Puisi: Lhokseumawe (Karya Hasbi Burman)

Puisi ini bercerita tentang hubungan personal penyair dengan kota Lhokseumawe, yang dulu menjadi saksi cinta masa muda, namun kini menyisakan ...
Lhokseumawe (1)

Di pangkuanmu ada taman
yang luas
dan lorong panjang berliku
menuju kerantau cinta

Di persimpangan terserak
tulang belulang harapan
karena di pangkuanmu
bulan sering gerhana

Koeta Radja, 2017

Lhokseumawe (2)

Burung-burung senja
hinggap dengan luka
pada rerantingan waru
seperti dahulu

Lewat sebuah perdu pandan
saat itu
layangan putus saat kau masih perawan
seperti kotamu.

Ada pasar gambir
tempat Syeh Ampon Ma'e
berlatih seudati
sepertimu saat itu
berlatih cinta.

Koeta Radja, 2017

Lhokseumawe (5)

Ada kau dengar seruling senja itu
aku menabuh gendang
kau mengumbar janji
aku memandang dan kau terpana pada ganas siang
kita terbakar oleh nyala api jalan samudera.

Koeta Radja, 2017

Lhokseumawe (6)

Kini hanya kembara
melewati tempat-tempat yang pernah
kita singgahi

Malam yang dulu kita telusuri
entah hujan
entah jalan-jalan menakutkan

Itu adalah sebuah pengembangan
dalam ingatan
walau sengatan
bagai Tuhan memberi cobaan.

Koeta Radja, 2017

Analisis Puisi:

Tema utama puisi “Lhokseumawe” adalah kenangan, cinta yang terluka, serta sejarah kelam yang membayangi sebuah kota. Lhokseumawe digambarkan sebagai ruang yang menyimpan cinta, sejarah, dan luka yang tidak mudah dilupakan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah bahwa sebuah tempat tidak hanya menyimpan keindahan dan kenangan manis, tetapi juga luka sejarah dan kisah pahit yang membentuk identitasnya. Lhokseumawe, yang dikenal sebagai kota di Aceh, menjadi simbol tentang bagaimana cinta pribadi dan sejarah kolektif masyarakatnya saling berkelindan. Ada rindu pada masa muda yang indah, tetapi juga kesadaran bahwa tempat ini telah melewati banyak penderitaan.

Puisi ini juga menyiratkan bahwa cinta yang tumbuh di sebuah tempat, tidak bisa lepas dari kondisi sosial dan sejarah yang menyertainya. Di Lhokseumawe, cinta seolah teruji oleh tragedi, konflik, dan perubahan zaman.

Puisi ini bercerita tentang hubungan personal penyair dengan kota Lhokseumawe, yang dulu menjadi saksi cinta masa muda, namun kini menyisakan kenangan pahit akibat sejarah kelam dan perubahan sosial.
  • Ada nostalgia tentang cinta pertama, tentang latihan seudati dan pasar gambir yang menyimpan keceriaan.
  • Namun, di sisi lain, Lhokseumawe juga menyimpan luka sejarah—tempat harapan-harapan terkubur bersama tulang belulang di persimpangan jalan.
  • Penyair juga mengisahkan bagaimana perjalanan cinta dan hidupnya terjalin erat dengan perjalanan sejarah kota itu sendiri.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini nostalgis, pilu, sekaligus romantis dan tragis. Ada kehangatan kenangan masa lalu, tetapi juga kesedihan yang mendalam saat menyadari bahwa tempat yang dulu indah kini menyimpan luka sejarah. Ada perasaan rindu yang terus-menerus, tetapi juga ketakutan akan masa depan yang tidak pasti.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Melalui puisi ini, Hasbi Burman ingin menyampaikan bahwa tempat bukan sekadar latar fisik, tetapi juga menyimpan sejarah emosional yang melibatkan kenangan cinta, luka sosial, bahkan tragedi sejarah.

Pesannya, kita tidak boleh melupakan sejarah sebuah tempat, karena di sanalah cinta, harapan, dan penderitaan manusia berakar. Bahkan cinta personal pun tidak lepas dari bayang-bayang sejarah dan sosial di sekitarnya.

Imaji

Puisi ini menghadirkan imaji-imaji yang kuat, seperti:
  • Lorong panjang berliku menuju kerantau cinta — menggambarkan perjalanan cinta yang tidak mudah.
  • Tulang belulang harapan di persimpangan — imaji tragis tentang harapan yang mati di tengah jalan.
  • Burung-burung senja yang hinggap dengan luka — simbol ketidakpastian dan kepedihan yang mengendap dalam kenangan.
  • Layangan putus saat kau masih perawan — melukiskan fragmen kenangan cinta yang terputus.
  • Api jalan samudera yang membakar — imaji tentang ketegangan sosial dan gejolak sejarah yang membara.

Majas

Beberapa majas yang ditemukan dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora: "Tulang belulang harapan" — harapan yang hancur di tengah jalan.
  • Personifikasi: "Burung-burung senja hinggap dengan luka" — burung-burung yang dilukiskan seperti manusia yang menyimpan derita.
  • Simbolisme: "Api jalan samudera" — simbol ketegangan dan konflik yang membakar sejarah kota.
  • Repetisi: Pengulangan nama "Lhokseumawe" di setiap bagian puisi untuk menegaskan kota sebagai pusat dari kenangan dan luka.

Hasbi Burman
Puisi: Lhokseumawe
Karya: Hasbi Burman

Biodata Hasbi Burman:
  • Hasbi Burman (Presiden Rex) lahir pada tanggal 9 Agustus 1955 di Lhok Buya, Aceh Barat.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.