Puisi: Roti (Karya Nirwan Dewanto)

Puisi "Roti" karya Nirwan Dewanto menyampaikan pesan-pesan yang menggugah hati pembaca dan mengajak mereka untuk merenungkan makna yang ...

Roti

(untuk Gregorius Sidharta Soegijo)

Kami duduk bertiga belas: meja ini sangat panjang, panggung ini terlalu lapang. Aku dan ia ibarat dua bintang jauh-berjauhan, dua kerdip yang berupaya bertukar getar. Ia berada di ujung sana, seakan di puncak semenanjung: wajahnya tertutup gelap, gelap yang hampir sempurna. Tapi ia seperti tumbuh mendekat ke setiap kami. Sungguh, kami takut jika wajah kami menulari wajahnya, tapi kami bahagia mencium bau tubuhnya di antara rasa lapar kami. Aku tahu ia mengenali kami satu demi satu; sedangkan kami serupa murid yang, setengah-dungu setengah-angkuh, hanya bisa menebak nama satu sama lain, dan saling mencurigai siapa di antara kami akan berkhianat lebih dulu.

Ia memandang ke segala penjuru, ke wajah kami, juga ke balik tengkuk kami, ke arah kapal-kapal yang datang dan pergi nun di bawah sana. Sedangkan kami gementar diam-diam, takut melepaskan diri dari wujudnya. Jadilah aku suka membayangkan satu atau beberapa di antara kami akan melenyapkan ia sebelum tengah malam, sebelum kami benar-benar mabuk dan saling menggandrungi. Semoga di parak pagi kami tak lagi bertempur atau sekadar melihat pasukan kami saling membasmi: dan kami akan beroleh kembali negeri kami, kampung halaman kami, masing-masing, dengan damai.

Kudengar ia berkata di puncak lapar kami, (semoga aku tak keliru menirukannya), "Seseorang di antara engkau akan menyerahkan aku." Mungkin tak seorang pun menyimaknya selain aku, sebab kami mulai menyentuh tergesa-gesa piring dan cawan dengan tangan yang tetap saja mengandung tilas darah dan nanah dan getah, noda yang telah mengerak hingga ke kulit jangat. Baru saja kami mengucapkan selamat tinggal kepada segenap senjata dan kereta kami, agar kami lebih mahir berunding dan bersantap. Sungguh kami telah mencuci muka kami hingga berkilau-kilau, agar kami bukan lagi penyaru yang membekuk dari belakang. Lihat, kami telah bergerak begitu cepat ke gelanggang jamuan ini, menembus berlapis-lapis dinding, menyangkal bertangkup-tangkup labirin.

Tapi ia bergerak lebih lekas ketimbang kami, sebab ia tahu kami akan tiba kemari dengan wajah orang suci, sedangkan ia menggambarkan dirinya sebagai pendosa belaka. Ia mengizinkan wujudnya tersaput kabut, bahkan larut dalam kabut; ia membiarkan luka-lukanya tak terlihat (tapi sebentar lagi, sabarlah, ia akan memamerkannya sebagian lelubang tusukan di kedua telapak tangan dan lambung kanannya). Ketika kami tiba, ia sudah menunggu di ujung paling ungu itu, sedangkan kami hanya bisa bersemayam di titik-titik merah padam ini, di mana lingkaran cahaya akan menghiasi kepala kami. Dalam lindap pohonan di taman ia berkata kepada kami, (semoga aku tak berlebihan mengulangnya untukmu), "Malam ini, sebelum ayam berkokok, engkau akan menyangkal aku tiga kali."

Bukankah kami gagal membatasi ruang di mana kami harus saling bertatapan? Lihat, ternyata kami hanya dikitari dinding angin, dan kuping kami masih juga mengembara ke dunia sana, mencari bebisik dari segenap musuh dan sekutu kami, meski kami ingin saksama mengindahkan pepatah-petitihnya yang terakhir. Kami mendengar jerit beburung dan debur ombak ketika ia mulai menyentuh rotinya, dan gema panjang itu berkelindan dengan suaranya. Dan kami bayangkan jemarinya berkilat seperti ujung pedang namun lembut seperti tampuk daun pandan, dan roti itu seperti sebungkah daging, percayalah, seperti daging kami yang menakutkan. Tidak, kami tak akan menghadiahkan daging kami untuk siapa pun, sehingga kami yakini ia memecah-mecah roti itu dan membagikannya untuk kami semua seraya berkata, (semoga aku tak mengutipnya demi diriku sendiri), "Ambillah, makanlah, sebab inilah tubuhku."

Barangkali kami telah keliru: kami mengira gelanggang ini dikitari pepohon zaitun dan kurma. Kenapa pula kini kami melihat rerimbun kana, kesumba, dan kembang sepatu mengepung kami? Kenapa kami lupa apakah khazanah kami bermusim dua atau empat, ketika kami merasa telah mengikuti ia membaca kitab-kitab paling rahasia, memuliakan kaum perempuan, memakzulkan para raja dunia, atau berkhotbah di atas bukit? Sesekali bau amis dari laut naik ke meja mahabesar ini, menyadarkan kami bahwa kapal-kapal kami masih memuat senjata dan para serdadu kami di kemah-kemah sana terus menunggu isyarat kami kapan mereka harus mulai menyerang. Dengan sabar kami mengimpikan cahaya jingga-kencana fajar tumpah ke wajahnya, dan cerlang wajah itu pastilah akan memojokkan kami berdua belas ini sebagai semacam rasul yang tak mampu menyainginya sampai kapan juga.

Tiba-tiba sosok yang lama terpaku di sebelah kiriku--betapa wajah kami serupa, dan kami mengenakan jubah hijau lumut yang sama, dan kurasa kami pernah bertarung di tepi selengkung sungai atau di bawah sepucuk tiang kayu palang--berseru, "Kitalah yang membuat ia berada di sini. Mari kita adili ia sebab ia memang bakal martir sejati. Terlalu lama kita memperebutkan ia sebagai panglima kita. Bukankah ia terlalu berani untuk dunia ini?"

2008

Sumber: Buli-Buli Lima Kaki (2010)

Analisis Puisi:

Puisi "Roti" karya Nirwan Dewanto adalah sebuah karya sastra yang sarat dengan makna dan simbolisme yang mendalam. Melalui metafora yang kuat dan gambaran visual yang kaya, Dewanto menyampaikan pesan-pesan tentang kekuasaan, pengkhianatan, dan martabat manusia. Dengan menggunakan bahasa yang mengalir dan imaji yang kuat, ia mengajak pembaca untuk merenungkan berbagai konflik internal dan eksternal yang ada dalam diri manusia.

Penggambaran Ruang dan Hubungan Antar Manusia: Puisi ini dibuka dengan deskripsi ruang yang luas, sebuah panggung yang terlalu lapang bagi ketiga belas orang yang berada di dalamnya. Penggambaran ini menciptakan suasana yang tegang dan penuh ketidakpastian. Ada perasaan ketidaknyamanan dan ketakutan di antara mereka, seperti yang tergambar dalam baris, "Sungguh, kami takut jika wajah kami menulari wajahnya."

Ketegangan dan ketidakpercayaan antar manusia tercermin dalam penggambaran relasi mereka yang mirip dengan "dua bintang jauh-berjauhan" yang berusaha bertukar getar. Ada rasa curiga dan kecurigaan di antara mereka, yang tercermin dalam baris, "kami bahagia mencium bau tubuhnya di antara rasa lapar kami."

Simbolisme Roti: Roti dalam puisi ini menjadi simbol penting yang menggambarkan pengorbanan dan pengkhianatan. Ketika salah satu karakter dalam puisi mengatakan, "Ambillah, makanlah, sebab inilah tubuhku," ia memperlihatkan kesediaannya untuk dikorbankan, mirip dengan kata-kata Yesus dalam Perjamuan Terakhir.

Namun, penggambaran roti juga mencerminkan pengkhianatan, terutama ketika seorang di antara mereka akan "menyerahkan" orang lain. Hal ini menggambarkan bagaimana kekuasaan dan nafsu manusia sering kali memicu pengkhianatan terhadap orang lain, bahkan dalam situasi yang penuh dengan simbol-simbol keagamaan.

Konflik dan Pengkhianatan: Konflik internal dan eksternal antar karakter tercermin dalam ketegangan yang terus menerus dalam puisi ini. Ada perasaan ketidakpercayaan dan curiga di antara mereka, yang menciptakan atmosfer yang tegang dan penuh dengan kecemasan. Ketegangan mencapai puncaknya ketika salah satu karakter menyatakan keinginannya untuk mengadili orang lain sebagai seorang martir yang terlalu berani.

Pesan dan Makna: Melalui puisi "Roti", Nirwan Dewanto mengajak pembaca untuk merenungkan tentang sifat manusia yang kompleks dan konflik yang terus menerus terjadi di dalamnya. Ia mengingatkan kita akan pentingnya kesetiaan, kepercayaan, dan pengorbanan dalam menjaga hubungan antar manusia. Puisi ini juga mengingatkan kita akan bahaya pengkhianatan dan kekuasaan yang dapat merusak hubungan manusiawi.

Secara keseluruhan, puisi "Roti" karya Nirwan Dewanto adalah sebuah karya sastra yang memukau dan mendalam. Dengan menggunakan bahasa yang kaya dan imaji yang kuat, Dewanto berhasil menyampaikan pesan-pesan yang menggugah hati pembaca dan mengajak mereka untuk merenungkan makna yang terkandung di dalamnya.

Nirwan Dewanto
Puisi: Roti
Karya: Nirwan Dewanto

Biodata Nirwan Dewanto:
  • Nirwan Dewanto lahir pada tanggal 28 September 1961 di Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.

Anda mungkin menyukai postingan ini

  • Amoi, Penjaja Rotiuntuk satu dolar dia senyumamoi genit memeluk rotiuntuk satu dolar dia diciumkapal masuk rindu kelasipecah pajaramoi ke pantaidada berombak tangis membuihditepis …
  • Roti(untuk Gregorius Sidharta Soegijo)Kami duduk bertiga belas: meja ini sangat panjang, panggung ini terlalu lapang. Aku dan ia ibarat dua bintang jauh-berjauhan, dua kerdip yang …
  • Tong Potong Roti Tong potong roti roti campur mentega Belanda sudah pergi kini datang gantinya Tong potong roti roti campur mentega Belanda sudah pergi bagi-bagi…
  • Tak Peduli tak peduli tai tak peduli roti aku belum mau mati! harimau makan babi cacing minum kencing setan menjolok tuhan tapi hari minggu kita tetap prei kita jalan-jal…
  • Sepotong Roti Tak ada yang bermimpi Tak ada yang menggeser pintu Sepotong roti tanpa bayang-bayang Seperti air membeku batu mengeras Termenung di atas meja Detak…
  • Gadis Kecil dan Roti seorang gadis manis kecil setinggi lutut ibunya membawa plastik besar berisi roti dengan girang ia menyandangnya meski nampak tubuhnya yang kecil ter…
© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.