Halalbihalal adalah tradisi khas masyarakat Indonesia yang dilaksanakan setelah Hari Raya Idul Fitri, baik di lingkungan masyarakat, pemerintahan, perusahaan, maupun lembaga pendidikan. Melansir dari laman NU Online, Staf Khusus Menteri Agama Bidang Media dan Komunikasi Publik, Wibowo Prasetyo, halal bihalal adalah salah satu tradisi khas Indonesia yang memperkuat moderasi. Pemahaman keagamaan yang moderat terus berkembang di Indonesia antara lain buah dari tradisi ini, oleh karena itu tradisi halalbihalal harus diuri-uri, dan dilestarikan. Lebih lanjut beliau menegaskan bahwa halalbihalal ini adalah wajah kita, Indonesia yang toleran, saling menghormati kepada sesama pemeluk agama dan tidak ada sekat dalam halal bihalal, semua pemeluk agama saling memaafkan tanpa melihat status atau agama seseorang.
Tradisi halalbihalal di Indonesia lahir pada tahun 1948 atas gagasan K.H. Abdul Wahab Chasbullah untuk meredakan ketegangan politik yang terjadi di antara para elit politik. Pada saat itu, Indonesia menghadapi ancaman disintegrasi akibat berbagai pemberontakan, sementara para pemimpin politik enggan bersatu karena saling menyalahkan. Presiden Soekarno kemudian meminta nasihat dari K.H. Abdul Wahab Chasbullah untuk mencari solusi atas situasi tersebut. K.H. Abdul Wahab Chasbullah pun menyarankan agar diadakan silaturahim, mengingat sebentar lagi hari raya idul fitri, namun Bung Karno menginginkan istilah yang lebih unik dan berkesan. Maka dari itu, K.H. Abdul Wahab Chasbullah menciptakan istilah halalbihalal, yang memiliki makna mendalam, yaitu menghapus dosa dengan saling memaafkan sehingga tidak ada lagi perpecahan. Presiden Soekarno pun mengundang para tokoh politik untuk berkumpul dan berdamai dalam sebuah acara halalbihalal di Istana Negara. Sejak saat itu, tradisi ini menjadi bagian dari budaya bangsa Indonesia pasca-Lebaran sebagai ajang mempererat persatuan dan memperkuat tali silaturahim (Mufida, 2024).
Dalam acara halalbihalal, semua orang diajak untuk saling memaafkan dan menjalin kembali hubungan yang mungkin sempat renggang akibat kesalahpahaman atau konflik tanpa memandang latar belakang agama, suku, atau status sosial. Ini mencerminkan persaudaraan universal yaitu melibatkan konsep keadilan, dan perdamaian (Anandari, 2022). Selain itu, halalbihalal juga mencerminkan nilai keseimbangan dalam beragama, di mana Islam di Indonesia tidak hanya berorientasi pada hubungan individu dengan Tuhan (hablum minallah), tetapi juga menekankan hubungan baik dengan sesama manusia (hablum minannas). Sikap saling memaafkan yang menjadi inti dari halalbihalal merupakan cerminan dari ajaran Islam yang mengutamakan kasih sayang, perdamaian, dan persaudaraan. Dengan adanya tradisi ini, masyarakat diajarkan untuk tidak menyimpan dendam dan prasangka buruk, melainkan membangun hubungan yang lebih harmonis berdasarkan semangat kebersamaan.
Selain dalam lingkup keluarga dan masyarakat, praktik halalbihalal juga sering dilakukan di lingkungan pemerintahan, perusahaan, serta lembaga pendidikan. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai moderasi beragama juga berperan dalam kehidupan sosial. Dalam dunia kerja, misalnya, halalbihalal menjadi momen untuk mempererat hubungan antarpegawai, menciptakan suasana kerja yang lebih harmonis, dan menumbuhkan rasa kebersamaan dalam menjalankan tugas. Di lingkungan pendidikan, tradisi ini mengajarkan nilai-nilai etika sosial kepada para siswa dan mahasiswa, menanamkan sikap saling menghargai, serta memperkuat hubungan antarpendidik dan peserta didik.
Halalbihalal juga berkontribusi dalam menjaga stabilitas sosial dan politik di Indonesia. Di tengah masyarakat yang majemuk, potensi konflik akibat perbedaan pandangan politik maupun keyakinan selalu ada. Namun, dengan adanya budaya halalbihalal yang menekankan pentingnya rekonsiliasi, saling memaafkan, ketegangan sosial dapat diredakan, dan semangat persatuan tetap terjaga. Hal ini selaras dengan konsep moderasi beragama yang mengedepankan dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan perbedaan, bukan dengan cara tindak kekerasan, intoleransi, apalagi sampai menghilangkan komitmen kebangsaan
Dengan demikian, halalbihalal tidak hanya sekadar tradisi tahunan yang dilakukan setelah Hari Raya Idul Fitri, tetapi juga memiliki keterkaitan erat dengan konsep moderasi beragama. Hal ini dikarenakan moderasi beragama mengajarkan keseimbangan dalam menjalankan ajaran agama tanpa terjerumus ke dalam ekstremisme, baik dalam bentuk fanatisme berlebihan maupun sikap terlalu longgar terhadap nilai-nilai agama. Selain itu, tradisi halalbihalal juga mengandung indikator moderasi beragama baik dalam aspek komitmen kebangsaan, anti kekerasan, toleransi, dan akomodatif terhadap budaya lokal. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus melestarikan dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam halalbihalal, bukan hanya dalam momen tertentu, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari sebagai wujud nyata dari moderasi beragama.
Daftar Pustaka:
- NU Online (2022, 14 Mei). Stafsus Menag: Halal Bihalal, Tradisi Penguat Moderasi. Diakses pada 25 Maret 2025, dari https://www.nu.or.id/nasional/stafsus-menag-halal-bihalal-tradisi-penguat-moderasi-ApeuV
- Nu Online (2015, 17 Juli). KH Wahab Chasbullah Penggagas Istilah “Halal Bihalal”. Diakses pada 25 Maret 2025, dari https://nu.or.id/fragmen/kh-wahab-chasbullah-penggagas-istilah-ldquohalal-bihalalrdquo-stylx
- Anandari, A. A. (2022). Hasyim Asy’ari; Persaudaraan; Toleransi. Religi, 18(02).
- Mufida, K. (2024). Halal bi Halal sebagai Momentum Rekonsiliasi dan Penguatan Silaturrahmi. 16(2), 39–50.
Biodata Penulis:
Rohmatunni'mah, saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.