Keledai
Paduka, pagi ini aku lahir kembali dengan kaki sekokoh besi berani. Jangan lagi kau pasang sayapku sebab sepanjang jalan ingin aku menginjak bebiji matamu.
Bebiji mata yang selalu membuatku berwarna darah, Paduka.
Kubawa matahari di punggungku sebab kau tinggal nun di jauh malam. Kau hampir buta, hampir semenjana. Maaf, Paduka, kau gelap sempurna, lihai memelihara ribuan buah delima yang sebentar lagi kaupecahkan, agar aku membuat kalungmu dari bebulir airmata merah itu.
Para serdadu biru memburuku, mengira yang terangkut olehku adalah jantungmu, Paduka. Para perawan hijau membidikku, menduga aku berdandan dengan lingga paling subur di dunia. Para penggali kubur hangus melukaiku, medakwa aku kain kafan terpanjang bagi mayat api yang tak kunjung datang.
Ternyata aku menapaki papan catur hanya.
Kakiku berkarat oleh kaum raja, ratu, menteri, benteng, dan kuda yatim piatu. Sampai jalan menghilang di antara sesegi putih dan hitam sampai aku tak mampu lagi membedakan siang terang dari malam buta, — dan dari bayanganmu dari wujudmu, Paduka.
Jembatan ini terbuat dari rambutmu, Paduka.
Dan delimamu mengambang di arus sungai.
Tapi aku masih juga menyeberang. Lihatlah, aku akan melayang jatuh, jauh, sebab di jurang sana, yang terpilih, yang tak lagi gemuruh, siapa tahu, masih tercatat pantun abu-abu, pantun tentang si junjungan yang menjadi hambanya sendiri, empat baris kubur seperti kakiku, ketika matahari selalu saja padam di punggungku, Paduka.
2007
Sumber: Jantung Lebah Ratu (2008)
Analisis Puisi:
Puisi "Keledai" karya Nirwan Dewanto mengangkat tema pemberontakan, absurditas kekuasaan, serta pencarian identitas di tengah keterasingan. Puisi ini menggambarkan pertentangan antara seorang bawahan dan penguasa (Paduka), dengan simbolisme yang kuat tentang ketidakadilan, kegelapan, dan kehancuran.
Makna Tersirat
Secara tersirat, puisi ini menyuarakan pemberontakan terhadap kekuasaan yang menindas. Sang "keledai" yang dalam puisi ini bisa diartikan sebagai simbol dari seorang bawahan atau rakyat kecil, menolak untuk terus diperlakukan sebagai makhluk lemah. Ia lahir kembali dengan "kaki sekokoh besi berani", menandakan kebangkitan atau perlawanan terhadap ketidakadilan.
Selain itu, puisi ini juga menggambarkan keterasingan dalam struktur kekuasaan, di mana sang keledai merasa terus diperalat oleh "Paduka" yang buta terhadap penderitaannya. Paduka digambarkan sebagai sosok yang berada dalam kegelapan, yang hanya bisa mempertahankan kekuasaan dengan mempermainkan yang lemah.
Puisi ini bercerita tentang seorang keledai yang menempuh perjalanan panjang melintasi dunia yang penuh absurditas, ketidakadilan, dan kehancuran. Ia membawa matahari di punggungnya, sementara Paduka tetap berada dalam kegelapan. Perjalanan ini membawanya melewati perlawanan, penindasan, hingga ke titik di mana ia hampir tidak bisa membedakan realitas dari ilusi.
Keledai ini melintasi papan catur, yang dapat diartikan sebagai simbol permainan kekuasaan, di mana setiap langkahnya dikendalikan oleh aturan yang sudah ditentukan oleh raja, ratu, dan menteri. Pada akhirnya, ia tetap harus menyeberangi jembatan rapuh yang terbuat dari rambut Paduka, seolah-olah kehidupannya masih dikendalikan oleh penguasa yang sama.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini dipenuhi dengan kegelisahan, absurditas, dan perlawanan yang sia-sia. Ada perasaan keterasingan, kehilangan arah, dan ketidakberdayaan dalam menghadapi kekuasaan yang tak tergoyahkan.
Amanat/Pesan yang Disampaikan
Puisi ini memberikan pesan bahwa seseorang yang ditindas dan dianggap lemah bisa saja bangkit dan melawan, tetapi kekuasaan yang besar sering kali tetap bertahan dalam bentuk yang berbeda.
Ada pula pesan bahwa kekuasaan yang buta dan semena-mena hanya akan menghasilkan kehancuran, baik bagi penguasa maupun yang dikuasai. Pada akhirnya, semua hanyalah bagian dari permainan besar, di mana pion-pion terus digerakkan tanpa bisa menentukan nasibnya sendiri.
Imaji
Puisi ini memiliki imaji yang sangat kaya dan kuat, antara lain:
- Imaji visual: "kubawa matahari di punggungku", "delimamu mengambang di arus sungai" memberikan gambaran yang dramatis tentang perjalanan sang keledai.
- Imaji perasaan: "kakiku berkarat oleh kaum raja, ratu, menteri" menggambarkan kelelahan dan penderitaan akibat sistem kekuasaan yang menindas.
- Imaji gerak: "aku akan melayang jatuh, jauh" memberikan kesan keputusasaan dan kehilangan kendali dalam dunia yang serba gelap.
Majas
Puisi ini kaya akan majas yang memperkuat pesan dan nuansa absurdnya, antara lain:
- Metafora: "jembatan ini terbuat dari rambutmu" menggambarkan kekuasaan yang rapuh tetapi tetap harus dilalui.
- Personifikasi: "matahari selalu saja padam di punggungku" memberikan gambaran bagaimana harapan terus memudar.
- Simbolisme: "papan catur" melambangkan permainan kekuasaan yang mengatur setiap gerakan bawahan.
Puisi "Keledai" karya Nirwan Dewanto adalah puisi yang kompleks, sarat simbolisme, dan menggambarkan pertentangan antara yang lemah dan yang berkuasa. Dengan bahasa yang kuat dan imaji yang mendalam, puisi ini memberikan refleksi tentang kekuasaan yang gelap, penderitaan yang berkepanjangan, dan perjuangan yang mungkin tak pernah berakhir.
Biodata Nirwan Dewanto:
- Nirwan Dewanto lahir pada tanggal 28 September 1961 di Surabaya, Jawa Timur, Indonesia.