Puisi: Misbar (Karya Joko Pinurbo)

Puisi “Misbar” adalah potret sosial masyarakat urban di tengah keramaian hiburan rakyat, yang menyimpan kisah-kisah getir di balik tawa dan hingar ...
Misbar

Di sebuah lapangan di sebuah kampung di sebuah kenangan
di pusat Jakarta masih bisa kautemui sebuah misbar.

Mereka duduk berdesakan menyaksikan pertunjukan film
layar lebar dengan bintang-bintangnya yang cantik dan segar.
Suasana begitu hingar. Suara-suara begitu bingar.
Setiap orang bebas bicara dan bertingkah, bikin gosip,
kabar kabur, colak-colek, clap-clup, cicit-cuit, berteriak cabul,
tanpa menghiraukan benar cerita yang sedang diputar.

Ada yang memilih mojok di bawah pohon beringin
sambil minum cendol dan bersayang-sayangan.
Ada yang lebih suka ajojing sambil mabuk dan menjerit-jerit
kesetanan. Ada yang main kartu, perang mulut, ribut
dan akhirnya gelut. Ada yang menyetel radio keras-keras
dan serius amat mendengarkan pidato presiden.
Ada yang bercakap-cakap dengan topeng.
Ada yang menyinden. Ada yang main kuda lumping,
mengamuk, kemudian terpelanting. Ada yang sesenggukan
membaca sepucuk surat dari pacarnya yang minggat.
Ada yang bertengkar memperebutkan laki-laki hidung belang.
Ada yang mencopet dan mengutil, kemudian dihajar
habis-habisan. Ada yang jual tampang, pamer pamor,
menjaring iseng, dengan wajah menor-menor.
Ada yang kencing sembarangan di bawah pohon pisang.
Ada juga yang menjajakan berbagai mayat orang hilang
yang gambarnya sering terpampang di koran.

Penyair adalah penjual rokok yang duduk terkantuk-kantuk
di sudut yang remang, yang sambil klepas-klepus
memperingatkan: “Merokok dapat merugikan kesehatan.”
Yang menyimak segala hingar dan segala bingar
sambil mendengar yang tak terdengar.
Yang berani menduga siapa di antara orang-orang
yang sibuk tertawa itu yang melengos pulang
kemudian menggantung diri di kamar
karena diam-diam merasa sangat kesepian.

Tontonan makin seru. Kacau bukan soal.
Tiba-tiba terdengar letusan. Banyak yang ngacir. Kocar-kacir.
Lintang pukang. Tunggang langgang. Maling berteriak maling.
Spiker melengking-lengking. Ada yang lari terkencing-kencing.
Lalu datang orang berseragam, mengamankan keadaan.
“Tenang. Situasi dapat dikendalikan.
Pertunjukan dapat dilanjutkan.”

“Jakarta memang asyik euy,” kata penjual rokok itu
yang sambil klepas-klepus memperingatkan:
“Merokok dapat merugikan kemiskinan.”

Kemudian turunlah gerimis, pertunjukan pun bubar. Misbar.

Di sebuah lapangan di sebuah kampung di sebuah kenangan
di pusat Jakarta masih bisa kautemui sebuah misbar.
Suatu saat akan aku temui penjual rokok itu.
Siapa tahu ia saudara kembarku.

1999

Analisis Puisi:

Tema utama puisi “Misbar” adalah potret sosial masyarakat urban di tengah keramaian hiburan rakyat, yang menyimpan kisah-kisah getir di balik tawa dan hingar-bingar. Puisi ini merekam dinamika kehidupan rakyat kecil di Jakarta, yang mencari hiburan sederhana di tengah beban hidup yang tak ringan.

Makna Tersirat

Melalui gambaran sebuah Misbar (bioskop layar tancap yang ditonton di ruang terbuka, biasanya di lapangan kampung), Joko Pinurbo menyiratkan bahwa hidup di kota besar seperti Jakarta bukan hanya sekadar perayaan dan tawa-tawa kosong, melainkan juga menyimpan penderitaan tersembunyi.

Di balik keramaian, ada kesepian yang tak terucapkan, ada kesengsaraan ekonomi yang ditertawakan sendiri, dan ada ketidakpastian hidup yang disembunyikan di balik layar hiburan murahan.
Joko Pinurbo menunjukkan bahwa hiburan rakyat adalah cermin realitas sosial, di mana tawa, makian, kejahatan kecil, romantika murahan, hingga kekerasan bercampur menjadi satu dalam satu panggung bernama kehidupan.

Puisi ini bercerita tentang suasana sebuah Misbar di tengah Jakarta. Di sana, masyarakat berkumpul menyaksikan film layar tancap dengan suasana ramai, bebas, dan kacau balau. Ada yang menonton film, ada yang sekadar bergosip, bercumbu, berkelahi, mabuk, atau malah menjual jasa dan mencari mangsa.

Di sudut gelap, ada seorang penjual rokok, yang diam-diam menjadi saksi semua kegaduhan itu. Penjual rokok ini sekaligus simbol penyair, yang mengamati semua kejadian dan menyimpan perenungan dalam diamnya.

Di tengah keriuhan itu, tersirat satu kenyataan pahit: di balik tawa dan keramaian, ada orang-orang yang pulang dengan hati hampa dan merasa sangat kesepian.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi “Misbar” sangat ramai, riuh, hingar-bingar, penuh kekacauan, sekaligus menyimpan rasa getir dan kesepian tersembunyi. Puisi ini seperti menghadirkan keramaian pasar malam yang berantakan, penuh warna, tetapi juga penuh duka.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Pesan yang disampaikan adalah bahwa hidup di tengah kota besar tidak selalu seindah kelihatannya. Di balik hiburan murah meriah seperti Misbar, tersimpan kenyataan pahit tentang kemiskinan, kesepian, dan kekacauan sosial yang tak terselesaikan.

Joko Pinurbo mengingatkan bahwa tertawa bersama bukan jaminan seseorang bahagia. Bisa jadi, mereka yang terlihat ceria di depan umum adalah orang-orang yang menyimpan luka dan kesepian paling dalam.

Imaji

Puisi ini kaya akan imaji visual dan auditif. Beberapa imaji yang kuat antara lain:
  • Lapangan yang dipenuhi orang-orang berdesakan.
  • Suara spiker melengking-lengking di tengah kericuhan.
  • Tikus-tikus yang bermain dengan piring dan gelas di sekitar lapangan.
  • Penjual rokok yang duduk terkantuk-kantuk di sudut remang.
  • Letusan yang tiba-tiba, disusul orang-orang yang berlarian kocar-kacir. Semua imaji itu menghidupkan suasana hiruk-pikuk yang sekaligus menyedihkan.

Majas

Joko Pinurbo menggunakan berbagai majas untuk menghidupkan puisinya:
  • Personifikasi: “Maling berteriak maling.”
  • Metafora: Penjual rokok sebagai simbol penyair yang menyaksikan kehidupan.
  • Ironi: “Merokok dapat merugikan kemiskinan.”
  • Hiperbola: Gambaran suasana yang begitu kacau dan liar.
Puisi “Misbar” karya Joko Pinurbo adalah potret kecil tentang dinamika sosial masyarakat urban, khususnya kalangan bawah, yang mencari kebahagiaan sesaat di tengah himpitan hidup.

Lewat gambaran hiburan rakyat yang ramai, kacau, dan penuh kisah-kisah kecil yang getir, puisi ini mengingatkan bahwa di balik tawa dan hingar-bingar, ada penderitaan diam-diam yang sering terabaikan.

Puisi ini juga menegaskan bahwa penyair adalah saksi sosial, yang mengamati, mencatat, dan mencoba memahami semua itu — bahkan ketika hidup hanya terlihat seperti pertunjukan Misbar yang sebentar hingar, lalu bubar.

Puisi: Misbar
Puisi: Misbar
Karya: Joko Pinurbo

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.