Puisi: Sepasang Mata di Jendela (Karya Frans Nadjira)

Puisi "Sepasang Mata di Jendela" karya Frans Nadjira bercerita tentang seseorang yang terbaring dalam keheningan kamar, menatap kematian yang ...
Sepasang Mata di Jendela

Di kaca jendela basah
Sepasang mata dingin
Menatap ke dalam kamar
Melihatku terbaring di lantai.

Jika aku tak bangun karena tidur kekal
Basuh tubuhku dengan wangi lelap
Dan bunga-bunga yang melayang ringan
Dalam suram kamarku yang senyap.

Sepasang mata tanpa kedip
Menjadi embun kelabu musim hujan
Jemari bulan Desember yang basah
Derit jendela yang catnya terkelupas.

Ternyata dalam maut
Kita tidak menemukan siapapun.

Tak ada malaikat atau bulan
Hanya hening ngarai yang dalam
Tanpa rasa ... Tanpa sapa
Hanya nyenyak yang tak kuinginkan berakhir.

Datanglah ke pestaku, pisau-pisau
Datanglah dengan pakaian berkilatmu
Kedua tanganku akan merangkulmu
Di bawah tatapan sepasang mata di jendela.

Ayo, menari... Ayo, menyanyi
Masuk kalian ke senyap gairahku
Ke rongga tanpa dengungku... Ayo... Ayo
Tatap maut itu, tak hirau janji-janji manis
Atau ancaman mengerikan.

Kantong empedu yang pahit dan bernanah
Bikin aku senang... Bikin aku bergairah
Menggoyangkan seluruh tubuhku
Dalam irama liang kuburku.

2009

Analisis Puisi:

Puisi "Sepasang Mata di Jendela" karya Frans Nadjira adalah puisi yang memiliki nuansa suram, penuh perenungan tentang kematian, dan menggambarkan keheningan serta keterasingan seseorang dalam menghadapi maut. Puisi ini sarat dengan simbolisme dan eksplorasi tentang kehidupan, kematian, dan kesepian.

Tema

Tema utama dalam puisi ini adalah kematian, kesunyian, dan keterasingan. Puisi ini menggambarkan seseorang yang seolah telah menerima takdirnya, merenungi ajal yang semakin dekat, dan merasakan keheningan mendalam dalam menghadapi kematian.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah kesendirian manusia dalam menghadapi maut serta ketidakpastian tentang apa yang terjadi setelah kematian. Baris "Ternyata dalam maut / Kita tidak menemukan siapapun." menegaskan bahwa dalam kematian, seseorang tidak menemukan surga, neraka, atau kehadiran ilahi, melainkan hanya kehampaan yang sunyi.

Selain itu, dalam bait "Datanglah ke pestaku, pisau-pisau / Datanglah dengan pakaian berkilatmu," terdapat simbolisasi tentang penerimaan terhadap maut, seolah kematian adalah sebuah pesta yang harus dirayakan. Hal ini menunjukkan sisi ironis dari puisi, di mana kematian tidak lagi menjadi sesuatu yang menakutkan, tetapi justru sebuah pelepasan dari penderitaan.

Puisi ini bercerita tentang seseorang yang terbaring dalam keheningan kamar, menatap kematian yang mendekat, dan menyadari bahwa dalam maut tidak ada siapa-siapa, hanya kehampaan yang sunyi. Sepasang mata di jendela yang terus menatap bisa menjadi simbol dari takdir atau kematian itu sendiri yang selalu mengawasi dan tak bisa dihindari.

Ada juga kesan bahwa tokoh dalam puisi ini telah mengalami penderitaan yang panjang dan kini menyambut kematian dengan ketenangan, seperti yang terlihat dalam bait "Jika aku tak bangun karena tidur kekal / Basuh tubuhku dengan wangi lelap."

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini sangat mencekam, suram, dan melankolis. Keheningan kamar, hujan di luar jendela, serta sorotan mata tanpa kedip menciptakan atmosfer kesunyian yang mendalam.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan pesan bahwa kematian adalah sesuatu yang pasti, dan manusia pada akhirnya harus menghadapi maut sendirian. Tidak ada janji manis atau ancaman yang bisa mengubah takdir ini. Selain itu, puisi ini juga mengajak pembaca untuk merenungi kehidupan, kesepian, dan makna dari keberadaan.

Imaji

  • Imaji visual → "Di kaca jendela basah / Sepasang mata dingin," → Gambaran mata yang menatap dari jendela memberikan kesan misterius dan menyeramkan.
  • Imaji taktil → "Jemari bulan Desember yang basah," → Menghadirkan sensasi dingin dan lembab yang mendukung suasana muram.
  • Imaji pendengaran → "Derit jendela yang catnya terkelupas," → Suara derit jendela memberikan efek sunyi yang menegangkan.

Majas

  • Personifikasi → "Sepasang mata tanpa kedip / Menjadi embun kelabu musim hujan." → Mata diibaratkan sebagai embun yang kelabu, memberikan kesan misterius dan simbolis.
  • Metafora → "Datanglah ke pestaku, pisau-pisau," → Pisau di sini bisa diartikan sebagai kematian yang diundang untuk hadir seperti tamu dalam sebuah pesta.
  • Ironi → "Ayo, menari... Ayo, menyanyi / Masuk kalian ke senyap gairahku," → Konsep kematian yang gelap diungkapkan dengan ajakan yang penuh gairah, menciptakan ironi yang kuat.
Puisi "Sepasang Mata di Jendela" karya Frans Nadjira adalah sebuah perenungan mendalam tentang kematian dan keterasingan manusia dalam menghadapinya. Suasana yang gelap, simbolisme yang kuat, serta ironi dalam menerima maut membuat puisi ini begitu menggugah. Frans Nadjira menggambarkan kematian bukan sebagai sesuatu yang mengerikan, tetapi sebagai bagian dari perjalanan yang harus diterima, meskipun pada akhirnya tetap menyisakan kehampaan dan kesepian.

Frans Nadjira
Puisi: Sepasang Mata di Jendela
Karya: Frans Nadjira

Biodata Frans Nadjira:
  1. Frans Nadjira lahir pada tanggal 3 September 1942 di Makassar, Sulawesi Selatan.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.