Puisi Hujan
Hujan,
Reda sedikit disebut gerimis,
Besar sedikit disebut badai,
Sebentar jadi mampir,
Lama jadi banjir,
Orang-orang jadi banyak melipir
Dari perjalanan yang barangkali afkir,
Takut disambar petir,
Tapi hidup sudah kadung disambar getir
Di tempatku cuma rinai kecil merebah,
Sedang katamu air bertumpah ruah,
Bahkan dengan hujan kita berbeda arah,
Bahkan dengan alam kita bertukar wajah,
Pada apa lagi kita mempercaya,
Jika hujan pun tak lagi memberi tanda,
Pada ruang-ruang renjana
01-12-24
Analisis Puisi:
Puisi "Hujan" Karya Adhitya Wanda Pratama mengangkat tema kehidupan dan perbedaan perspektif. Hujan dalam puisi ini tidak hanya hadir sebagai fenomena alam, tetapi juga sebagai metafora kehidupan yang memiliki berbagai makna bagi setiap orang.
Makna Tersirat
Puisi ini menyiratkan bahwa kehidupan penuh dengan ketidakpastian dan perbedaan pandangan. Sama seperti hujan yang bisa dianggap sebagai gerimis, badai, atau bahkan bencana tergantung pada perspektif masing-masing, demikian pula pengalaman hidup setiap orang berbeda. Beberapa orang hanya mengalami kesedihan kecil (rinai kecil), sementara yang lain menghadapi cobaan berat (air bertumpah ruah).
Puisi ini juga menyiratkan kehilangan makna dan kepercayaan terhadap tanda-tanda kehidupan. Jika hujan yang dulu dianggap sebagai pertanda kini tak lagi memiliki makna yang sama, maka manusia mulai kehilangan pegangan dalam memahami dunia dan dirinya sendiri.
Puisi ini bercerita tentang perbedaan cara manusia memandang hujan dan bagaimana hal itu mencerminkan perbedaan dalam menjalani kehidupan. Ada yang menganggap hujan sebagai rintik kecil yang tak berarti, sementara bagi orang lain, hujan bisa menjadi bencana besar. Puisi ini juga menyentuh perasaan getir dalam hidup, di mana manusia telah terbiasa menghadapi kesulitan hingga kehilangan harapan dan tanda-tanda yang dulu mereka percayai.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini melankolis dan penuh perenungan. Ada nuansa reflektif tentang bagaimana hujan, yang biasanya dijadikan simbol keindahan atau pembaruan, justru menjadi lambang perbedaan dan kehilangan makna.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan pesan bahwa kehidupan selalu dipandang berbeda oleh setiap individu, tergantung dari sudut pandang dan pengalaman masing-masing. Selain itu, puisi ini juga mengajak kita untuk merenungkan bagaimana makna-makna dalam hidup bisa berubah seiring waktu, sehingga penting bagi kita untuk tetap mencari pegangan dan memahami realitas dengan lebih dalam.
Imaji
- Imaji visual: "Di tempatku cuma rinai kecil merebah, sedang katamu air bertumpah ruah" menghadirkan gambaran perbedaan antara hujan yang lembut di satu tempat dan hujan deras di tempat lain.
- Imaji auditori: "Takut disambar petir" memberikan kesan suara yang menggelegar, menambah nuansa ketakutan dan ketidakpastian.
- Imaji perasaan: "Tapi hidup sudah kadung disambar getir" menggambarkan penderitaan dan kekecewaan yang telah terlanjur dirasakan.
Majas
- Metafora: "Hidup sudah kadung disambar getir" mengibaratkan penderitaan hidup seperti petir yang menyambar.
- Personifikasi: "Bahkan dengan hujan kita berbeda arah, bahkan dengan alam kita bertukar wajah" memberikan sifat manusiawi pada hujan dan alam yang seolah-olah memiliki kehendak sendiri.
- Antitesis: "Pada apa lagi kita mempercaya, jika hujan pun tak lagi memberi tanda" menunjukkan pertentangan antara harapan untuk menemukan makna dan kenyataan yang tidak lagi memberikan kepastian.
Puisi "Hujan" karya Adhitya Wanda Pratama merupakan refleksi tentang perbedaan perspektif dalam hidup, ketidakpastian, dan perubahan makna dalam kehidupan. Dengan menggunakan hujan sebagai simbol, puisi ini menggambarkan bagaimana setiap orang memiliki pengalaman yang berbeda terhadap realitas yang sama. Nuansa melankolis dan perenungan yang mendalam menjadikan puisi ini sebagai pengingat bahwa dalam hidup, makna tidak selalu tetap, dan setiap orang memiliki caranya sendiri untuk memahami dunia.
Karya: Adhitya Wanda Pratama