Puisi: Naga (Karya Zen Hae)

Puisi "Naga" karya Zen Hae bercerita tentang seekor naga yang dulunya dijunjung tinggi, tetapi seiring waktu mulai dilupakan oleh manusia.
Naga

ketika kau tertidur di bawah ancaman awan hitam aku menjagamu. aku yang menunggu di balik tabir berabad-abad lamanya hingga kau menyebutku si mendiang, hanya hidup di dalam kitab, pada lelembar dongengan. aku yang tidak pernah kausebut dalam doamu meski kaurupakan aku dalam kayu dan perunggu. kuajak pula leluhurmu yang lain agar berjaga-jaga bersama sampan abu-abu, pelantar hitam, rumah coklat tua, dermaga yang baka oleh garam. kami akan mencium kau yang letih, memulihkan mimpi anakmu, menjaga guci-guci abu, melantunkan gurindam—tapi beri kami kopi susu barang seteguk.

lidahku menyemburkan api. aku bisa menghanguskan bahtera dan mendidihkan samudra paling biru. telah kulumat para lanun, musuh-musuhmu, atau kubuat mereka gila hingga seluruh rasi bintang menyesatkan mereka. satu legiun memang telah menaklukkan sebuah kota tapi setelah mereka meminjam lidah-apiku. tapi itu dulu. sebelum badai waktu menumpasku dan kau melupakan aku. maka aku mati—tidur panjang, sebenarnya—sampai sisa-sisa abu menepuk punggungku. tubuhku seperti baru dicipta kembali, lembut dan teramat muda: darahku merah jambu. maka kurapal kembali mantra-mantraku, kudaras lagi jurus-jurusku, kunyalakan bola mustikaku. beri aku tiga sulur asap hio.

tapi kau telanjur melupakan aku. aku melata sendirian di angkasa dan turun sebagai seorang penagih derma di perjamuanmu. aku telah menyaru sebagai kekasih paling memabukkan tapi kautumpahkan aku hingga tubuhku menggenangi malam-malam yang belum dicipta. sebagai pesulap termahir aku telah terusir di pesta ulang tahun anakmu. aku terlunta dan mengendap di dasar tidurmu, mengutuki diriku hingga kau tenggelam dalam lautan airmataku, dalam belitan mimpi buruk. kau menjerit-jerit dan terjaga dengan leher seperti baru dicekik. kau memanggil-manggil namaku.

kini, sekali lagi, panggillah aku yang bersemayam di langit dan di bumi—dalam sumsum tulang belakangmu. maka aku akan bangkit dengan kasih dan dendam yang tak mungkin ditampung sajak ini.

2009

Analisis Puisi:

Puisi "Naga" karya Zen Hae mengangkat tema mitologi, kepercayaan, dan keterasingan dalam perubahan zaman. Naga dalam puisi ini bisa dimaknai sebagai simbol kekuatan kuno yang terlupakan oleh manusia modern.

Makna Tersirat

Puisi ini menyiratkan bahwa dunia modern telah melupakan nilai-nilai tradisi, mitos, dan kekuatan spiritual yang dulu diagungkan.

Naga dalam puisi ini adalah simbol warisan leluhur, kekuatan lama, atau bahkan sosok penjaga yang setia, tetapi ia justru dilupakan oleh generasi penerusnya.

Ketika manusia berhenti memanggilnya, naga pun menjadi tidak berdaya, terasing, dan hanya bisa melata sendirian dalam kegelapan. Namun, ketika manusia akhirnya menyadari kehilangan sesuatu yang penting, sudah terlambat—naga bangkit kembali dengan dendam dan kasih yang bercampur menjadi satu.

Puisi ini bercerita tentang seekor naga yang dulunya dijunjung tinggi, tetapi seiring waktu mulai dilupakan oleh manusia.

Awalnya, ia adalah penjaga yang setia, hadir dalam mitos, patung-patung, dan dongeng. Namun, zaman berubah, manusia tidak lagi memanggil namanya dalam doa, bahkan mengusirnya dari kehidupan mereka.

Naga merasa kehilangan identitasnya, tersisih, dan akhirnya hanya menjadi bagian dari cerita-cerita lama. Namun, ketika manusia mengalami mimpi buruk dan merasakan kehampaan spiritual, mereka kembali memanggil namanya, tetapi kali ini ia bangkit dengan amarah dan kasih yang tidak bisa lagi ditampung oleh dunia.

Suasana dalam Puisi

Puisi ini menghadirkan suasana mistis, suram, dan penuh ketegangan. Ada rasa kehilangan, kemarahan, dan kebangkitan yang kuat dalam setiap baitnya.

Amanat/Pesan yang Disampaikan

Puisi ini menyampaikan pesan bahwa kita tidak boleh melupakan akar budaya, tradisi, dan kepercayaan yang telah diwariskan oleh leluhur.

Di tengah modernisasi, manusia sering kali melupakan hal-hal spiritual yang dulu menjadi bagian penting dalam kehidupan mereka. Namun, ketika mereka merasa kehilangan makna, mereka akan kembali mencari sesuatu yang dulu mereka tinggalkan.

Naga dalam puisi ini bisa menjadi metafora bagi kebijaksanaan lama yang terlupakan tetapi selalu menunggu untuk bangkit kembali.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji yang kuat dan dramatis, seperti:
  • Imaji visual: "lidahku menyemburkan api," "tubuhku seperti baru dicipta kembali, lembut dan teramat muda: darahku merah jambu" menggambarkan kebangkitan naga dengan warna-warna yang mencolok.
  • Imaji perasaan: "kau menjerit-jerit dan terjaga dengan leher seperti baru dicekik" menciptakan suasana mencekam, seperti mimpi buruk yang nyata.
  • Imaji gerak: "aku melata sendirian di angkasa dan turun sebagai seorang penagih derma di perjamuanmu" memperlihatkan bagaimana naga yang dulunya dihormati kini terasing dan merana.

Majas

Puisi ini menggunakan berbagai majas untuk memperkuat maknanya, seperti:
  • Metafora: Naga dalam puisi ini bisa diartikan sebagai simbol kepercayaan lama, kekuatan mitologi, atau bahkan identitas leluhur yang terlupakan.
  • Personifikasi: Naga diberikan sifat seperti manusia, "aku terlunta dan mengendap di dasar tidurmu, mengutuki diriku", seolah-olah ia memiliki perasaan sedih dan dendam.
  • Hiperbola: "aku bisa menghanguskan bahtera dan mendidihkan samudra paling biru" menggambarkan kekuatan luar biasa sang naga.
  • Repetisi: Pengulangan frasa seperti "panggillah aku" menegaskan harapan naga untuk diingat kembali oleh manusia.
Puisi "Naga" karya Zen Hae adalah sebuah refleksi tentang perubahan zaman yang membuat manusia melupakan mitologi, tradisi, dan spiritualitas mereka.

Melalui simbol naga, puisi ini mengingatkan kita bahwa nilai-nilai lama mungkin telah ditinggalkan, tetapi mereka tetap menunggu untuk dihidupkan kembali—baik dengan kasih maupun dendam.

Zen Hae
Puisi: Naga
Karya: Zen Hae

Biodata Zen Hae:
  • Zen Hae lahir pada tanggal 12 April 1970 di Jakarta.

Anda mungkin menyukai postingan ini

  • Bandang tuan, di ladang matahari pantat dandang tapak liman rindu ganggang berkelindan lalu tujuh arwah telanjang memanjat pohon santan : kencing jadi hujan …
  • Penantian Nuh kau tentu lelah mencari jejakku kuhidangkan sepasang cinta, kapal kayu sepiala airbah. kesendirianmu yang renta dan purba telah kaupahatkan di punca…
  • Kitab Pelarian tidurku masih disesaki kemarahan langit sebelas malaikat menghardik-meludah di angkasa : sawan bayi di kandungan, mendidih air di bendungan empat …
  • Kail di danau ini, paman khidir, betapa ngeri tuhan-tuhan sebesar jagat berjuntaian mengailku! 1994 Puisi: Kail Karya: Zen HaeBiodata Z…
  • Naga ketika kau tertidur di bawah ancaman awan hitam aku menjagamu. aku yang menunggu di balik tabir berabad-abad lamanya hingga kau menyebutku si mendiang, hanya hidup di dala…
  • Di Halte Malam Jatuh akhirnya, aku mahir menggambar hujan menirukan langkah-langkah pulang menulis reklame-reklame sunyi dan menempelnya di bebatang pohon sepanjan…
© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.