Analisis Puisi:
Puisi ini mengangkat tema tentang tradisi pesantren dan romantisme masa lalu dunia santri. Puisi ini juga menggambarkan hubungan spiritual antara santri dengan ilmu, kiai, serta warisan tradisi keilmuan Islam klasik. Selain itu, ada sentuhan tema pencarian jati diri dan perenungan eksistensial seorang santri yang tumbuh di tengah sejarah panjang pesantren.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini adalah kerinduan mendalam terhadap tradisi kesantrian yang sarat makna, yang perlahan mulai terkikis oleh zaman modern. Melalui gambaran langgar peteng (mushola sederhana yang sunyi) dan manzumat (bait-bait ilmu yang dihafal santri), penyair menyampaikan betapa berartinya ruang spiritual itu sebagai saksi tumbuhnya santri dari masa ke masa.
Lebih dari sekadar tempat belajar, langgar peteng menjadi simbol pertemuan antara spiritualitas, ilmu, sejarah, dan identitas santri itu sendiri. Ada refleksi bahwa kesantrian bukan sekadar rutinitas belajar, melainkan perjalanan batin yang menyatu dengan tradisi, kitab kuning, zikir, serta perjuangan batin menghadapi keraguan diri.
Puisi ini bercerita tentang pengalaman batin seorang santri yang tumbuh di langgar tua bernama Langgar Peteng. Di sana, ia menghafal manzumat Alfiyah, mendalami kitab-kitab klasik, hingga mengalami lelah fisik dan batin. Di samping itu, puisi ini juga menyuarakan jejak sejarah santri-santri terdahulu yang pernah belajar di sana, lengkap dengan perjuangan dan doa-doa yang mereka lantunkan.
Seiring berjalannya waktu, santri masa lalu menjelma menjadi dirinya yang sekarang — seorang santri yang terus merenungi makna tradisi, menautkan dirinya dengan sejarah pesantren dan perjuangan para ulama pendahulu.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa mistis, sarat nostalgia, penuh kontemplasi, sekaligus syahdu. Ada keheningan spiritual yang menyelimuti langgar peteng, di mana waktu seakan berhenti dan menyatu dengan lantunan zikir serta hafalan kitab-kitab kuning.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Puisi ini menyampaikan pesan bahwa tradisi kesantrian dan spiritualitas pesantren adalah warisan yang patut dijaga. Dunia modern boleh berkembang, tetapi nilai-nilai keilmuan klasik, adab, serta spiritualitas yang diajarkan di pesantren adalah akar identitas yang harus tetap hidup.
Puisi ini juga mengajak kita merenungi bahwa belajar bukan sekadar menghafal ilmu, tetapi juga proses menyelami batin, meresapi makna hidup, serta menjalin hubungan spiritual dengan ilmu, guru, dan sejarah.
Imaji
Puisi ini kaya dengan imaji yang kuat, di antaranya:
- Balai kayu bercat karat biru beludru — menggambarkan langgar tua yang sederhana namun sarat makna.
- Isak letih anak santri yang terkapar menghafal manzumat — menghadirkan gambaran fisik santri yang kelelahan, namun tetap bertahan demi ilmu.
- Waduk air tempat lumut diri dibilas wudhu — menghadirkan imaji tentang ritual kesucian di tengah kesederhanaan.
- Seratus huruf hijaiyah menari-nari khusyuk menyemat basmalah — menghadirkan visualisasi puitis tentang proses belajar yang spiritual dan mendalam.
- Nur menyembur dari lubang bilik kayu — menggambarkan berkah yang hadir dari kesederhanaan pesantren.
Majas
Beberapa majas yang ditemukan dalam puisi ini antara lain:
- Metafora: "luka air merah gelisah bersimbah sebagai sesembah" — luka batin santri diibaratkan air merah yang bersimbah, melambangkan ketulusan pengorbanan.
- Personifikasi: "seratus huruf hijaiyah menari-nari" — huruf hijaiyah digambarkan seperti makhluk hidup yang menari.
- Repetisi: pengulangan kata "manzumat", "sorogan", dan "santri" untuk menekankan suasana khas pesantren.
- Simbolisme: "langgar peteng" sebagai simbol kesederhanaan pesantren tradisional yang penuh berkah spiritual.
Karya: Raedu Basha