenungan:
  • Imaji visual – "Segumpal silsilah tempat dulu kita menggambar senapan-senapan pelepah pisang" menciptakan gambaran yang kuat tentang kenangan masa kecil atau konflik yang telah berlalu.
  • Imaji emosional – "Marilah bernyanyi bahwa kedamaian terbakar adalah setumpak hujan yang terlambat" menggambarkan perasaan bahwa kedamaian yang diinginkan datang terlambat atau dalam bentuk yang berbeda dari yang diharapkan.
  • Imaji temporal – "Beri aku malam, seliang kelam menuju Tuhan" memperlihatkan permintaan untuk menghadapi kegelapan atau malam sebagai cara untuk mencapai pemahaman atau kedamaian spiritual.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora – "Mataharilah yang akan menceburkan kita pada waktu" merupakan metafora untuk waktu yang terus bergerak dan membawa perubahan, sementara matahari simbolis dari kehidupan yang memaksa kita untuk menghadapi kenyataan.
  • Aliterasi – Pengulangan bunyi konsonan, seperti pada kata "senapan-senapan pelepah pisang", yang memberi ritme dan intensitas pada pembaca, menciptakan kesan dramatis pada gambaran kenangan dan konflik.
  • Personifikasi – Matahari dan waktu digambarkan seolah-olah memiliki kekuatan untuk membakar dan mengubah hidup seseorang, memberikan kesan bahwa waktu adalah kekuatan yang tak terbendung.
Puisi "Beri Aku Malam" mengajak pembaca untuk merenung tentang cara kita memandang waktu, kenangan, dan perubahan dalam hidup. Melalui penggunaan bahasa yang kaya akan simbolisme dan imaji, puisi ini menyampaikan rasa ketegangan batin antara keinginan untuk bergerak maju dan ketakutan akan perubahan yang datang. Malam menjadi ruang pencarian dan perenungan, tempat bagi penyair untuk mendekatkan diri pada Tuhan dan menemukan kedamaian yang sejati.

Iyut Fitra
Puisi: Beri Aku Malam
Karya: Iyut Fitra

Biodata Iyut Fitra:
  • Iyut Fitra (nama asli Zulfitra) lahir pada tanggal 16 Februari 1968 di Nagari Koto Nan Ompek, Kota Payakumbuh, Sumatra Barat.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.