Puisi: Langgar Peteng dan Manzumat (Karya Raedu Basha)

Puisi ini bercerita tentang pengalaman batin seorang santri yang tumbuh di langgar tua bernama Langgar Peteng. Di sana, ia menghafal manzumat ....
Langgar Peteng dan Manzumat

Pada balai kayu langgar peteng bercat karat biru beludru
kuseruduk hantaran waktu, ada sekian lama tersimpan dalam beku debu
isak letih anak santri yang terkapar menghafalkan manzumat
lalu tidur mendengkur sesaat sahur dengan hidangan lembar-lembar surat.

Di samping langgar, waduk air tempat lumut diri dibilas wuduk
air asin dan keruh, jejak-jejak silam mewasilah getar moksa demi moksa
sehingga sampai juga lukaku mendarah seluka rindu tak terbalas
kepadamu, ini luka air merah gelisah bersimbah
sebagai sesembah bagi setakik gelora pemuda Hisbulah dalam sarung sejarah
kutemukan seratus huruf hijaiyah menari-nari khusyuk menyemat basmalah
dalam kantuk yang merekam bait manzumat Alfiyah dalam sorogan taqrib yang resah
sedia pagi nanti kusetorkan di hadapan kiai.

Di Langgar Peteng, santri masa lalu yang tidur mendengkur itu
kini terjaga berupa wujudku, kemaruk kuresapi gegetir waktu
yang tak lagi dibasahkan zezaman pertempuran yang gebu
pada sepi rumahmu saat ini, kuajak hehuruf hidup menggairah
dalam rapalan manzumat Alfiyah dalam taqrir sorogan matan dan syarah.

Langgar Peteng yang tak petang bagi nurani kesantrian
nur menyembur dari lubang bilik kayu, itukah lahir berkah yang tahir?
Menyemaikan cercahan mekar tatapan lembut Kiai Zubair
dan Kiai Abdurrohim menyesap zikir.

Hilir angin tanpa bising kota pertempuran dingin
di mana aku dalam jejak terakhirmu seumpama Sahal Kajen
di mana warnaku dalam pelangi para ulama titisanmu
yang semuanya sempat bersembunyi di langgar ini? ataukah aku
telah berada dalam pelukanmu yang erat tapi ragu-ragu.

Analisis Puisi:

Puisi ini mengangkat tema tentang tradisi pesantren dan romantisme masa lalu dunia santri. Puisi ini juga menggambarkan hubungan spiritual antara santri dengan ilmu, kiai, serta warisan tradisi keilmuan Islam klasik. Selain itu, ada sentuhan tema pencarian jati diri dan perenungan eksistensial seorang santri yang tumbuh di tengah sejarah panjang pesantren.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah kerinduan mendalam terhadap tradisi kesantrian yang sarat makna, yang perlahan mulai terkikis oleh zaman modern. Melalui gambaran langgar peteng (mushola sederhana yang sunyi) dan manzumat (bait-bait ilmu yang dihafal santri), penyair menyampaikan betapa berartinya ruang spiritual itu sebagai saksi tumbuhnya santri dari masa ke masa.

Lebih dari sekadar tempat belajar, langgar peteng menjadi simbol pertemuan antara spiritualitas, ilmu, sejarah, dan identitas santri itu sendiri. Ada refleksi bahwa kesantrian bukan sekadar rutinitas belajar, melainkan perjalanan batin yang menyatu dengan tradisi, kitab kuning, zikir, serta perjuangan batin menghadapi keraguan diri.

Puisi ini bercerita tentang pengalaman batin seorang santri yang tumbuh di langgar tua bernama Langgar Peteng. Di sana, ia menghafal manzumat Alfiyah, mendalami kitab-kitab klasik, hingga mengalami lelah fisik dan batin. Di samping itu, puisi ini juga menyuarakan jejak sejarah santri-santri terdahulu yang pernah belajar di sana, lengkap dengan perjuangan dan doa-doa yang mereka lantunkan.

Seiring berjalannya waktu, santri masa lalu menjelma menjadi dirinya yang sekarang — seorang santri yang terus merenungi makna tradisi, menautkan dirinya dengan sejarah pesantren dan perjuangan para ulama pendahulu.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa mistis, sarat nostalgia, penuh kontemplasi, sekaligus syahdu. Ada keheningan spiritual yang menyelimuti langgar peteng, di mana waktu seakan berhenti dan menyatu dengan lantunan zikir serta hafalan kitab-kitab kuning.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Puisi ini menyampaikan pesan bahwa tradisi kesantrian dan spiritualitas pesantren adalah warisan yang patut dijaga. Dunia modern boleh berkembang, tetapi nilai-nilai keilmuan klasik, adab, serta spiritualitas yang diajarkan di pesantren adalah akar identitas yang harus tetap hidup.

Puisi ini juga mengajak kita merenungi bahwa belajar bukan sekadar menghafal ilmu, tetapi juga proses menyelami batin, meresapi makna hidup, serta menjalin hubungan spiritual dengan ilmu, guru, dan sejarah.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji yang kuat, di antaranya:
  • Balai kayu bercat karat biru beludru — menggambarkan langgar tua yang sederhana namun sarat makna.
  • Isak letih anak santri yang terkapar menghafal manzumat — menghadirkan gambaran fisik santri yang kelelahan, namun tetap bertahan demi ilmu.
  • Waduk air tempat lumut diri dibilas wudhu — menghadirkan imaji tentang ritual kesucian di tengah kesederhanaan.
  • Seratus huruf hijaiyah menari-nari khusyuk menyemat basmalah — menghadirkan visualisasi puitis tentang proses belajar yang spiritual dan mendalam.
  • Nur menyembur dari lubang bilik kayu — menggambarkan berkah yang hadir dari kesederhanaan pesantren.

Majas

Beberapa majas yang ditemukan dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora: "luka air merah gelisah bersimbah sebagai sesembah" — luka batin santri diibaratkan air merah yang bersimbah, melambangkan ketulusan pengorbanan.
  • Personifikasi: "seratus huruf hijaiyah menari-nari" — huruf hijaiyah digambarkan seperti makhluk hidup yang menari.
  • Repetisi: pengulangan kata "manzumat", "sorogan", dan "santri" untuk menekankan suasana khas pesantren.
  • Simbolisme: "langgar peteng" sebagai simbol kesederhanaan pesantren tradisional yang penuh berkah spiritual.

Puisi: Langgar Peteng dan Manzumat
Puisi: Langgar Peteng dan Manzumat
Karya: Raedu Basha

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.