Tembok Granit
(kepada Dewan-Dewan Partikelir dalam Munas)
Dengan ujung bayonet itu
kau naikkan sikepala batu
duduk bersama Rakyat dan aku
Kau harap dapat menghambat
sejarah yang jalannya cepat
tak tahu kaulah yang kan kiamat;
Kau mau ulangi cerita usang
tentang Negro empatlapan
tentang Magelang dan Ngalian
tau lupa Amir dan Haji Bakri
lupa para petani bagi-bagi tanah
di Wonogiri dan Boyolali
Derap sepatu sejarah
akan injak-injak sikepalabatu
dan bayonet itu akan patah
Tembok granit lebih keras
dari tembok batu
tembok granit Rakyat bersatu
Jakarta, 15 September 1957
Analisis Puisi:
Puisi "Tembok Granit" mengangkat tema perlawanan rakyat terhadap penindasan dan ketidakadilan. Puisi ini menyoroti perjuangan rakyat dalam menghadapi kekuasaan yang berusaha menghambat perubahan sosial.
Makna Tersirat
Puisi ini menyiratkan bahwa sejarah adalah kekuatan yang tak bisa dihentikan, meskipun ada pihak yang mencoba menghalanginya dengan kekuatan militer atau kekuasaan.
Frasa "kau naikkan sikepala batu / duduk bersama Rakyat dan aku" bisa ditafsirkan sebagai simbol kepemimpinan yang dipaksakan atau tidak memiliki legitimasi dari rakyat.
Namun, sejarah terus bergerak maju ("sejarah yang jalannya cepat"), dan penguasa yang menindas pada akhirnya akan runtuh ("tak tahu kaulah yang kan kiamat").
Selain itu, penyebutan peristiwa seperti "Negro empatlapan", "Magelang dan Ngalian", serta "Wonogiri dan Boyolali" merujuk pada berbagai kejadian sosial-politik yang berkaitan dengan perjuangan rakyat dan agraria, menekankan bahwa rakyat tidak akan melupakan sejarah perjuangan mereka.
Puisi ini bercerita tentang upaya sekelompok penguasa untuk menghalangi perubahan sosial dan politik, tetapi akhirnya mereka justru akan dikalahkan oleh kekuatan rakyat yang bersatu.
Penyair menunjukkan bahwa kekuasaan yang menindas tidak akan bertahan lama, karena sejarah selalu berpihak pada perubahan dan perjuangan rakyat.
Suasana dalam Puisi
Puisi ini memiliki suasana penuh semangat perjuangan dan optimisme revolusi. Ada ketegangan dalam perlawanan terhadap kekuasaan lama, tetapi juga ada keyakinan kuat bahwa rakyat akan menang.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini adalah:
- Metafora – "Derap sepatu sejarah", yang menggambarkan perjalanan sejarah seperti derap kaki yang tak bisa dihentikan.
- Personifikasi – "sejarah yang jalannya cepat", yang memberikan sifat manusia pada sejarah seolah-olah ia bergerak dengan kecepatan sendiri.
- Hiperbola – "tembok granit Rakyat bersatu", yang menekankan bahwa persatuan rakyat lebih kuat daripada kekuatan fisik seperti tembok batu atau kekuasaan yang menindas.
- Ironi – "tak tahu kaulah yang kan kiamat", yang menyindir penguasa yang merasa kuat tetapi justru menuju kehancuran.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini mengandung pesan bahwa kekuasaan yang menindas tidak akan bertahan lama, karena rakyat yang bersatu lebih kuat dari segala bentuk penindasan.
Selain itu, puisi ini mengingatkan bahwa sejarah akan selalu mencatat perjuangan rakyat, dan tidak ada kekuatan yang bisa menghentikan perubahan sosial ketika rakyat sudah bersatu.
Imaji
Puisi ini menghadirkan imaji yang kuat dan mendukung tema perjuangan, seperti:
- Imaji visual – "bayonet itu akan patah", yang menggambarkan senjata kekuasaan yang akhirnya lumpuh.
- Imaji gerak – "Derap sepatu sejarah / akan injak-injak sikepalabatu", yang menggambarkan pergerakan sejarah yang terus maju dan menghancurkan penguasa lama.
- Imaji perasaan – "tak tahu kaulah yang kan kiamat", yang memberikan rasa ancaman kepada pihak yang berusaha menindas rakyat.
Puisi "Tembok Granit" karya D.N. Aidit adalah puisi yang menggambarkan perlawanan rakyat terhadap kekuasaan yang menindas dan perjuangan melawan ketidakadilan.
Dengan menggunakan bahasa yang penuh simbolisme dan semangat revolusioner, puisi ini menyampaikan bahwa sejarah selalu berpihak pada rakyat yang bersatu, dan tidak ada kekuasaan yang bisa menahan perubahan.
Karya: D.N. Aidit
Biodata D.N. Aidit / Dipa Nusantara Aidit:
- D.N. Aidit (nama lahir Achmad Aidit) lahir pada tanggal 30 Juli 1923 di Tanjungpandan, Belitung, Hindia Belanda.
- D.N. Aidit meninggal dunia pada tanggal 22 November 1965 di Boyolali, Jawa Tengah, Indonesia.