Sumber: Rencong (2005)
Analisis Puisi:
Puisi "Tubuh Rebah" mengangkat tema kekerasan, ketidakadilan, dan tragedi kemanusiaan. Melalui gambaran tubuh yang rebah dan suara tembakan, puisi ini menyoroti kekejaman perang, pelanggaran hak asasi manusia, serta penderitaan rakyat yang menjadi korban kekerasan bersenjata.
Makna Tersirat
Puisi ini menyiratkan potret kelam tentang kekejaman aparat bersenjata terhadap rakyat sipil yang tak berdaya. Tubuh yang rebah melambangkan nyawa manusia yang melayang sia-sia. Darah yang membentuk kolam menunjukkan betapa tragisnya kematian yang terjadi berulang-ulang.
Makna tersirat lainnya adalah hilangnya harapan dan kepastian di tengah kekacauan perang. Seribu laki-laki yang pergi tanpa meninggalkan alamat melambangkan penghilangan paksa atau hilangnya orang-orang yang tak pernah kembali.
Puisi ini juga mengisyaratkan betapa muramnya kondisi kemanusiaan di tengah kekuasaan yang menindas, di mana tawa serdadu terdengar di atas genangan darah korban.
Puisi ini bercerita tentang kekerasan yang merenggut nyawa manusia tak berdosa. Sebuah tubuh rebah ke tanah, diiringi deru angin dan bau busuk kematian. Darah menggenang, sementara serdadu yang bersenjata malah bersenang-senang, menembak seenaknya, seolah nyawa manusia tidak berarti.
Selain itu, puisi ini juga bercerita tentang penghilangan paksa, di mana seribu laki-laki pergi tanpa jejak, lenyap begitu saja. Semua ini mengisyaratkan kisah tentang kekejaman perang, tragedi politik, atau konflik bersenjata yang merenggut kebebasan dan hak hidup rakyat kecil.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa mencekam, penuh ketakutan, getir, dan tragis. Pembaca seolah dibawa ke tengah medan kekerasan di mana bau kematian begitu dekat, dan suara tawa serdadu terdengar begitu kejam.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Melalui puisi ini, Fikar W. Eda menyampaikan pesan bahwa kekerasan dan kekejaman yang dilakukan oleh pihak bersenjata terhadap rakyat tak berdosa adalah luka kemanusiaan yang mendalam. Puisi ini mengingatkan bahwa perang dan konflik hanya menyisakan kematian, kesedihan, dan kehancuran moral.
Pesan lainnya, nyawa manusia semestinya dihargai, bukan dijadikan permainan kekuasaan dan senjata. Puisi ini juga mengajak pembaca untuk tidak melupakan tragedi-tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi, agar sejarah kelam itu tidak berulang.
Imaji
Puisi ini sarat dengan imaji visual dan imaji auditif yang kuat, antara lain:
- “Tubuh rebah ke bumi” — menghadirkan gambaran jasad yang tergeletak tak berdaya.
- “Darah membuat kolam” — menciptakan imaji mengerikan tentang darah yang melimpah.
- “Serombongan serdadu memainkan senapan sambil tertawa-tawa” — menggambarkan pemandangan ironis dan brutal.
- “Dor!” — menghadirkan imaji auditif berupa suara tembakan yang keras dan mengejutkan.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini meliputi:
- Personifikasi: “bau busuk menguap dari kelopak daun” — daun seolah memiliki kemampuan menguapkan bau busuk.
- Metafora: “darah membuat kolam” — kolam di sini bukan kolam air, melainkan darah yang menggenang.
- Hiperbola: “seribu laki-laki pergi tanpa meninggalkan alamat” — melebih-lebihkan jumlah laki-laki yang hilang untuk mempertegas skala tragedi.
- Onomatope: “dor!” — menirukan suara tembakan yang mengejutkan.
Puisi: Tubuh Rebah
Karya: Fikar W. Eda
Biodata Fikar W. Eda:
- Fikar W. Eda lahir pada tanggal 8 Mei 1966 di Takengon, Indonesia.