Di tengah derasnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi, masyarakat dunia dihadapkan pada tantangan baru dalam kehidupan beragama. Perbedaan keyakinan, budaya, dan cara pandang semakin mencolok, dan tak jarang menjadi pemicu konflik sosial. Ironisnya, agama yang sejatinya membawa pesan damai justru sering disalahgunakan untuk membenarkan tindakan kekerasan atau intoleransi. Dalam situasi seperti ini, suara moderat yang mengedepankan toleransi dan keseimbangan justru seringkali tenggelam oleh gemuruh ekstremisme yang menyebarkan kebencian. Fenomena ini menunjukkan betapa pentingnya membangun kesadaran akan nilai-nilai moderasi beragama sebagai cara beragama yang lebih damai, bijak, dan sesuai dengan tuntunan ajaran agama.
Moderasi beragama merupakan konsep beragama secara adil, seimbang, dan tidak berlebihan dalam memahami maupun mengamalkan ajaran agama. Dalam Islam, nilai ini tercermin dalam istilah ummatan wasathan—umat pertengahan—sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 143. Umat Islam dituntut untuk menjadi pribadi yang mampu menempatkan diri secara proporsional antara keyakinan terhadap agamanya dengan penghargaan terhadap perbedaan. Dalam konteks kehidupan modern yang plural dan cepat berubah, moderasi beragama menjadi sangat mendesak untuk menjaga kerukunan, menghindari polarisasi, dan memperkuat nilai-nilai kemanusiaan universal. Melalui sikap moderat, umat beragama dapat menjadi agen perdamaian dan penjaga harmoni sosial di tengah dunia yang kompleks ini.
Moderasi beragama adalah cara beragama yang menjunjung keseimbangan, menghindari sikap berlebihan (ghuluw) ataupun meremehkan (tafriṭ) dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama. Konsep ini menekankan pentingnya menjalani kehidupan beragama dengan adil, proporsional, serta terbuka terhadap perbedaan. Moderasi bukan berarti mencampuradukkan ajaran agama, tetapi menempatkan ajaran agama secara tepat sesuai konteks, tanpa kehilangan nilai-nilai pokoknya. Dalam praktiknya, moderasi beragama mampu menjadi jembatan antara keteguhan iman dengan sikap toleran terhadap umat lain, sehingga tercipta suasana damai dan saling menghargai dalam masyarakat yang majemuk.
Dalam Islam, konsep ini secara tegas ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 143, yang menyebutkan bahwa Allah menjadikan umat Islam sebagai ummatan wasathan atau umat pertengahan. Umat pertengahan adalah mereka yang tidak condong kepada ekstrem kanan (radikal) atau kiri (liberal berlebihan), melainkan berjalan di tengah, adil dan seimbang. Nilai-nilai utama dari moderasi beragama meliputi toleransi, keadilan, keseimbangan, serta penghargaan terhadap perbedaan. Dengan memegang nilai-nilai tersebut, umat Islam diharapkan mampu berperan aktif dalam menjaga harmoni sosial, menjadi teladan dalam berakhlak, serta menjadi perekat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mewujudkan moderasi beragama merupakan tanggung jawab bersama, baik oleh individu maupun lembaga. Peran individu sebagai umat beragama sangat penting, yaitu dengan menunjukkan sikap adil, santun, terbuka, dan toleran dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain, keluarga dan lembaga pendidikan berperan besar dalam menanamkan nilai-nilai moderasi sejak dini, agar generasi muda tumbuh menjadi pribadi yang bijak dan tidak mudah terpengaruh oleh paham-paham ekstrem. Sementara itu, lembaga keagamaan dan negara juga memiliki tanggung jawab dalam menyampaikan ajaran agama secara seimbang, mencerahkan, dan tidak provokatif, sehingga tercipta suasana keberagamaan yang damai, inklusif, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam upaya menanamkan moderasi beragama, berbagai tantangan serius masih kerap dihadapi masyarakat. Salah satu tantangan utama adalah maraknya ujaran kebencian yang tersebar luas di media sosial, yang sering memicu konflik dan memperkuat sentimen kebencian atas dasar perbedaan agama atau keyakinan. Selain itu, pemahaman agama yang sempit dan tekstual tanpa mempertimbangkan konteks sering kali menjadi akar munculnya sikap fanatik dan intoleran. Tidak kalah penting, politisasi agama oleh pihak-pihak tertentu juga memperkeruh suasana keberagamaan dan menciptakan polarisasi di tengah masyarakat.
Untuk menjawab tantangan tersebut, diperlukan langkah-langkah strategis yang menyentuh berbagai lapisan masyarakat. Literasi digital dan literasi agama harus ditingkatkan agar masyarakat mampu menyaring informasi secara kritis dan memahami ajaran agama secara utuh dan moderat. Kolaborasi antar tokoh agama, tokoh masyarakat, dan institusi pendidikan juga sangat penting dalam menyebarkan pesan-pesan damai dan toleran. Selain itu, penegakan hukum terhadap ujaran kebencian dan tindakan intoleransi harus dilakukan secara tegas agar menjadi efek jera bagi pelaku serta perlindungan bagi masyarakat yang menjadi korban. Dengan demikian, moderasi beragama dapat tumbuh subur dan menjadi fondasi kokoh bagi kehidupan yang rukun dan damai.
Kata-Kata Mutiara: Menjadi umat tengah adalah tentang menjaga keseimbangan antara keyakinan dan toleransi.
Biodata Penulis:
Ahmad Habiburrahman lahir pada tanggal 7 September 2003 di Pemalang. Saat ini ia aktif sebagai mahasiswa di UIN K.H. Abdurrahman Wahid, Pekalongan.