Sajak Pengantar Jenazah
bersama selafal talkin dan selembar kafan, aku
bawa sebujur jasad kaku ini padamu.
wahai tanah lahat, terimalah
ia sebagai petualang yang menyerah
pulang setelah mengembara jauh bersekutu
dengan air, api, dan udara untuk mengkhianatimu.
dengan hati tergenang cuka dan tubuh
sekujur gemetar, aku surukkan mayat beku
ini ke liangmu.
wahai tanah lahat, terimalah
ia sebagai darah dagingmu yang telah
lari dari rumah dan lama kau nanti
untuk kau dekap dan urai ke azali.
wahai tanah lahat yang dingin dan
gelap. kelak, di waktu yang mungkin
tak jauh dari sekarang, diiringi pengantar jenazah
yang lain, aku pun pasti datang padamu: menagih
seluruh janjimu.
2002
Analisis Puisi:
Puisi "Sajak Pengantar Jenazah" Karya Aslan Abidin mengangkat tema kematian dan kepasrahan manusia terhadap takdir. Puisi ini menggambarkan perjalanan seseorang yang telah meninggal dan dikembalikan ke tanah sebagai bagian dari siklus kehidupan.
Makna Tersirat
Puisi ini menyiratkan kesadaran manusia akan kefanaan hidup. Setiap orang yang pernah hidup akan kembali ke tanah tempat asalnya, setelah melalui perjalanan panjang di dunia. Ada juga nuansa penyesalan atau pengkhianatan terhadap asal-muasal manusia, di mana dalam hidupnya, seseorang bisa saja melupakan hakikatnya, tetapi pada akhirnya harus kembali ke tanah yang telah lama menunggunya.
Puisi ini bercerita tentang proses pengantaran jenazah ke liang lahat. Penyair berbicara kepada tanah kuburan, memohon agar jenazah yang dibawa dapat diterima kembali. Ia juga menyadari bahwa suatu hari nanti, ia sendiri akan mengalami nasib yang sama—dikuburkan dan kembali ke asalnya.
Suasana dalam Puisi
Puisi ini memiliki suasana haru, penuh kepasrahan, dan kesadaran akan kematian. Ada kesedihan dalam perpisahan, tetapi juga ada ketenangan dalam penerimaan bahwa semua manusia akan kembali ke tanah.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Beberapa pesan yang dapat diambil dari puisi ini adalah:
- Kematian adalah takdir yang pasti dan tidak bisa dihindari.
- Manusia berasal dari tanah dan pada akhirnya akan kembali ke tanah.
- Sebagai makhluk yang fana, manusia harus menyadari bahwa kehidupan di dunia hanyalah sementara.
- Tidak ada gunanya melawan takdir karena setiap orang akan menghadapi kematian pada waktunya.
Imaji
Puisi ini memiliki imaji yang kuat dalam menggambarkan suasana pemakaman dan kematian. Beberapa contohnya:
- "bersama selafal talkin dan selembar kafan, aku bawa sebujur jasad kaku ini padamu." → menghadirkan gambaran upacara pemakaman dengan talkin (doa pengantar jenazah) dan kain kafan yang membungkus mayat.
- "wahai tanah lahat, terimalah ia sebagai petualang yang menyerah pulang setelah mengembara jauh." → menciptakan imaji bahwa kehidupan manusia adalah perjalanan panjang, dan kematian adalah saat untuk kembali pulang.
- "dengan hati tergenang cuka dan tubuh sekujur gemetar, aku surukkan mayat beku ini ke liangmu." → memberikan gambaran kesedihan dan ketakutan dalam menghadapi kematian.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Majas personifikasi, seperti "wahai tanah lahat, terimalah ia..." yang menggambarkan tanah seolah-olah memiliki kesadaran untuk menerima jenazah.
- Majas metafora, seperti "ia sebagai petualang yang menyerah pulang setelah mengembara jauh," yang menggambarkan kehidupan manusia sebagai perjalanan panjang sebelum akhirnya kembali ke tanah.
- Majas repetisi, yaitu pengulangan "wahai tanah lahat," yang menekankan peran tanah sebagai tempat kembalinya manusia setelah meninggal.
Puisi "Sajak Pengantar Jenazah" karya Aslan Abidin adalah refleksi tentang kefanaan manusia, kepasrahan terhadap kematian, dan siklus kehidupan yang tidak bisa dihindari. Penyair menggunakan bahasa yang penuh makna untuk menggambarkan perjalanan manusia yang pada akhirnya kembali ke tanah sebagai tempat asalnya. Dengan suasana yang syahdu dan penuh kesadaran akan takdir, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungi arti kehidupan dan kematian.
Puisi: Sajak Pengantar Jenazah
Karya: Aslan Abidin
Biodata Aslan Abidin:
- Aslan Abidin lahir pada tanggal 31 Mei 1972 di Kabupaten Soppeng, Provinsi Sulawesi Selatan.