Puisi: Fragmen Kota (Karya Sugiarta Sriwibawa)

Puisi "Fragmen Kota" karya Sugiarta Sriwibawa adalah potret getir tentang kehidupan urban yang terpecah oleh individualisme, kecurigaan, dan ...
Fragmen Kota

Tibalah saatnya
Bila malam melambungkan warna cadarnya
Kuraih-raih, mengisap menggelenyar
Lolos di ujung-ujung pandang
jarak yang gelisah menunggu

Datangku, datangku saudara
Betapa perlunya menopang kata
Ke tengah malam menuntun
Kudengarkan, kudengarkan sahabat
Dalam diam, selama ini menyimpang balasan
Atau kata-kata terpaksa bagai saksi
Aku tahu akan mengusik kedamaianmu

Kapan terasa dalam luyak-luyak matamu
Perlukah kita mengutuk, lantaran fananya
Ah, betapa fananya sebuah pendirian
Seorang-seorang saling tidak memerlukan
Dalam kebahagiaan rumah tangga pribadi
Dan kita pun menyisih di semak-semak malam

Rumah kita adalah fragmen kota ini
Bila melenguh angin dingin di sini menginap
Lugu pintu jendelanya kuyu
Segala menerima masa bodoh

Akhirnya kita akan mengerti, saudara
Akan kisah dendam yang terbenam
Menebus dosa dan berdoa untuk musuh
Ah, apakah masih ada rumusnya musuh
Di sini nafsu yang runtuh
Berdiri terlutut, mengaku titah
Minta maaf, dan mengalah

Di sinilah sahabat
Bayang-bayang kota kita yang basah
Dan bila senyap mati langkah
Dada-dada kebenaran yang luka — sama-sama
luka Antara kita yang menderita, menderita atas kepercayaan.

Analisis Puisi:

Tema utama dalam puisi ini adalah kegelisahan sosial dan keterasingan manusia di tengah kehidupan kota. Kota yang digambarkan bukan sekadar tempat tinggal fisik, melainkan sebuah simbol dari keterpecahan, kesepian, dan konflik batin yang dirasakan manusia modern.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi "Fragmen Kota" adalah kritik terhadap kehidupan kota yang semakin individualis dan penuh ketidakpedulian. Hubungan antarmanusia semakin renggang, di mana setiap orang sibuk mengejar kebahagiaan pribadi, sementara rasa kebersamaan semakin memudar.

Selain itu, puisi ini juga menyiratkan kegelisahan batin terhadap luka-luka sosial yang tak pernah sembuh. Dendam, ketidakpercayaan, dan saling curiga menjadi bagian dari keseharian, seolah-olah menjadi warisan yang terus dipelihara. Meski ada keinginan untuk berdamai, tetapi bayang-bayang luka dan pengkhianatan masih terus membekas.

Puisi ini bercerita tentang fragmen kehidupan di kota, yang diisi oleh kegelisahan malam, dialog-dialog batin, rasa terasing, dan kesadaran tentang relasi sosial yang rapuh. Kota menjadi simbol tempat tinggal bersama yang kehilangan makna kebersamaan.

Penyair menghadirkan sosok "aku" dan "saudara" sebagai representasi manusia kota yang sama-sama menanggung luka sosial dan hidup dalam ketidakpercayaan. Rumah-rumah kota diibaratkan kuyu dan masa bodoh, simbol ketidakpedulian dan ketidakberdayaan menghadapi realitas sosial.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa muram, penuh kegelisahan, dan sarat luka batin. Ada perasaan hampa dan cemas yang terus menyelimuti, seolah malam di kota adalah cermin dari kegelisahan dan kesepian yang tak bertepi.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Pesan yang disampaikan puisi ini adalah pentingnya menjaga rasa kebersamaan dan peduli antar sesama di tengah kehidupan kota yang individualistis. Penyair mengingatkan bahwa dendam dan luka sosial yang dipelihara hanya akan memperpanjang penderitaan, sementara memaafkan dan mengalah adalah jalan menuju kedamaian.

Selain itu, puisi ini juga mengajak pembaca merenungkan kembali arti hidup bermasyarakat, di mana kepercayaan dan solidaritas semestinya menjadi fondasi, bukan justru saling mencurigai dan menyakiti.

Imaji

Puisi ini menghadirkan imaji yang cukup kuat, di antaranya:
  • Imaji visual: "malam melambungkan warna cadarnya" menghadirkan gambaran malam kota yang kelam dan misterius.
  • Imaji pendengaran: "kudengarkan sahabat dalam diam" menciptakan suasana senyap yang penuh makna.
  • Imaji perasaan: "dada-dada kebenaran yang luka" menghadirkan rasa perih dan kecewa akibat pengkhianatan sosial.

Majas

Beberapa majas yang terlihat dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora: "fragmen kota" menggambarkan bahwa kota tidak lagi utuh sebagai ruang kebersamaan, melainkan hanya serpihan-serpihan kehidupan individual yang tercerai-berai.
  • Personifikasi: "pintu jendelanya kuyu" memperlihatkan bahwa rumah-rumah kota seolah hidup dan ikut merasakan kesedihan penghuninya.
  • Paradoks: "menebus dosa dan berdoa untuk musuh" menunjukkan ironi tentang manusia yang memendam dendam tetapi juga berusaha berdamai.
Puisi "Fragmen Kota" karya Sugiarta Sriwibawa adalah potret getir tentang kehidupan urban yang terpecah oleh individualisme, kecurigaan, dan kehilangan makna kebersamaan. Penyair dengan puitis mengajak kita untuk merenungkan kembali relasi sosial di kota, menyadari luka-luka lama yang tak pernah sembuh, dan mempertanyakan apakah masih ada ruang untuk memaafkan dan berdamai.

Puisi ini tidak hanya menjadi cermin kondisi kota, tetapi juga refleksi batin manusia modern yang haus makna di tengah hiruk-pikuk kesibukan dan keterasingan yang melingkupinya.

Sepenuhnya Puisi
Puisi: Fragmen Kota
Karya: Sugiarta Sriwibawa

Biodata Sugiarta Sriwibawa:
  • Sugiarta Sriwibawa lahir di Surakarta, pada tanggal 31 Maret 1932.

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.