Puisi: Mayat Canggung dan Hutan Riang (Karya Zen Hae)

Tema utama puisi "Mayat Canggung dan Hutan Riang" adalah keterasingan, absurditas hidup dan mati, serta pencarian makna di tengah realitas yang ...
Mayat Canggung dan Hutan Riang

: kebumikan aku di sana. di ujung rel-rel itu
bersama matahari
yang digodam suara azan dan cekikikan
: tapi itu kereta terakhir
yang membawa para tukung cukur ke pekuburan
menangisi mayat-mayat bermisai lebat

orang-orang bermata embun itu telah menggodaku
serta menghidupkan lagi matahari
di gerbong terakhir
dan membayangkan kota itu
menjulurkan lidahnya ke punggung gunung
apakah mereka akan sampai ke rumah-rumah
di balik dingin itu?
aku pernah memasuki mereka
menyentuh dinding-dinding mereka
tersiram arus listrik
di dalamnya aku seperti liliput
berjingkrakan dan bernyanyi
memainkan sesulur cahaya
dari kereta kuda yang tersangkut di ranting awan

tapi kunang-kunang yang setia menjaga mataku
mengulur sulur cahaya itu ke jalan raya
para penjaga malam yang kehabisan bara
menampungnya dalam gelas-gelas sunyi
: “hanya serbuk matahari, man
merombengi sisa malam
dan embun
melukai sesayap hujan
ditaburkan di kamar-kamar”

impian yang terbakar terus mengembara
tak henti mencari sebuah kota
tempat terompet-terompet dibunyikan
di atas pekuburan sunyi
“kami tengah bersedih
untuk para martir
yang telah memandikan rumah kami
dengan nyanyian dan cahaya”
sampai angin yang ajaib mengelus
suara terompet itu
jadi tetabuhan lima setan pejajaran
berkepakan sesayap hujan: rombeng dan gigil
berkelibang membungkus tubuhku
“mari berangkat”

tapi siapa yang terbang dengan tubuh bergemerincing
melintasi setiap bubungan rumah
sedang  udara yang kian sekarat
hanya memercikkan doa
di sepanjang dinding memar

“halo, ini hutan riang. dilarang menggali kubur
halo, ini hutan riang. mayat-mayat jangan bersedih”

di sini mataku kian melenting
seorang pesulap menyepuh ususku yang terburai
jadi kabel-kabel tembaga
o, tubuhku bercahaya
seperti tawa orang laknat
hingga pepohonan dan sungai
tak kuasa membasuh sekujur tubuh mereka
dengan gelap dan pengap
tempat nyamuk dan ular
menetaskan sekeranjang
mimpi buruk

terbuka semua kelopak. menetas kicau membusuk igau
hutan terbangun dari tidur paling mematikan
mengipas matahari
membikin sepasang sayap
: putih dan kekar
“pasang di punggungmu, buyung
kau akan terbang melintasi
kota-kota yang terendam hujan
dan mimpi buruk”

tapi aku bukan orang suci atau pelancong
di sana hujan telah membusuk. kota-kota berkarat!

1996

Analisis Puisi:

Tema utama puisi "Mayat Canggung dan Hutan Riang" adalah keterasingan, absurditas hidup dan mati, serta pencarian makna di tengah realitas yang kacau dan penuh ironi. Puisi ini juga menyinggung tentang kematian, ingatan kolektif, kerusakan kota dan alam, serta kehampaan spiritual dalam kehidupan modern.

Makna Tersirat

Di balik absurditas dan metafora yang kaya, puisi ini menyiratkan bahwa manusia modern terjebak dalam dunia yang kehilangan makna sakral terhadap hidup dan mati. Kematian tidak lagi disambut dengan khidmat, melainkan bercampur dengan hiruk-pikuk kota, suara azan yang tak lagi menyentuh batin, dan tawa cekikikan yang penuh sinisme.

Ada kritik sosial yang tajam di sini, tentang bagaimana kota-kota modern menjadi kuburan besar bagi jiwa-jiwa yang terasing, mati rasa, dan tercerabut dari akar spiritual dan ekologisnya. Mayat-mayat dalam puisi ini bukan sekadar tubuh mati, tapi simbol manusia yang sudah mati secara batin meski tubuhnya masih bernapas.

Puisi ini bercerita tentang perjalanan absurd seorang mayat yang dibawa ke pemakaman terakhir. Namun, sepanjang perjalanan, ia menyaksikan absurditas kehidupan modern: kota yang menjulurkan lidah ke gunung, penjaga malam yang menampung cahaya dalam gelas sunyi, hingga hutan yang melarang penggalian kubur karena ingin riang selamanya.

Di antara semua gambaran sureal itu, sosok mayat canggung ini menyadari betapa ia tidak pernah benar-benar hidup dalam arti yang utuh. Kota yang berkarat dan hujan yang membusuk menjadi simbol kehancuran batin, ekologis, dan spiritual.

Suasana dalam Puisi

Suasana puisi ini surreal, muram, absurd, sekaligus ironis. Ada kesan kekacauan batin, keterasingan mendalam, dan keputusasaan yang samar-samar dibalut humor gelap.

Kota-kota yang berkarat, mayat-mayat yang bermisai lebat, dan terompet yang dibunyikan di atas pekuburan menciptakan suasana yang penuh paradoks: sedih tapi lucu, sakral tapi profan, nyata tapi mengigau.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Pesan utama yang bisa ditangkap adalah kritik terhadap kehidupan modern yang menjauhkan manusia dari akar spiritual dan ekologisnya. Hidup dan mati kehilangan makna sakral, tergantikan oleh hiruk-pikuk teknologi, urbanisasi, dan absurditas modernitas.

Puisi ini juga mengingatkan bahwa alam, hutan, dan kota saling berkaitan. Ketika manusia mengabaikan keselarasan itu, baik kehidupan maupun kematian akan berubah menjadi parade absurditas yang menyedihkan.

Imaji

Zen Hae membangun puisi ini dengan imaji yang sangat kuat, liar, dan sureal. Beberapa imaji yang mencolok antara lain:
  • Kereta terakhir yang membawa tukang cukur ke pekuburan — imaji yang absurd dan gelap.
  • Matahari digodam suara azan dan cekikikan — imaji benturan sakral dan profan.
  • Kunang-kunang yang mengulur cahaya ke jalan raya — imaji magis yang melukiskan harapan kecil di tengah gelapnya realitas.
  • Pesulap menyepuh usus jadi kabel tembaga — imaji tubuh manusia yang tereduksi jadi mesin atau infrastruktur.
  • Hutan riang yang melarang penggalian kubur — imaji hutan yang memberontak atas eksploitasi manusia.

Majas

Puisi ini dipenuhi berbagai majas yang memperkaya nuansa absurd dan surealnya:
  • Metafora: “mayat canggung” sebagai simbol manusia modern yang kehilangan jati diri.
  • Personifikasi: Kota menjulurkan lidah, hutan bersuara, dan matahari digodam.
  • Hiperbola: “kota-kota berkarat dan hujan membusuk” menegaskan betapa rusaknya dunia.
  • Ironi: Hutan riang yang melarang kubur, seolah kematian tidak boleh mengganggu keriangan.

Zen Hae
Puisi: Mayat Canggung dan Hutan Riang
Karya: Zen Hae

Biodata Zen Hae:
  • Zen Hae lahir pada tanggal 12 April 1970 di Jakarta.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.