Lagu Tanpa Pijakan
kawanku bernyanyi-nyanyi keras bagaikan mabuk kerna
bahagia sedang dari mulutku meluncur beratus kata-kata
kabur yang tak jelas arah dan muasalnya
pam pam! pim pim! pam pam!
tak ada iramanya dan sama sekali tidak cocok dengan
cuaca sekeliling
maka kukatakan pada kawanku itu: "hei, keledai yang
agak pintar! aku tak bisa yakin dengan nyanyian-
nyanyianmu, apakah bisa dipertanggung jawab-
kan. maksudku, apakah punya alasan-alasan yang
masuk akal ataupun motivasi-motivasi bawah
sadar yang menjadi tempat pijakannya
sebab sepengetahuanku di tengah para keledai ini tak ada
sebab-sebab tertentu yang membuat nyanyian
bisa agak jujur sedikit. maksudku begini, melihat
kondisi dan situasi, kita ini tak punya hak untuk
bernyanyi atau tertawa-tawa"
"tapi menangis juga amat memalukan dan agak kurang
senonoh untuk lelaki gagah seperti kita" — ja-
wab kawanku sambil terus bernyanyi-nyanyi
pam pam! pim pim! pam pam!
lagu-lagu sumbang!
pam pam! pim pim! pam pam!
lagu-lagu tanpa pijakan
pam pam! pim pim! pam pam!
lagu-lagu orang ingatan!
"ah, jangan sebut-sebut tentang orang sakit ingatan dong!
daerah kita ini sama saja dengan daerah mereka,
hanya saja kita ini mempunyai sedikit kelebihan"
"kelebihan apa gerangan?"
"kita tetap sadar bahwa kita ini orang sakit ingatan!"
pam pam! pim pim! pam pam!
ini terjadi pada suatu hari, di tengah hiruk pikuk para ke-
ledai, aku dan kawanku bersepakat untuk jangan sampai
ketemu orang baik-baik, yang akan memaksa
kami bersikap ramah dan penuh sopan santun
untuk kemudian dari mulut kami diharapkan —
menghambur kalimat-kalimat kebajikan yang se-
suai dengan hukum-hukum kebersamaan, ditam-
bah sekeranjang ketabahan untuk melayani
omongannya
astaghfirullah! itu adalah pekerjaan yang paling seng-
sara dan dam berat!
pam pam! pim pim! pam pam!
persoalannya bukan karena kesombongan yang memuncak,
tetapi karena beban yang tak tertahankan me-
nyaksikan kebahagiaan para keledai itu
koq bisa, sedang langit begitu kosong dan peradaban kita
sudah kayak begini. semula kita dilemparkan
dan kita tidak tahu harus bersyukur atau menye-
sali, tapi jelas kini sehari-harian kita hanya
bermimpi untuk kembali ke sana. padahal apa
bisa itu!
"nah, terang sudah, kamu ini benar-benar sakit ingatan!"
katamu tiba-tiba
pam pam! pim pim! pam pam!
"tuan-tuan yang baik hati! tolonglah tuan tendang pung-
gungku! kalau perlu tendang beramai-ramai dan
bersama-sama, dan sesudah itu — untuk meng-
akhirinya — tolong tuan injak sekalian kepalaku!"
pam pam! pim pim! pam pam!
"setidak-tidaknya, kalau misalnya tuan-tuan merasa terke-
kang, berpura-puralah tak sengaja menginjak ke-
palaku, soalnya kalau misalnya untuk memper-
juangkan cita-cita hidup yang luhur harus dengan
jalan terjun dari jembatan kewek atau menggem-
purkan kepala dan otak di loko KA, rasanya kok
malu juga aku
pam pam! pim pim! pam pam!
"soalnya aku dan kawanku ini, meskipun sudah berusaha
bersama-sama menanggungnya, ternyata nam-
paknya tak bisa bertahan lama
maka, tuan-tuan yang baik hati! tuan-tuan yang telah
mencapai kenyataan hukum keselarasan alami,
yang telah menguasai perimbangan jasmani ro-
hani —
tolonglah injak kepala kami ini, tidak apa-apa. tolonglah
injak, yang keras! yang mantap, dan pasti!
— kami telah kehabisan cara untuk bermabuk
diri . . . . ."
1976
Sumber: Horison (Februari, 1979)
Analisis Puisi:
Puisi "Lagu Tanpa Pijakan" karya Emha Ainun Nadjib mengangkat tema kebingungan eksistensial, ketidakseimbangan sosial, dan absurditas kehidupan. Dalam puisi ini, Emha menggambarkan bagaimana seseorang merasa kehilangan pegangan dalam kehidupan yang dipenuhi dengan absurditas dan kepalsuan.
Makna Tersirat
Puisi ini menyiratkan bahwa manusia sering kali terjebak dalam realitas yang tidak masuk akal, di mana kegembiraan dan kesedihan bercampur dalam ketidakjelasan. Penyair mempertanyakan apakah kebahagiaan yang dirasakan oleh orang-orang di sekitarnya adalah sesuatu yang nyata atau sekadar pelarian dari kenyataan yang pahit.
Dengan menggunakan metafora "keledai" untuk menggambarkan masyarakat yang tampak bahagia tanpa alasan jelas, penyair mengkritik kondisi manusia yang terus bernyanyi tanpa memahami arti sebenarnya dari hidup. Hal ini menunjukkan kritik terhadap kepalsuan dalam kehidupan sosial, di mana banyak orang hidup dalam kebahagiaan yang dangkal tanpa menyadari kenyataan yang sebenarnya.
Puisi ini bercerita tentang dua sahabat yang berada di tengah-tengah keramaian orang-orang yang bernyanyi dengan semangat, meskipun dunia di sekitar mereka penuh dengan penderitaan. Sang penyair mempertanyakan makna di balik kebahagiaan yang tampak kosong itu, sementara sahabatnya berusaha meyakinkan bahwa menangis pun bukan pilihan yang baik.
Pada akhirnya, mereka menyadari bahwa mereka sendiri adalah bagian dari absurditas tersebut—sadar bahwa mereka "sakit ingatan" tetapi tidak tahu bagaimana keluar dari keadaan itu.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini dipenuhi dengan kegelisahan, absurditas, dan kepasrahan yang ironis. Penyair menggambarkan dunia yang penuh dengan kontradiksi, di mana kebahagiaan tidak memiliki dasar dan penderitaan menjadi beban yang tak tertahankan.
Amanat/Pesan yang Disampaikan
Pesan utama dalam puisi ini adalah kritik terhadap kepalsuan hidup dan absurditas masyarakat. Manusia sering kali menjalani hidup tanpa pemahaman yang jelas, hanya mengikuti arus tanpa bertanya tentang makna di balik kebahagiaan dan penderitaan yang mereka alami.
Selain itu, puisi ini juga menunjukkan keputusasaan eksistensial, di mana seseorang yang menyadari realitas hidup justru merasa semakin terasing dan kehilangan pegangan. Penyair mengajak pembaca untuk merenungkan apakah hidup yang dijalani benar-benar memiliki makna atau sekadar mengikuti arus tanpa tujuan yang jelas.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji yang memperkuat pesan dan suasana kegelisahan, antara lain:
- Imaji pendengaran: "pam pam! pim pim! pam pam!" menggambarkan suara nyanyian yang kacau, tidak memiliki ritme atau pijakan yang jelas.
- Imaji visual: "di tengah hiruk pikuk para keledai" menciptakan gambaran masyarakat yang sibuk dengan kegembiraan palsu.
- Imaji perasaan: "tolonglah injak kepala kami ini" menunjukkan keputusasaan dan kepasrahan terhadap absurditas kehidupan.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Metafora: "keledai yang agak pintar" digunakan untuk menggambarkan masyarakat yang tampak cerdas tetapi tetap tidak menyadari realitas kehidupan.
- Ironi: Penyair mengolok-olok kebahagiaan yang tampak kosong, di mana manusia bernyanyi tanpa alasan yang jelas.
- Paralelisme: Pengulangan "pam pam! pim pim! pam pam!" menggambarkan kekacauan dan absurditas dalam hidup.
- Hiperbola: "tolonglah injak kepala kami ini" sebagai ekspresi keputusasaan yang mendalam terhadap keadaan dunia.
Puisi "Lagu Tanpa Pijakan" karya Emha Ainun Nadjib adalah kritik sosial dan refleksi eksistensial tentang absurditas kehidupan. Dengan bahasa yang satir dan penuh ironi, puisi ini mempertanyakan makna kebahagiaan yang tampak kosong serta menggambarkan keputusasaan manusia dalam mencari pegangan hidup. Puisi ini mengajak pembaca untuk lebih kritis terhadap realitas di sekitar mereka dan tidak larut dalam kepalsuan yang membutakan.
Karya: Emha Ainun Nadjib
Biodata Emha Ainun Nadjib:
- Muhammad Ainun Nadjib (Emha Ainun Nadjib atau kerap disapa Cak Nun atau Mbah Nun) lahir pada tanggal 27 Mei 1953 di Jombang, Jawa Timur, Indonesia.