Puisi: Nyanyian Dinihari (Karya Ajip Rosidi)

Puisi "Nyanyian Dinihari" menggambarkan realitas pahit orang-orang pinggiran yang harus bergulat dengan kerasnya hidup di tengah malam kota yang sepi.
Nyanyian Dinihari

Pukul satu dinihari
Jalan-jalan lengang, lampu-lampu bergoyang
Beca-beca dikayuh sepi, nyanyi menunggu pagi
Nyi Emeh tertawa nyaring sekali
Dan menggeliat geli
Bibinya menambah secangkir kopi
Angin menusuk sendi, menggigil jiwa
Memandang kota
Lelap terlena

Pukul setengah dua
Teriakan habis suara
Datang ibu tukang serabi. Renta
Menyalakan api, meniup harap
"Habislah jam enam pagi"
Aku memandang hampa
Rata dan tiada.
"Pukul berapa kan tidur, sejenak
Meregang tulang, kan habis hari!"
"Tiada istirahat: hidup celaka
Di kota rasa tersiksa, tak biasa
Petak ditumpuk isi
Dan tetangga maki-maki
Di sebelahnya main ceki.
Namun tiada pilihan. Di kampung
Menantuku ditembak mati
Dan sawah terbengkalai
Anak-anak entah ke mana pergi"
Perlahan ditiupnya api
Dan di balik wajahnya pasi: kampung aman
Impian sepanjang hari.

Pukul dua dinihari
Jalan-jalan makin mati
Meluncur mobil sekali
Kang Oot pulang ngoreksi
Redaktur malam ingin sekali
Menimang bayi siang hari
Rindu canda anak-anak sendiri
Membawa kuap dan kantuk
Sate sepincuk, nasi sejuk.
"Apakah hidupku tanpa mentari?
Menjemukan dan rata, gelap dan kelam
Seperti malam. Tenteram
Dan gelisah hati
Tiada pilihan lagi
Budak belian ingin merdeka"
Dijenguknya bayi
Bernafas mengombak rapi
Dia mencubit pada pipi.

Pukul setengah tiga
Nyanyian meninggalkan mimpi. Berbaju biru
Kang Yuda berangkat kerja. Mampir
Di tukang kopi simpang sepi
Menggigil tangan dan hati
Yang masih ingin lagi
Kuat-kuat merengkuh bini
Dan Mudasir berkerudung sarung
Mengisap mati rokok kawung
Sejuk hawa masuk ke paru
Dan bangkit angin kemarau
Menggigilkan hati yang masih ingin
Mendekap lagi bini.
Tapi tiada pilihan
Karena hidup hanya kewajiban.

Pukul tiga dinihari
Nyanyian kerja makin tinggi
Kang Eon berangkat belanja. Sepeda ban tua
Lampunya kelak-kelik gambaran
Hati kebingungan. Karena warung
Tak memberi untung
Hanya cape dan lelah
Hanya sumpah dan serapah
Dan dagangan makin sulit
Antara harga makin meningkat
Mempertahankan diri yang kejepit
Merasa menang dalam kalah
Yakin dan percaya: "Dunia
Sudah tua!"

Pukul empat dinihari
Di tengah simpang aku berdiri
Ragu melihat jalan-jalan panjang
Menempuh kelam di balik bayang
Dedaunan hidup dilanda angin
Listrik-listrik bergoyang, gemeletuk geraham
Dan hati yang hanya bisa menyanyi
Bagi hati yang mati
Memandang lengang dan sunyi
Karena tiada pilihan, tiada lagi...

1959

Sumber: Surat Cinta Enday Rasidin (1960)

Analisis Puisi:

Puisi "Nyanyian Dinihari" mengangkat tema kehidupan kaum kecil di kota besar. Puisi ini menggambarkan realitas pahit orang-orang pinggiran yang harus bergulat dengan kerasnya hidup di tengah malam kota yang sepi.

Tema lainnya yang tersirat adalah keterasingan dan ketidakberdayaan manusia dalam menghadapi kehidupan urban yang keras.

Makna Tersirat

Melalui penggambaran aktivitas malam para pekerja kecil di kota, puisi ini menyiratkan betapa kerasnya perjuangan hidup yang dihadapi rakyat biasa.

Mereka bekerja tanpa henti, bahkan saat sebagian besar orang tidur. Kehidupan malam bagi mereka bukanlah kemewahan, melainkan sebuah kewajiban untuk bertahan hidup.

Puisi ini juga menyiratkan kesepian dan keterasingan di tengah keramaian kota. Kota yang megah di siang hari berubah menjadi ruang lengang dan penuh kegelisahan di dinihari, saat pekerja kecil mengais nafkah di antara mimpi-mimpi yang tertunda.

Puisi ini bercerita tentang aktivitas para pekerja malam menjelang pagi di sebuah kota. Mulai dari tukang beca, penjual serabi, redaktur malam, hingga pedagang kecil, semua menjalani rutinitas berat di tengah malam sunyi.

Puisi ini juga bercerita tentang nasib orang-orang kecil yang terjepit dalam kerasnya kehidupan kota. Mereka bekerja tanpa pilihan, hanya demi menyambung hidup.

Lewat dialog dan potret keseharian itu, pembaca diajak menyaksikan bagaimana hidup di kota bisa terasa begitu mencekik dan penuh keterpaksaan.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang tergambar dalam puisi ini adalah sunyi, muram, getir, sekaligus penuh kegelisahan. Meski ada canda tawa dan obrolan, tapi di baliknya tersimpan letih, kesedihan, dan keputusasaan.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Ajip Rosidi melalui puisi ini menyampaikan pesan bahwa di balik gemerlap kota, ada sisi gelap yang jarang terlihat: perjuangan hidup kaum kecil yang tak kenal lelah.

Puisi ini mengajak pembaca memandang realitas sosial secara lebih jujur, bahwa tidak semua orang menikmati kemewahan kota, banyak yang justru terhimpit oleh kerasnya persaingan dan ketidakadilan ekonomi.

Pesan lainnya, hidup di kota bisa menjadi jerat yang menyiksa, namun di sisi lain, bagi sebagian orang, kembali ke kampung halaman pun bukan pilihan karena kampung telah kehilangan harapan.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji visual dan imaji auditif, contohnya:
  • “Jalan-jalan lengang, lampu-lampu bergoyang” — menghadirkan visual suasana kota di dinihari.
  • “Teriakan habis suara, datang ibu tukang serabi” — menghadirkan imaji suara.
  • “Angin menusuk sendi, menggigil jiwa” — membangkitkan sensasi fisik yang bisa dirasakan pembaca.
  • “Meluncur mobil sekali” — menghadirkan imaji gerak yang menciptakan kesan sepi dan hampa.

Majas

Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini antara lain:
  • Personifikasi: “lampu-lampu bergoyang” — lampu digambarkan bergerak seolah makhluk hidup.
  • Metafora: “Nyanyian dinihari” — bukan sekadar lagu, tetapi simbol suara kehidupan orang kecil yang mengadu nasib di malam hari.
  • Hiperbola: “Tiada istirahat: hidup celaka” — melebih-lebihkan kondisi untuk mempertegas penderitaan.
  • Repetisi: Pengulangan waktu di tiap bait (pukul satu, pukul setengah dua, pukul dua, dst.) memperkuat efek keteraturan waktu yang kontras dengan ketidakpastian hidup.

Puisi Ajip Rosidi
Puisi: Nyanyian Dinihari
Karya: Ajip Rosidi

Biodata Ajip Rosidi:
  • Ajip Rosidi lahir pada tanggal 31 Januari 1938 di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat.
  • Ajip Rosidi meninggal dunia pada tanggal 29 Juli 2020 (pada usia 82 tahun) di Magelang, Jawa Tengah.
  • Ajip Rosidi adalah salah satu Sastrawan Angkatan 66.

Anda mungkin menyukai postingan ini

  • Pantai Laut Utara Menjelang Tengah Malam Angin dingin naik ke puncak bukit menyisir rambutmu yang meriap nakal dengan tanganmu lentik, kau susuri langi…
  • Diriku Diriku samudra Dilayari kapal, perahu, bajak Tiada jejak. Yang sementara Berasal dari Tiada 'Kan lenyap dalam Tiada1961Sumber: Jeram (1970)Analisis …
  • Tanah Air (1) Ada hijau pegunungan Ada biru lautan Ada hijau Ada biru Langit dan hatiku Adalah aku pucuk tatapan Ada pucuk Ada tatapan Ada pucuk senapan Mengarah ke …
  • Hanya dalam Puisi Dalam kereta api Kubaca puisi: Willy dan Mayakowsky Namun kata-katamu kudengar Mengatasi derak-derik deresi. Kulempar pandang ke luar: Sawah-sawa…
  • Kepada Kawan (12) Apa sih yang mau kau capai Maka kau terjang segala penghalang Dan kau abaikan segala nilai Asal kau sendiri menang? Apa sih yang mau kau dapat Maka kau t…
  • Tanah Sunda Kemana pun berjalan, terpandang daerah ramah di sana Kemana pun ngembara, kujumpa manusia hati terbuka mesra menerima. 'Pabila pun berseru menggetar…
© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.