Dialog Seorang Anggota DPR-GR Daerah
Dengan Seorang Penulis Sajak Tahun 1964
Ketika itu di atas sebuah oto reyot
Dan jalanan bagai ular lapar
Bapak itu Wakil Karyawan Seniman di DPR-GR Daerah
Ini tahun 1964
Ia mulai buka mulut
"Bung, puisi sekarang sangat sukar
Apakah penyair berdiri di awang-awang?"
Sang Penulis Sajak menjawab:
"Itu baik, karena sajak sekarang telah ditulis dengan maksud baik dan ini jelas".
"Bapak akan bertanya tentang sesuatu. Dan umpamakan saja bentuk sebentuk pelangi buat apa ia ada!"
Lalu dia menukas tiba-tiba:
"Kalau begitu, sajak Bung takkan dimengerti rakyat.
Juga oleh Pemimpin Negeri ini."
"Jadi bapak mengikuti juga sajak-sajak saya".
Sang Penulis Sajak angkat bicara.
"Tentu. Tentu .
Ini kerja saya di DPR."
(Sang Penulis Sajak bertanya pada dirinya):
"Kalau tak salah Bapak ini seorang tokoh Politik yang gagal dulunya."
"Atau mungkin juga dia kesayangan Gubernur, dan pernah berjasa padanya."
"Kesempatan baik pun ada jadi anggota DPR-GR Daerah dari Karyawan Seniman titik."
Jalanan kampung sesudah perang saudara
Makin ruyak. Makin jadi rawa. Oto mengangguk terbatuk-batuk.
Perjalanan makin sukar
Sang bapak ini tertidur mengangguk bagai oto.
(Antara kantuk, bapak ini kembali mendesis
dengan kata-kata indoktrinasi yang tinggal sasis
sambil berusaha meyakinkan penulis sajak.
Katanya:
"Tulislah kalimat-kalimat bagus yang merangsang".
"Tulislah sajak tentang perang negeri ini melawan Belanda".
"Tulislah sajak tentang Ke-Pahlawanan Rakyat Berjuang".
"Dan berikanlah pada saya. Nanti diusahakan Penerbitannya.")
Di sela-sela tamparan angin
Sang Penulis Sajak memberi tahu:
"Bagus juga niat bapak."
"Pesanan demi pesanan ada janggalnya."
"Apakah ini tidak pekerjaan seorang tukang?"
"Itu betul. Betul sekali," jawab sang Bapak itu.
"Toh kalian Seniman semacam saja dengan – Insinyur Jiwa, menurut versi Stalin."
"Sebab itu tulislah sajak. Dan menangkan kelas yang berkuasa!"
"O, maaf saja, Pak.
Puisi sekarang mewakili hati nurani manusia yang terbanyak.
Puisi sekarang tak didikte dari atas. Tapi juga tak didikte orang lain."
Senja pun turun dengan kabut pegunungan
Oto mengantuk jalan menanjak para penumpang telah jadi lesu.
Otot-otot jadi kaku puncak bukit hitam ungu
Perkampungan ini terlihat lesu pada
Bapak pemimpin yang tak pilih Rakyat ini
dan berkata pada sang Supir:
"Di sini saja. Di pengkolan simpang itu!"
Kepadaku dia menoleh dengan senyum mata pisau
"Sampai jumpa lagi Penulis Sajak terkutuk!"
Aku pun mengangguk. Tanpa sadar
Dan tenggelam dalam fikiran sendiri:
O, Tuhan. Berikan padaku lagi telapak kaki yang tabah!
Padang, 1966
Sumber: Horison (Agustus, 1967)
Analisis Puisi:
Tema utama dalam puisi ini adalah kebebasan berkarya dan konflik antara seniman dengan kekuasaan politik. Puisi ini memperlihatkan bagaimana puisi dan sastra dihadapkan pada tekanan politis, di mana seniman dipaksa menulis sesuai keinginan penguasa, bukan mengikuti hati nurani.
Makna Tersirat
Puisi ini menyiratkan kritik tajam terhadap relasi yang timpang antara seniman dan pemerintah. Penyair digambarkan berhadapan dengan seorang anggota DPR-GR daerah yang berupaya mendikte isi puisi agar sesuai dengan propaganda politik pemerintah. Hal ini menunjukkan betapa sulitnya menjaga independensi berkarya di tengah tekanan ideologi dan kekuasaan.
Selain itu, puisi ini juga menyiratkan kegelisahan batin seorang seniman yang ingin menjaga kemurnian karyanya, meskipun harus dianggap sebagai “penulis sajak terkutuk”. Ini mencerminkan pertarungan abadi antara idealisme dan kompromi.
Puisi ini bercerita tentang sebuah percakapan antara seorang penyair dan anggota DPR-GR daerah dalam sebuah perjalanan di oto reyot. Sang anggota DPR-GR mempertanyakan mengapa puisi sekarang sulit dipahami rakyat dan tidak mendukung semangat perjuangan negara.
Dalam percakapan tersebut, anggota DPR-GR mencoba memesan puisi bertema heroisme dan perjuangan melawan penjajah, sementara penyair menolak menjadi tukang yang menulis sesuai pesanan kekuasaan. Percakapan diwarnai sindiran dan kecurigaan, serta menunjukkan betapa seni sering dipolitisasi demi kepentingan kelompok tertentu.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa tegang, penuh ironi, sekaligus muram. Ada kegelisahan batin seniman, arogansi kekuasaan, dan kesan sinis terhadap kondisi politik dan budaya pada masa itu. Semua itu disajikan dalam latar perjalanan yang melelahkan, di atas oto reyot di jalanan kampung yang rusak pasca perang saudara, menciptakan suasana lesu dan penuh kepahitan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan yang disampaikan puisi ini adalah bahwa puisi atau karya seni sejati lahir dari hati nurani dan kebebasan berpikir, bukan hasil pesanan politik. Penyair tidak boleh tunduk pada kekuasaan atau menjadi alat propaganda penguasa. Seni yang sejati harus menyuarakan suara rakyat dan kebenaran, bukan sekadar mengagungkan penguasa demi kepentingan sesaat.
Puisi ini juga mengingatkan bahwa seniman sering kali harus menghadapi kesepian, tekanan, dan bahkan cemoohan, tetapi ketabahan adalah bagian dari jalan sunyi seorang seniman yang jujur.
Imaji
Puisi ini kaya akan imaji yang kuat, antara lain:
- Imaji visual: oto reyot, jalanan bagai ular lapar, senja berkabut di puncak bukit.
- Imaji suara: desisan kata-kata indoktrinasi, suara oto yang terbatuk-batuk.
- Imaji perasaan: rasa lesu, letih fisik, dan mental yang tertekan di tengah suasana politik yang mengekang.
Imaji-imaji ini menguatkan atmosfer realistik sekaligus simbolik dalam puisi, memperlihatkan keterpurukan kondisi fisik, sosial, dan batin yang dialami seniman di masa itu.
Majas
Beberapa majas yang dapat ditemukan dalam puisi ini:
- Metafora: “jalan bagai ular lapar” menggambarkan jalan yang berliku dan rusak.
- Personifikasi: “oto mengangguk terbatuk-batuk” memperlakukan kendaraan layaknya manusia yang sakit.
- Ironi: anggota DPR-GR yang mewakili karyawan seniman justru ingin mendikte isi puisi.
- Sarkasme: panggilan “Penulis Sajak Terkutuk” sebagai bentuk penghinaan terhadap idealisme penyair.
- Simbol: oto reyot dan jalan kampung yang ruyak melambangkan kondisi negara yang rapuh dan tertinggal.
Puisi "Dialog Seorang Anggota DPR-GR Daerah" adalah potret getir tentang bagaimana seni dan politik saling berhadapan. Rusli Marzuki Saria, melalui puisi ini, ingin menunjukkan bahwa seniman yang jujur akan selalu berada di posisi yang sulit—antara mempertahankan idealisme atau tunduk pada pesanan penguasa.
Puisi ini tidak hanya berbicara tentang kebebasan berkarya, tetapi juga tentang nasib seniman di negara yang belum sepenuhnya menghargai seni sebagai suara jujur rakyat. Ini adalah puisi protes, puisi tentang keberanian menolak tunduk, dan puisi tentang kesepian seorang penyair yang memilih tetap setia pada suara hatinya sendiri.
Puisi: Dialog Seorang Anggota DPR-GR Daerah
Karya: Rusli Marzuki Saria
Biodata Rusli Marzuki Saria:
- Rusli Marzuki Saria lahir pada tanggal 26 Februari 1936 di Kamang, Bukittinggi.