Gerimis
gerimis senja hari, cintaku
adakah terutus dari rindumu
sangsai menetes di dahan-dahan
sangsai mengantar beribu kelam
kenapa tinggal sayu, lalu diam
kenapa tinggal bisu, lalu muram
seperti tak sabar bercinta, kita pun sedih
seperti tak sabar menunggu, waktu pun letih.
Sumber: Horison (April, 1973)
Analisis Puisi:
Puisi "Gerimis" karya Hoedi Soejanto mengangkat tema kerinduan, kesedihan, dan ketidakpastian dalam cinta. Penyair menggambarkan perasaan yang mengendap dalam suasana senja yang gerimis, seakan mencerminkan perasaan cinta yang tidak tersampaikan atau mulai meredup.
Makna Tersirat
Puisi ini menyiratkan perasaan kehilangan dan kesedihan dalam sebuah hubungan. Gerimis yang turun melambangkan keraguan, kepedihan, atau mungkin cinta yang tak lagi berbalas. Penyair juga mengungkapkan ketidakpastian dan kelelahan dalam menanti sesuatu yang mungkin tak akan datang.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang merasakan kerinduan dan kesedihan dalam cinta. Ada perasaan menunggu yang penuh harapan, namun yang tersisa justru kesunyian dan kekecewaan. Hubungan yang digambarkan dalam puisi ini seolah kehilangan gairah, seperti menunggu sesuatu yang tak kunjung tiba.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa sendu, muram, dan penuh kerinduan. Penggunaan kata-kata seperti sayu, bisu, muram, dan letih memperkuat nuansa kesedihan dan kekecewaan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan bahwa tidak semua cinta berjalan sesuai harapan. Ada saatnya seseorang harus menerima bahwa perasaan bisa berubah, dan menunggu sesuatu yang tidak pasti hanya akan membawa kesedihan. Selain itu, puisi ini juga menggambarkan bahwa cinta dan rindu bisa menjadi beban jika tidak ada kepastian dalam hubungan.
Imaji
- Imaji Visual: "Gerimis senja hari, cintaku" → menghadirkan gambaran suasana senja yang kelabu, mencerminkan perasaan sendu dalam puisi.
- Imaji Taktil: "Sangsai menetes di dahan-dahan" → memberikan kesan air gerimis yang jatuh perlahan, menciptakan nuansa lembut sekaligus menyedihkan.
- Imaji Perasaan: "Seperti tak sabar bercinta, kita pun sedih" → membangkitkan rasa frustrasi dan kesedihan akibat cinta yang tak berjalan sebagaimana diharapkan.
Majas
- Majas Personifikasi: "Waktu pun letih" → waktu digambarkan seperti manusia yang bisa merasa lelah, melambangkan penantian yang begitu panjang hingga terasa melelahkan.
- Majas Metafora: "Gerimis senja hari, cintaku" → gerimis dijadikan simbol dari perasaan cinta yang redup atau penuh kesedihan.
- Majas Repetisi: "Kenapa tinggal sayu, lalu diam. Kenapa tinggal bisu, lalu muram." → pengulangan struktur kalimat ini memperkuat suasana kehilangan dan kesedihan.
Puisi "Gerimis" karya Hoedi Soejanto adalah refleksi dari kerinduan, kesedihan, dan kekecewaan dalam cinta. Dengan penggunaan metafora gerimis dan waktu yang letih, penyair menggambarkan hubungan yang meredup dan ketidakpastian dalam perasaan. Puisi ini memberikan pesan bahwa menunggu sesuatu yang tak pasti bisa menjadi beban yang menyakitkan, dan terkadang, perasaan yang dulu hangat bisa berubah menjadi kesunyian yang dingin.
Karya: Hoedi Soejanto
Biodata Hoedi Soejanto:
- Hoedi Soejanto (Ejaan yang Disempurnakan Hudi Suyanto) lahir di Salatiga, Jawa Tengah pada bulan Maret 1936.