Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, dikenal pula sebagai bangsa yang majemuk, baik dari segi etnis, budaya, maupun agama. Dalam keragaman ini, harmoni sosial bukanlah suatu keadaan yang terjadi secara otomatis, melainkan hasil dari komitmen kolektif untuk menjaga toleransi dan hidup berdampingan secara damai. Salah satu upaya strategis untuk membingkai kehidupan beragama yang damai, adil, dan inklusif adalah gagasan moderasi beragama.
sumber: flores.com |
Di tengah hiruk pikuk Kota Jakarta berdiri dua rumah ibadah yang saling berdampingan dari agama yang berbeda, yaitu Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral. Fenomena ini menjadi suatu yang menarik untuk dikaji dalam moderasi beragama kedua agama tersebut.
Kerangka Konseptual Moderasi Beragama
Moderasi beragama adalah pendekatan yang menekankan sikap seimbang dan menghindari ekstremisme dalam praktik beragam Menurut Kementerian Agama RI (2019), moderasi beragama terdiri dari empat pilar utama: komitmen kebangsaan, toleransi, anti-kekerasan, dan penghargaan terhadap budaya lokal. Moderasi beragama mengajarkan pentingnya saling menghormati antarumat beragama dan menjaga persatuan dalam masyarakat yang beragam.
Moderasi beragama juga membantu mengurangi polarisasi dan meningkatkan kohesi sosial di Indonesia. Agama harus dimasukkan ke dalam berbagai aspek kehidupan, seperti pendidikan, politik, dan interaksi sehari-hari, dengan tujuan menjadikannya sebagai alat untuk perdamaian dan bukan sebagai sumber konflik.
Sejarah dan Letak Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral
Masjid Istiqlal merupakan simbol spiritual dan nasionalisme Indonesia pasca kemerdekaan. Nama "Istiqlal", yang berarti kemerdekaan dalam bahasa Arab, dipilih untuk menegaskan bahwa masjid ini adalah monumen kebangsaan, bukan sekadar tempat ibadah umat Islam. Gagasan pembangunannya dicetuskan oleh KH Wahid Hasyim dan didukung penuh oleh Presiden Soekarno. Pembangunan masjid dimulai pada tahun 1961 dan rampung pada 1978, menandai perwujudan integrasi nilai religius dan nasionalisme dalam ruang kota.
Yang menarik, Presiden Soekarno secara sadar memilih lokasi masjid nasional ini berseberangan langsung dengan Gereja Katedral Jakarta. Gereja Katedral sendiri telah berdiri sejak tahun 1901 dan merupakan pusat kegiatan umat Katolik di ibu kota. Arsitekturnya bergaya neo-gotik khas Eropa, mencerminkan warisan kolonial yang diadaptasi dalam konteks keindonesiaan. Penempatan dua tempat ibadah yang berdampingan ini bukan sekadar keputusan teknis, melainkan sebuah pesan simbolik tentang toleransi dan koeksistensi antarumat beragama.
Kedua bangunan monumental ini hanya dipisahkan oleh sebuah jalan kecil, namun terhubung oleh nilai-nilai kemanusiaan dan semangat kebangsaan yang sama. Relasi geografis yang dekat memungkinkan terbentuknya interaksi sosial yang sehat di antara komunitas pemeluk agama yang berbeda. Pada berbagai momen penting, seperti hari raya keagamaan, pengurus masing-masing tempat ibadah bahkan saling membantu dalam pengaturan lalu lintas dan logistik, mencerminkan praktik moderasi beragama dalam bentuk paling nyata.
Potret Kehidupan Moderasi di Sekitar Istiqlal-Katedral
Moderasi beragama tidak berhenti pada simbol arsitektural. Ia hadir dalam tindakan-tindakan kecil namun bermakna. Salah satu contoh paling mengesankan adalah ketika perayaan Natal dan Idul Fitri berdekatan. Pengurus Masjid Istiqlal kerap menyediakan lahan parkirnya bagi umat Katolik yang menghadiri misa Natal di Katedral. Begitu pula sebaliknya, ketika ada kegiatan besar di Istiqlal, Gereja Katedral membuka akses dan bekerja sama dalam pengaturan lalu lintas. Tidak hanya itu, saat Masjid Istiqlal menjalani renovasi besar-besaran, perwakilan Gereja turut hadir dalam momen peresmian, sebagai bentuk penghormatan dan solidaritas lintas agama.
Fenomena ini menunjukkan bahwa moderasi beragama bukanlah utopia, tetapi kenyataan yang bisa dibangun melalui relasi sosial yang berbasis empati, dialog, dan kolaborasi. Di balik tembok-tembok tebal kedua rumah ibadah itu, tumbuh rasa saling percaya yang memperkuat kohesi sosial dan menjadi inspirasi nasional dalam membumikan toleransi.
Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral tidak hanya berseberangan secara geografis, tetapi juga berdampingan dalam semangat. Keduanya menjadi penanda bahwa agama tidak harus menjadi sumber konflik, melainkan jembatan untuk membangun peradaban damai. Kedua bangunan ini membuktikan bahwa moderasi beragama bukan konsep teoritis belaka, tetapi bisa dihidupkan dalam tindakan nyata: saling membantu, menghormati, dan merayakan perbedaan sebagai anugerah.
Kisah harmoni di antara kubah dan salib ini menjadi pelita harapan di tengah berbagai tantangan sosial-keagamaan yang kompleks. Itu menunjukkan bahwa pluralitas bukanlah penghalang, tetapi kekuatan untuk bersama menuju Indonesia yang adil, rukun, dan bermartabat.
Biodata Penulis:
Helmy Nabil Fawwazi, lahir pada tanggal 19 Desember 2004 di Jakarta, saat ini aktif sebagai mahasiswa di UIN K.H. Abdurrahman Wahid pekalongan.