Kubacakan Tulisanku Padamu
Kubacakan tulisanku, padamu
Dan pada mega yang turut bersaksi,
Situasiku kini tak cukup membuat sumringah
dan di hadapan manusia aku merasa jengah
Dalam lekuk-lekuk malam saja
Aku masih lebih hitam,
dan dibanding jurang mariana
Aku masih lebih dalam,
Lebih kelam lagi dari terowongan Wilhelmina
Tapi tetap
Kubacakan tulisanku, padamu
Dan pada sepasang estrildidae yang setia,
Tak ada yang banyak dapat kukaryakan
Di masa-masa sulit ini, selain menulis prosa
Yang tak berarti apa-apa
Dalam semrawut kota saja
Aku masih lebih kusut,
Dan dibanding sesaknya Jakarta
Aku masih lebih kalut,
Lebih susut lagi dari jalanan kereta
Kubacakan tulisanku, padamu
Dan pada kumbang yang mencuri-curi dengar,
Segala perasaan padamu tak mampu jalan lebih jauh,
Agar tak ada hati yang menjadi lumpuh,
Agar tak ada harap yang terlampau tumbuh,
Agar, tak ada luka yang sulit sembuh
Karena dalam cemasnya perang saja
Aku masih lebih merasa tersandera,
Oleh gelisah yang tak kunjung reda
24 Mei 2024
Analisis Puisi:
Puisi "Kubacakan Tulisanku Padamu" Karya Adhitya Wanda Pratama mengangkat tema kegelisahan batin, keterasingan, dan ketidakmampuan mengungkapkan perasaan secara langsung. Penyair menggambarkan pergulatan emosional yang dalam, di mana kata-kata menjadi satu-satunya jalan untuk menyalurkan perasaan.
Makna Tersirat
Puisi ini menyiratkan kesedihan, keputusasaan, dan ketidakpastian yang dialami penyair. Ia merasa tenggelam dalam kegelapan yang lebih pekat dari malam, lebih dalam dari jurang, lebih kusut dari kota yang semrawut. Perbandingan ini menunjukkan betapa besar beban yang ia rasakan.
Selain itu, ada makna tersirat tentang ketidakmampuan untuk membawa perasaan kepada seseorang lebih jauh. Ada rasa takut bahwa harapan yang tumbuh bisa berakhir menjadi luka yang sulit sembuh, sehingga lebih baik menjaga perasaan itu tetap terkendali.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang membaca tulisannya kepada orang yang ia cintai, tetapi sekaligus merasa cemas dan gelisah. Dalam situasi hidup yang sulit, menulis menjadi satu-satunya cara untuk mengekspresikan perasaan, meskipun tulisan itu sendiri terasa tidak berarti.
Puisi ini juga menggambarkan perasaan terperangkap dalam kegelisahan—perasaan yang lebih sesak dari Jakarta, lebih kusut dari kota yang semrawut, lebih menyandera dari perang. Penyair ingin menyampaikan perasaan kepada seseorang, tetapi ia takut harapan itu justru akan berujung pada luka.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini muram, gelisah, dan penuh ketidakpastian. Ada perasaan terjebak dalam kondisi yang sulit, tidak tahu harus bagaimana menghadapi perasaan sendiri.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan pesan bahwa menulis bisa menjadi pelarian dalam situasi sulit, tetapi terkadang perasaan yang dituangkan dalam tulisan pun tetap tidak mampu mengubah keadaan. Ada ketakutan akan harapan yang berlebihan, yang justru bisa melukai diri sendiri atau orang lain.
Pesan lainnya adalah bahwa kegelisahan yang mendalam bisa membuat seseorang merasa lebih terpuruk dibanding situasi eksternal yang tampak kacau. Ini menunjukkan bahwa perasaan dan pikiran sendiri sering kali menjadi musuh terbesar.
Imaji
- Imaji visual: "Dalam lekuk-lekuk malam saja, aku masih lebih hitam" memberikan gambaran kegelapan yang pekat, mencerminkan kesedihan dan keterpurukan.
- Imaji auditif: "Kubacakan tulisanku, padamu, dan pada kumbang yang mencuri-curi dengar" menghadirkan suasana sepi di mana hanya suara bacaan puisi yang terdengar.
- Imaji taktil: "Segala perasaan padamu tak mampu jalan lebih jauh" menciptakan kesan keterbatasan emosional, seolah ada dinding tak kasatmata yang menghalangi perasaan itu berkembang.
Majas
- Metafora: "Aku masih lebih hitam" menggambarkan bahwa perasaan penyair lebih gelap dibandingkan malam.
- Hiperbola: "Aku masih lebih dalam dari jurang Mariana" menunjukkan betapa besar dan dalam kesedihan yang ia rasakan.
- Personifikasi: "Dan pada kumbang yang mencuri-curi dengar" memberi kesan bahwa kumbang memiliki rasa ingin tahu seperti manusia.
- Simile: "Dalam semrawut kota saja, aku masih lebih kusut" membandingkan perasaan penyair dengan kekacauan kota yang tidak teratur.
Puisi "Kubacakan Tulisanku Padamu" karya Adhitya Wanda Pratama merupakan ungkapan kegelisahan yang mendalam, ketidakmampuan menyampaikan perasaan, dan keinginan untuk tetap menjaga perasaan agar tidak melukai siapa pun. Dengan berbagai metafora yang kuat, puisi ini menggambarkan betapa dalam dan beratnya kesedihan serta pergulatan batin seseorang.
Pesan yang dapat diambil adalah bahwa terkadang perasaan harus tetap dijaga agar tidak tumbuh berlebihan dan berujung pada luka. Puisi ini mencerminkan perjalanan batin seseorang yang terjebak dalam kecemasan dan keputusasaan, di mana satu-satunya pelarian yang tersisa adalah menulis.
Karya: Adhitya Wanda Pratama