Analisis Puisi:
Tema utama dalam puisi "Mandi" adalah pembersihan diri, baik secara fisik maupun spiritual. Puisi ini mengangkat momen sederhana—mandi—sebagai simbol reflektif tentang kebersihan lahir dan batin.
Makna Tersirat
Makna tersirat dari puisi ini adalah ajakan untuk membersihkan diri bukan sekadar membersihkan tubuh dari kotoran fisik, tetapi juga membersihkan batin dari beban, dosa, atau daki kehidupan yang melekat. Mandi di sini menjadi simbol proses penyucian jiwa dan pembebasan diri dari segala kepenatan duniawi.
Ajakan "Mandilah" yang berulang dalam puisi bukan sekadar ajakan literal, melainkan sebuah panggilan spiritual untuk merenungi diri, melepaskan lelah hidup, serta mengingat kembali esensi ketenangan dan kesucian jiwa.
Puisi ini bercerita tentang kunjungan penyair ke rumah seseorang bernama Doktor Suwito NS, di mana ia diajak untuk mandi. Namun, ajakan mandi ini memiliki makna lebih dalam, yakni sebagai simbol refleksi dan ajakan menyucikan diri di tengah kelelahan hidup dan kotornya perjalanan batin.
Di sisi lain, puisi ini juga memotret situasi malam hari yang penuh kepenatan, di mana tubuh yang lelah enggan digerakkan untuk sekadar mandi. Namun, di balik ajakan itu tersimpan pesan filosofis tentang pentingnya membersihkan diri dari daki-daki kehidupan.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa muram, lelah, dan kontemplatif. Ada rasa capek fisik dan batin yang menyelimuti, disertai kesadaran bahwa kebersihan bukan hanya tentang tubuh, tetapi juga tentang jiwa.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang disampaikan puisi ini adalah bahwa pembersihan diri, baik fisik maupun batin, sangat penting dilakukan sebagai bentuk perawatan jiwa di tengah kerasnya kehidupan. Beban dunia bisa melekat sebagai ‘daki’ pada jiwa, dan ajakan mandi menjadi simbol untuk melepas segala penat, menyegarkan kembali pikiran dan hati.
Imaji
Puisi ini menghadirkan beberapa imaji, di antaranya:
- Imaji pendengaran: "Jam melantunkan adzan ‘isya", menghadirkan suara panggilan ibadah yang memperkuat nuansa spiritual.
- Imaji visual: "Rembulan semakin memar" dan "batas terang rumah" menggambarkan suasana malam yang kian larut dan mendalam.
- Imaji perasaan: "Sekalipun tahu diriku kelewat debu" menghadirkan sensasi capek dan merasa kotor secara batin.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini meliputi:
- Personifikasi: "Jam melantunkan adzan ‘isya" memberikan sifat manusia (melantunkan) pada benda mati (jam).
- Metafora: "Relung yang paling tenung dalam hatiku" mengibaratkan hati sebagai ruang misterius dan penuh rahasia.
- Hiperbola: "Rembulan semakin memar" melebih-lebihkan kondisi rembulan sebagai perlambang malam yang makin kelam.
- Simbolisme: "Mandilah" sebagai simbol pembersihan lahir dan batin.
Puisi "Mandi" karya Abdul Wachid B.S. adalah puisi reflektif yang mengangkat aktivitas sederhana—mandi—menjadi simbol filosofis tentang pembersihan jiwa. Dengan latar malam yang sunyi dan tubuh yang lelah, ajakan mandi ini menyentuh sisi spiritual manusia, mengajak kita untuk kembali menyadari pentingnya menyucikan diri, baik secara fisik maupun batin, di tengah kerasnya hidup.
Puisi ini mengingatkan bahwa manusia bukan sekadar raga, tetapi juga jiwa yang perlu dirawat dan dibersihkan dari daki-daki kehidupan yang melekat setiap hari.
Karya: Abdul Wachid B. S.