Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Moderasi Beragama di Indonesia: Menguatkan Toleransi, Menolak Ekstremisme

Moderasi beragama bukan sekadar konsep, tetapi kebutuhan nyata dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk. Dalam menghadapi tantangan ...

Indonesia merupakan negara yang dikenal dengan keberagamannya, baik dari segi agama, suku, budaya, maupun bahasa. Dengan enam agama resmi yang diakui negara dan ratusan suku bangsa, harmoni sosial menjadi tantangan sekaligus kebutuhan yang harus terus dijaga. Dalam konteks inilah, moderasi beragama menjadi sangat relevan. Moderasi beragama tidak hanya penting sebagai sikap pribadi, tetapi juga sebagai strategi tepat dalam merawat kerukunan dan mencegah perpecahan. Ketika intoleransi dan ekstremisme mulai menjangkiti ruang-ruang publik, maka diperlukan pendekatan keagamaan yang bijak, seimbang, dan inklusif. Tulisan saya ini akan membahas makna moderasi beragama, urgensinya di Indonesia, serta penerapan nyatanya dalam kehidupan sehari-hari.

Sebelumnya sedikit tentang saya, saya adalah Muhammad Nurafni Junianto, mahasiswa aktif di Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan atau yang kerap dikenal dengan sebutan UIN Gusdur. Saya tertarik dan ingin ikut serta dalam mengkampanyekan moderasi beragama salah satunya melalui tulisan ini, saya melihat moderasi beragama ini sangatlah penting bagi negara yang kaya akan perbedaan suku, budaya, bahasa, hingga agama seperti negara kita tercinta, yaitu Negara Indonesia, untuk selalu menjaga kerukunan dan persatuan.

Moderasi beragama pada dasarnya adalah sikap tengah dalam menjalankan ajaran agama, tidak condong pada ekstrem kanan maupun kiri. Menurut Kementerian Agama Republik Indonesia (2019), moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan praktik beragama yang mengedepankan keseimbangan, baik dalam memahami ajaran maupun dalam menerapkannya dalam kehidupan sosial. Artinya, seseorang tetap berpegang pada ajaran agamanya, tetapi juga menghargai hak orang lain untuk beragama sesuai keyakinannya.

Moderasi Beragama di Indonesia

Ciri-ciri seseorang yang memiliki sikap moderat di antaranya adalah toleran, adil, menghargai perbedaan, serta tidak mudah mengklaim kebenaran mutlak atas tafsir keagamaan tertentu. Dalam konteks masyarakat yang majemuk seperti Indonesia, sikap ini bukan hanya penting, tetapi juga sangat dibutuhkan untuk menjaga keharmonisan dan persatuan.

Azyumardi Azra (2007), seorang cendekiawan Muslim Indonesia, juga menekankan bahwa moderasi beragama bukanlah bentuk sinkretisme atau mencampuradukkan ajaran agama, melainkan usaha untuk membangun kehidupan beragama yang damai, adil, dan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.

Indonesia adalah negara yang sangat plural, baik dari segi agama, suku, bahasa, maupun budaya. Keberagaman ini memang menjadi kekayaan tersendiri, tetapi juga menyimpan potensi konflik jika tidak dikelola dengan baik. Oleh karena itu, moderasi beragama menjadi salah satu pilar penting dalam menjaga keutuhan bangsa.

Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), penyebaran paham radikal di Indonesia masih cukup signifikan, terutama melalui media sosial. Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya penanaman nilai-nilai moderat sejak dini agar masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh narasi-narasi intoleran dan ekstrem.

Moderasi beragama juga sejalan dengan semangat Pancasila, khususnya sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam sila ini, nilai keagamaan dihormati, namun tetap dalam bingkai persatuan dan kebangsaan. Hal ini menegaskan bahwa keberagamaan di Indonesia harus dijalani dengan penuh rasa tanggung jawab sosial dan semangat kebersamaan.

Menurut Komaruddin Hidayat (2015), guru besar UIN Syarif Hidayatullah, moderasi beragama adalah bentuk kecerdasan spiritual dan sosial yang menjadikan agama sebagai kekuatan pemersatu, bukan sebaliknya. Dengan sikap moderat, umat beragama tidak hanya menjalankan ajaran agamanya dengan baik, tetapi juga mampu membangun relasi yang harmonis dengan orang lain.

Moderasi beragama dapat ditemukan dalam berbagai praktik kehidupan sehari-hari di masyarakat Indonesia. Misalnya, ketika umat lintas agama saling membantu saat terjadi bencana alam, atau ketika umat non-Muslim turut menjaga ketenangan lingkungan saat bulan Ramadan. Praktik-praktik seperti ini menunjukkan bahwa nilai toleransi dan saling menghormati sudah menjadi bagian dari budaya bangsa.

Di tingkat kelembagaan, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) menjadi salah satu contoh nyata dari upaya sistematis dalam menjaga harmoni antarumat beragama. FKUB dibentuk di hampir seluruh kabupaten dan kota di Indonesia, dan berperan sebagai ruang dialog serta mediasi ketika terjadi ketegangan atau potensi konflik antarumat.

Selain itu, Kementerian Agama juga telah menerapkan pendidikan moderasi beragama di lembaga pendidikan formal. Modul pembelajaran tentang moderasi mulai diajarkan di madrasah dan perguruan tinggi keagamaan, sebagai langkah preventif terhadap penyebaran paham intoleran di kalangan generasi muda.

Di lingkungan terkecil sekalipun, moderasi bisa diwujudkan dalam bentuk sederhana. Misalnya, tidak menyebarkan ujaran kebencian di media sosial, menghargai waktu ibadah orang lain, hingga tidak memaksakan pandangan pribadi dalam diskusi keagamaan. Tindakan-tindakan ini mungkin terlihat kecil, tetapi memiliki dampak besar jika dilakukan secara kolektif.

Moderasi beragama bukan sekadar konsep, tetapi kebutuhan nyata dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang majemuk. Dalam menghadapi tantangan intoleransi, radikalisme, dan perpecahan sosial, moderasi hadir sebagai jalan tengah yang mengedepankan toleransi dan keseimbangan. Dengan memperkuat nilai-nilai moderat, kita tidak hanya menjaga harmoni antarumat beragama, tetapi juga memperkuat fondasi kebangsaan kita sendiri. Oleh karena itu, penting bagi setiap individu, lembaga pendidikan, dan pemerintah untuk terus mendorong praktik moderasi dalam berbagai aspek kehidupan. Indonesia yang damai dan bersatu hanya dapat terwujud jika semua pihak bersedia menghargai perbedaan dan menolak segala bentuk ekstremisme atas nama agama.

Biodata Penulis:

Muhammad Nurafni Junianto saat ini aktif sebagai mahasiswa di Universitas Islam Negeri K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan.

© Sepenuhnya. All rights reserved.