Di Sini
Di sini
Tinggal tiang-tiang berdiri sepi
laut hampa pagi hari meratap
bersama mentari.
Bunga yang letih di atas pasir
betapa ia jadi bisu. Kehilangan
warna dalam waktu.
Datanglah!
Perlahan melangkah
Tajam
Reruntuhan dinding waktu
dan kehampaan
Seluruh dunia d isini
Lorong-lorong sepi sepanjang
cakrawala
Terbuka
Datang menembus sunyi
seruling kereta penghabisan
Ke sorga
Malam lesu dan lelap
di atas hutan-hutan dan kota-kota
Rasa takut mengambang dimana-mana
Pintu tertutup dan jendela
Suara dan kata mati amat beku
Aku bangkit:
Dimana kau?
Sumber: Horison (Agustus, 1969)
Analisis Puisi:
Puisi "Di Sini" mengusung tema tentang kesepian, keterasingan, dan kehampaan yang mencekam. Melalui gambaran tempat yang sunyi dan hampa, puisi ini menghadirkan refleksi tentang waktu yang berlalu, kehancuran, serta pencarian makna dan harapan di tengah kehampaan tersebut.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini adalah kegelisahan batin menghadapi kenyataan hidup yang penuh kehampaan dan ketidakpastian. Penyair ingin menyampaikan bahwa kehidupan yang pernah penuh warna kini berganti menjadi ruang kosong yang membisu. Ini bisa diartikan sebagai simbolisasi kehidupan manusia yang perlahan kehilangan makna, harapan, dan kebahagiaan seiring berjalannya waktu.
Selain itu, puisi ini juga menyiratkan rasa haus akan kehadiran dan kehangatan—sebuah pencarian atas keberadaan seseorang atau sesuatu yang mampu menghidupkan kembali dunia yang telah membeku.
Puisi ini bercerita tentang kondisi suatu tempat yang ditinggalkan dan membeku dalam kesepian. Tempat tersebut, mungkin sebuah kota, pantai, atau simbol dunia batin, dipenuhi tiang-tiang sepi, bunga yang kehilangan warna, dan lorong-lorong sunyi. Suasana tersebut memperlihatkan kehancuran dan keterasingan, di mana harapan seakan sirna, dan hanya rasa takut yang mengambang.
Di tengah kesunyian itu, muncul seruan untuk datang, seolah ada harapan tipis bahwa seseorang akan hadir membawa cahaya atau jawaban atas kesepian yang menjerat. Di akhir puisi, suara aku lirik bangkit dan bertanya: “Dimana kau?”, menegaskan bahwa puisi ini juga tentang pencarian sosok, entah kekasih, sahabat, atau harapan itu sendiri.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini adalah suram, muram, sunyi, dan mencekam. Ada nuansa kehilangan dan kehampaan, seakan dunia di dalam puisi telah mati—tinggal reruntuhan dan bayang-bayang yang melingkupi. Suasana tersebut semakin diperkuat oleh gambaran lorong-lorong sepi, malam lesu, dan pintu serta jendela yang tertutup rapat.
Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi
Pesan yang ingin disampaikan melalui puisi ini adalah bahwa hidup yang kosong dan kehilangan makna dapat membuat manusia terperangkap dalam kesepian yang menakutkan. Puisi ini mengingatkan kita tentang pentingnya mencari arti kehidupan, mempertahankan harapan, dan merawat hubungan antarmanusia agar tidak terjebak dalam keterasingan yang membekukan hati.
Imaji
Puisi ini dipenuhi dengan imaji visual dan suasana yang kuat, seperti:
- “Tinggal tiang-tiang berdiri sepi” — menghadirkan gambaran tempat kosong yang ditinggalkan.
- “Laut hampa pagi hari meratap bersama mentari” — membentuk imaji alam yang muram dan penuh kesedihan.
- “Bunga yang letih di atas pasir” — simbol keindahan yang telah memudar.
- “Lorong-lorong sepi sepanjang cakrawala” — imaji perjalanan panjang yang sunyi.
- “Malam lesu dan lelap di atas hutan-hutan dan kota-kota” — menghadirkan suasana malam yang muram, melingkupi dunia.
Majas
Beberapa majas yang muncul dalam puisi ini antara lain:
- Metafora: “reruntuhan dinding waktu” — waktu digambarkan seperti bangunan yang runtuh.
- Personifikasi: “pagi hari meratap bersama mentari” — pagi dan matahari digambarkan memiliki emosi.
- Hiperbola: “seluruh dunia di sini” — melebih-lebihkan tempat tersebut seakan mencakup dunia.
- Pertanyaan Retoris: “Dimana kau?” — sebuah pertanyaan yang tidak langsung mengharapkan jawaban, melainkan bentuk ungkapan keputusasaan.