Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Moderasi Beragama dalam Dunia Virtual: Menjaga Toleransi di Era Disinformasi Digital

Moderasi beragama adalah cara pandang dan sikap dalam menjalankan ajaran agama secara seimbang, tidak ekstrem, serta menjunjung tinggi nilai-nilai ...

Di era digital, batas antara ruang privat dan publik menjadi semakin tipis. Komunikasi yang dulunya terbatas pada interaksi langsung kini meluas melalui berbagai platform media sosial, forum diskusi daring, dan konten berbasis video. Dalam ruang digital ini, agama turut hadir sebagai bagian dari ekspresi identitas dan keyakinan seseorang. Namun, ekspresi keagamaan di internet tidak selalu menghadirkan kedamaian. Banyaknya ujaran kebencian, hoaks keagamaan, hingga sikap intoleran justru menjadi tantangan baru. Maka dari itu, moderasi beragama harus diperluas maknanya dan diimplementasikan secara aktif di dunia virtual.

Moderasi Beragama dalam Dunia Virtual

Moderasi beragama adalah cara pandang dan sikap dalam menjalankan ajaran agama secara seimbang, tidak ekstrem, serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, dan keadilan. Dalam konteks Indonesia, konsep ini menjadi sangat relevan untuk menjaga kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat yang majemuk. Kementerian Agama Republik Indonesia (2019) mendefinisikan moderasi beragama sebagai “komitmen untuk selalu berada di jalan tengah, adil, dan seimbang dalam menjalankan ajaran agama.”

Namun, dunia digital menghadirkan tantangan yang berbeda. Di balik kemudahan akses dan luasnya jangkauan informasi, tersembunyi ancaman berupa disinformasi, polarisasi, dan radikalisasi daring. Campbell (2013) dalam studinya tentang agama digital menyebut bahwa media sosial telah menjadi lahan baru bagi penyebaran ideologi ekstrem karena sifatnya yang bebas, cepat, dan tidak terkurasi dengan baik. Dalam dunia maya, penyebaran informasi tidak melalui proses verifikasi ketat. Siapa pun bisa menyebarkan tafsir keagamaan, potongan ceramah, atau bahkan konten yang sengaja dipelintir untuk kepentingan tertentu. Misalnya, ceramah yang dipotong dari konteks aslinya bisa disebarkan secara viral dan memunculkan persepsi salah yang berujung pada kebencian terhadap kelompok agama tertentu.

Selain itu, algoritma media sosial memperkuat polarisasi dengan menyajikan konten yang "disukai" pengguna. Hal ini menyebabkan pengguna terperangkap dalam echo chamber, di mana mereka hanya melihat perspektif yang serupa dan semakin terpisah dari pandangan yang berbeda (Sunstein, 2017). Polarisasi ini berbahaya karena dapat menumbuhkan fanatisme digital, yang berdampak pada relasi sosial di dunia nyata.

Moderasi beragama di ruang digital harus dimulai dari kesadaran personal. Pengguna internet harus membiasakan diri untuk berpikir kritis, memverifikasi informasi, dan tidak mudah terpancing provokasi. Sebelum membagikan kutipan agama atau berita keagamaan, penting untuk memeriksa sumber dan konteksnya.

Selain itu, peran pemuka agama dan tokoh masyarakat sangat penting untuk menciptakan narasi alternatif yang damai. Para pemuka agama dapat memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan pesan-pesan moderat dan memperluas jangkauan dakwah yang mengedepankan nilai kemanusiaan. Konten kreatif seperti podcast, video pendek, dan infografis dapat menjadi alat efektif untuk menanamkan nilai toleransi di kalangan pengguna muda.

Pendidikan juga memainkan peran vital. Institusi pendidikan, terutama madrasah dan pesantren, perlu memperkenalkan kurikulum literasi digital berbasis nilai agama. Tujuannya adalah agar siswa tidak hanya memahami ajaran agama secara tekstual, tetapi juga mampu menerapkannya dalam konteks sosial digital yang terus berkembang (Azra, 2020).

Moderasi beragama di dunia digital tidak hanya penting untuk mencegah konflik, tetapi juga untuk membangun budaya toleransi yang sehat dan berkelanjutan. Dunia maya harus menjadi ruang inklusif di mana keberagaman pandangan dan keyakinan dapat hidup berdampingan. Hal ini tidak bisa dicapai jika masyarakat hanya diam dan membiarkan ruang digital dipenuhi oleh suara ekstrem.

Dibutuhkan kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, tokoh agama, dan pengguna internet itu sendiri untuk membangun ekosistem digital yang lebih sehat. Moderasi beragama di era digital adalah sebuah ikhtiar kolektif untuk merawat nilai-nilai perdamaian dan kebersamaan di tengah arus informasi yang tidak terbendung.

Moderasi beragama di dunia virtual merupakan refleksi dari kematangan beragama di era modern. Hal ini bukan hanya sekadar sikap netral, tetapi sebuah komitmen aktif untuk menghadirkan kebaikan di tengah kebisingan dunia maya. Di tengah derasnya arus disinformasi dan provokasi, moderasi menjadi kompas moral yang menjaga masyarakat tetap harmonis dan beradab. Dunia maya adalah cerminan dunia nyata—jika kita ingin hidup damai, maka kita pun harus menciptakan kedamaian di ruang digital.

Daftar Pustaka:

  • Azra, A. (2020). Moderasi beragama dalam konteks keindonesiaan. Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI.
  • Campbell, H. A. (2013). Digital religion: Understanding religious practice in new media worlds. Routledge.
  • Kementerian Agama Republik Indonesia. (2019). Moderasi Beragama. Jakarta: Kementerian Agama RI.
  • Sunstein, C. R. (2017). Republic: Divided democracy in the age of social media. Princeton University Press.

Biodata Penulis:

Muhamad Aufa Firzatullah saat ini aktif sebagai mahasiswa UIN K.H. Abdurahman Wahid Pekalongan.

© Sepenuhnya. All rights reserved.