Tikus
seekor tikus
pecah perutnya
terburai isinya
berhamburan dagingnya
seekor tikus mampus
dilindas kendaraan
tergeletak
di tengah jalan
kaki dan ekor terpisah dari badan
darah dan bangkainya
menguap
bersama panas aspal hitam
siapa suka
melihat manusia dibunuh
semena-mena
ususnya terburai tangannya terkulai
seperti tikus selokan
mampus
digebuk
dibuang
di jalan
dilindas kendaraan
kekuasaan sering jauh lebih ganas
ketimbang harimau hutan yang buas
korbannya berjatuhan
seperti tikus-tikus
kadang tak berkubur
tak tercatat
seperti tikus
dilindas
kendaraan lewat
siapa suka
harkat manusia
senilai tikus
diburu
digebuk
ditembak
seperti tikus
siapa mau
disamakan dengan tikus
didudukkan
di kursi terdakwa
dituding tuan jaksa
ingin menggulingkan negara
hanya karena berorganisasi
dan punya lain pendapat
kau bersedia
diumpamakan
seperti tikus?
6 Januari 1997
Sumber: Aku Ingin Jadi Peluru (2000)
Analisis Puisi:
Puisi "Tikus" karya Wiji Thukul mengangkat tema ketidakadilan dan kekejaman kekuasaan terhadap rakyat kecil. Dalam puisinya, Wiji Thukul mengkritik bagaimana manusia, terutama mereka yang tertindas, sering diperlakukan seperti tikus—diburu, dibunuh, dan tidak dihargai oleh penguasa.
Makna Tersirat
Puisi ini memiliki makna tersirat yang mendalam, yaitu:
- Perlakuan kejam terhadap rakyat kecil yang dianggap tidak berdaya oleh penguasa. Mereka dihancurkan tanpa perlawanan, layaknya tikus yang dilindas kendaraan.
- Kritik terhadap kekuasaan otoriter yang bertindak lebih ganas daripada binatang buas, mencabut nyawa manusia tanpa rasa kemanusiaan.
- Sindirian terhadap sistem hukum yang tidak adil, di mana orang-orang yang berorganisasi atau memiliki pandangan berbeda justru dianggap sebagai ancaman negara.
Puisi ini bercerita tentang kehidupan manusia yang dianggap rendah seperti tikus oleh penguasa.
- Di bagian awal, puisi menggambarkan seekor tikus yang mati mengenaskan, perutnya terburai, tubuhnya hancur di jalanan.
- Kemudian, gambaran tikus ini dihubungkan dengan manusia—bagaimana banyak orang diperlakukan dengan cara yang sama oleh kekuasaan, dibunuh, diburu, dan bahkan tidak mendapatkan tempat untuk dimakamkan.
- Pada akhirnya, puisi mempertanyakan, siapa yang rela dianggap seperti tikus?
Suasana dalam Puisi
Puisi ini memiliki suasana yang kelam, brutal, dan penuh amarah.
- Penggambaran tikus yang hancur di jalanan menciptakan suasana ngeri dan tragis.
- Ketidakadilan yang digambarkan dalam puisi ini menciptakan suasana muram, penuh ketegangan, dan kemarahan terhadap penguasa yang sewenang-wenang.
Amanat/Pesan yang Disampaikan
Melalui puisi ini, Wiji Thukul ingin menyampaikan pesan bahwa ketidakadilan dan penindasan harus dilawan.
- Manusia tidak boleh diperlakukan seperti tikus—dihabisi begitu saja tanpa perlawanan.
- Sistem yang menindas rakyat harus diubah, dan masyarakat harus berani mempertanyakan kekuasaan yang sewenang-wenang.
Imaji dalam Puisi
Puisi ini penuh dengan imaji yang kuat dan menggugah emosi, di antaranya:
- Imaji visual: "pecah perutnya, terburai isinya, berhamburan dagingnya" menggambarkan kematian tikus secara brutal, yang kemudian disamakan dengan nasib manusia yang ditindas.
- Imaji penciuman: "darah dan bangkainya menguap bersama panas aspal hitam" memberikan gambaran betapa tragis dan mengerikan kematian yang digambarkan.
- Imaji kinestetik: "diburu, digebuk, ditembak" menunjukkan bagaimana manusia dikejar dan dimusnahkan seperti tikus.
Majas dalam Puisi
Wiji Thukul menggunakan banyak majas dalam puisinya, seperti:
- Metafora: Tikus digunakan sebagai metafora bagi rakyat kecil yang ditindas oleh penguasa.
- Repetisi: Kata "siapa suka" dan "siapa mau" diulang untuk menegaskan pertanyaan moral kepada pembaca.
- Personifikasi: "kekuasaan sering jauh lebih ganas ketimbang harimau hutan yang buas" menggambarkan kekuasaan sebagai sosok yang lebih buas dari hewan liar.
Puisi "Tikus" karya Wiji Thukul adalah puisi protes sosial yang mengkritik kekuasaan otoriter dan ketidakadilan terhadap rakyat kecil. Dengan bahasa yang tajam dan imaji yang kuat, puisi ini menggugah kesadaran tentang bagaimana kekuasaan bisa bertindak lebih ganas daripada binatang buas, menghancurkan manusia tanpa rasa kemanusiaan. Puisi ini mengajak pembaca untuk mempertanyakan dan melawan ketidakadilan, serta menolak perlakuan yang merendahkan martabat manusia.
Karya: Wiji Thukul
Biodata Wiji Thukul:
- Wiji Thukul lahir di Solo, Jawa Tengah, pada tanggal 26 Agustus 1963.
- Nama asli Wiji Thukul adalah Wiji Widodo.
- Wiji Thukul menghilang sejak tahun 1998 dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya (dinyatakan hilang dengan dugaan diculik oleh militer).
