Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Benteng Tak Terlihat (Karya Yusriman)

Puisi “Benteng Tak Terlihat” karya Yusriman bercerita tentang keberadaan benteng tak terlihat, simbol dari sistem atau tatanan sosial yang ...

Benteng Tak Terlihat


Benteng itu tak berdinding,
Tapi mengurung ribuan jiwa,
Tak ada penjaga, hanya adat,
Yang berkata, “Beginilah adanya.”

Ia tak berteriak, hanya membisik,
Lewat kepala para tetua,
Ia tak melarang, hanya membatasi,
Lewat ucapan yang penuh dusta.

“Jangan minta lebih dari hakmu,”
Katanya, padahal hak itu dicuri,
“Bersyukurlah kau diberi hidup,”
Padahal hidupmu hanya separuh nyeri.

Rakyat belajar menunduk dalam senyum,
Belajar bicara tanpa suara,
Belajar bermimpi tanpa langit,
Karena langit milik tuan saja.

Benteng itu tumbuh dalam hati,
Membuat ketakutan jadi biasa,
Membuat ketidakadilan jadi cerita turun-temurun,
Yang tak pernah ditanya kebenarannya.

Tapi seorang anak melihat berbeda,
Ia bertanya, “Kenapa harus begini?”
Pertanyaan kecil jadi ledakan,
Yang mengguncang tradisi mati.

Feodalisme runtuh bukan dengan pedang,
Tapi dengan kebenaran yang tak bisa dibungkam,
Benteng itu pun retak akhirnya,
Ketika rakyat berkata, “Cukup sudah!”

2025

Analisis Puisi:

Puisi “Benteng Tak Terlihat” karya Yusriman adalah salah satu karya sastra yang dengan kuat menyuarakan keresahan sosial. Meski tidak menyebut tokoh atau tempat tertentu, puisi ini menyuguhkan gambaran yang jelas tentang kekuasaan yang membungkam, adat yang mengekang, dan warisan ketakutan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Dengan bahasa yang lugas namun simbolik, penyair menghadirkan sebuah kritik sosial yang tajam dan menggugah.

Tema: Ketidakadilan Sosial dan Perlawanan terhadap Feodalisme

Tema utama dari puisi ini adalah ketidakadilan sosial yang dilembagakan melalui adat dan budaya patriarkal-feodal. Puisi ini mengangkat bagaimana kekuasaan tidak selalu hadir dalam bentuk kekerasan fisik atau militer, tetapi bisa tumbuh dalam bentuk yang lebih halus: melalui norma, bisikan tetua, dan aturan yang dianggap “sudah sewajarnya.”

Namun di balik itu, terselip tema perlawanan, tentang munculnya kesadaran kritis dari generasi muda. Sebuah perubahan dimulai dari pertanyaan kecil, dan inilah yang menjadi titik balik dalam puisi ini.

Puisi ini bercerita tentang keberadaan benteng tak terlihat, simbol dari sistem atau tatanan sosial yang membelenggu masyarakat, terutama rakyat kecil. Benteng ini tidak tampak secara fisik, tidak ada penjaga bersenjata, tetapi keberadaannya nyata dan menekan.

Yang menjadi penjaga adalah adat, yang mewakili aturan tak tertulis—dipelihara oleh para tetua—yang melanggengkan ketidakadilan atas nama norma. Ini adalah sistem sosial yang tidak mempertanyakan otoritas, yang menuntut ketaatan membabi buta, dan yang memaksa masyarakat untuk bersyukur atas kehidupan yang penuh penderitaan.

Makna Tersirat: Kritik terhadap Budaya yang Menumpulkan Perlawanan

Makna tersirat dari puisi ini cukup mendalam. Ia menyampaikan bahwa tidak semua yang disebut “adat” adalah suci dan tidak boleh diganggu gugat. Adat bisa menjadi alat pembungkaman jika ia digunakan untuk mempertahankan ketimpangan.

Ketika masyarakat diajarkan untuk “menunduk dalam senyum” dan “bermimpi tanpa langit,” maka yang terjadi adalah normalisasi terhadap penindasan. Ketaatan tanpa kritisisme menjadi bagian dari benteng itu sendiri. Puisi ini menyiratkan bahwa kebisuan massal bukanlah tanda damai, tetapi tanda dari luka sosial yang dalam.

Namun, munculnya seorang anak yang berani bertanya menandai harapan. Bahwa perubahan besar sering kali bermula dari keberanian kecil untuk mempertanyakan kemapanan.

Suasana dalam Puisi: Sunyi, Tertekan, lalu Meledak

Suasana dalam puisi ini pada awalnya sunyi dan tertekan. Ia menggambarkan suasana masyarakat yang diam, takut, dan pasrah terhadap ketimpangan yang dianggap sebagai takdir. Namun, suasana ini perlahan berubah menjadi penuh ketegangan, hingga akhirnya mencapai ledakan emosional di bagian akhir—ketika rakyat akhirnya berkata, “Cukup sudah!”

Imaji: Benteng, Ucapan, dan Langit

Yusriman menampilkan imaji yang kuat dan simbolik dalam puisinya. Di antaranya:
  • Benteng yang tak berdinding – sebuah paradoks yang kuat, menunjukkan kekuasaan abstrak tapi nyata.
  • Ucapan penuh dusta dari tetua – menunjukkan bagaimana otoritas moral bisa menjadi manipulatif.
  • Mimpi tanpa langit – gambaran menyakitkan tentang keterbatasan aspirasi masyarakat tertindas.
Semua imaji ini menyatu menjadi narasi visual yang memperjelas atmosfer penindasan sistemik.

Majas: Metafora, Personifikasi, dan Ironi

Puisi ini kaya akan majas, terutama metafora. Benteng adalah metafora dari sistem sosial yang menindas. Personifikasi juga tampak, misalnya dalam larik “benteng itu tumbuh dalam hati,” seolah-olah ketakutan itu telah mengakar secara personal.

Ironi menjadi gaya yang sangat menonjol. Contohnya: “Bersyukurlah kau diberi hidup, padahal hidupmu hanya separuh nyeri.” Kalimat ini memperlihatkan bagaimana ajaran syukur bisa dipelintir menjadi pembenaran terhadap penderitaan sistemik.

Amanat: Pertanyakan, Lawan, dan Jangan Terdiam

Jika ada amanat yang paling kuat dari puisi ini, itu adalah bahwa diam bukanlah jawaban dalam menghadapi ketidakadilan. Tradisi atau adat tidak boleh menjadi alasan untuk membungkam suara kebenaran.

Puisi ini menyerukan bahwa perubahan dimulai dari pertanyaan, dari keberanian untuk melawan narasi yang selama ini dianggap sakral. Feodalisme, menurut penyair, tidak runtuh oleh pedang, tetapi oleh kesadaran kritis yang tak bisa dibungkam.

Puisi sebagai Ledakan Kecil yang Mengguncang

Puisi “Benteng Tak Terlihat” bukan sekadar puisi tentang sistem sosial—ia adalah seruan moral, protes sunyi yang akhirnya menggelegar. Yusriman menulis dengan nada yang tenang namun menggugah, membimbing pembaca dari perenungan menuju keberanian.

Dalam dunia yang sering menormalisasi ketimpangan atas nama adat, budaya, atau bahkan agama, puisi ini berdiri sebagai pengingat: tradisi yang menindas tidak layak dilestarikan, dan perubahan bisa lahir dari satu suara yang berani bertanya, “Kenapa harus begini?”

Dan ketika satu suara itu menggema, benteng yang paling kokoh pun bisa retak.

Yusriman
Puisi: Benteng Tak Terlihat
Karya: Yusriman

Biodata Yusriman:
  • Yusriman, sastrawan muda asal Pasaman Barat.
  • Aktif dalam Pengelolaan Seminar Internasional Pusat Kajian Sastra Indonesia, Mazhab Limau Manis.
  • Mahasiswa S2 Kajian Budaya, Universitas Andalas.
© Sepenuhnya. All rights reserved.