Media Sosial dan Tantangan Moderasi Beragama di Kalangan Milenial

Moderasi beragama adalah sikap beragama yang mengedepankan keseimbangan, toleransi, serta menghindari sikap ekstrem, baik dalam bentuk liberalisme ...

Di era digital seperti saat ini, media sosial menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan generasi milenial. Platform seperti Instagram, TikTok, Twitter, dan YouTube telah menjadi ruang baru untuk mencari informasi, mengekspresikan pendapat, dan membangun identitas, termasuk dalam hal keberagamaan. Generasi muda kini lebih banyak belajar tentang agama bukan hanya dari guru atau ustaz secara langsung, tetapi juga dari konten-konten keagamaan yang beredar luas di dunia maya. Fenomena ini membuka peluang besar untuk memperluas pemahaman beragama, namun sekaligus menghadirkan tantangan serius terhadap upaya moderasi beragama.

Media Sosial dan Tantangan Moderasi Beragama di Kalangan Milenial

Moderasi beragama adalah sikap beragama yang mengedepankan keseimbangan, toleransi, serta menghindari sikap ekstrem, baik dalam bentuk liberalisme berlebihan maupun fanatisme sempit. Sayangnya, tidak semua konten keagamaan di media sosial mencerminkan nilai-nilai tersebut. Banyak sekali unggahan yang bersifat provokatif, menghakimi, bahkan menyudutkan kelompok agama lain. Konten semacam ini sering kali viral karena menggunakan bahasa yang tajam dan memancing emosi. Dalam situasi seperti ini, generasi milenial yang masih dalam tahap pencarian jati diri bisa saja terpengaruh dan mulai membentuk pandangan keagamaan yang sempit dan tidak inklusif.

Salah satu masalah utama yang muncul adalah rendahnya literasi digital di kalangan pengguna media sosial. Banyak orang belum mampu membedakan mana informasi yang kredibel dan mana yang menyesatkan. Konten yang dikemas secara menarik tidak selalu berasal dari sumber yang kompeten dalam ilmu agama. Di sisi lain, algoritma media sosial cenderung menampilkan konten yang sesuai dengan minat pengguna, sehingga menciptakan ruang gema (echo chamber) yang hanya memperkuat pandangan tertentu dan menutup ruang dialog yang sehat. Akibatnya, muncul kelompok-kelompok yang merasa paling benar secara agama dan tidak mau menerima perbedaan pandangan.

Tantangan ini tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja. Diperlukan upaya serius untuk memperkuat moderasi beragama, terutama di kalangan milenial. Pendidikan menjadi kunci utama. Sekolah, kampus, dan lingkungan keluarga harus mulai mengajarkan pentingnya bersikap terbuka dan kritis terhadap informasi digital, termasuk dalam hal agama. Tokoh-tokoh agama dan konten kreator juga diharapkan mampu menghadirkan konten dakwah yang ramah, sejuk, dan relevan dengan kehidupan anak muda, sehingga mereka tetap bisa belajar agama dengan cara yang bijak dan tidak terjebak dalam ekstremisme.

Media sosial sebenarnya bisa menjadi alat yang sangat kuat untuk menyebarkan nilai-nilai toleransi, cinta damai, dan persaudaraan lintas iman. Namun, semua itu tergantung pada bagaimana generasi milenial menggunakannya. Jika digunakan dengan bijak dan disertai dengan semangat moderasi, media sosial dapat menjadi sarana transformasi sosial yang positif. Sebaliknya, jika digunakan tanpa filter dan pemahaman yang cukup, ia bisa menjadi ladang subur bagi berkembangnya intoleransi.

Jadi, tantangan moderasi beragama di era media sosial bukanlah hal yang sederhana. Ia membutuhkan kerja sama semua pihak mulai dari individu, institusi pendidikan, tokoh agama, hingga pemerintah untuk menciptakan ruang digital yang sehat, edukatif, dan penuh dengan semangat keberagaman. Generasi milenial sebagai pengguna utama media sosial memiliki peran besar untuk menjadi agen perubahan yang mampu menyebarkan semangat keberagamaan yang moderat, adil, dan inklusif di tengah masyarakat yang majemuk.

Penulis: Lulu,ul Kamaliyah

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.