Puisi: Di Ketinggian Alifakovac (Karya Esha Tegar Putra)

Puisi “Di Ketinggian Alifakovac” bercerita tentang pengalaman menyaksikan kota lama Alifakovac di Sarajevo dari ketinggian, sambil mengenang ...
Di Ketinggian Alifakovac

Dan aku melihat kota lama dari ketinggian, Fadila
cerek tua, talam tua, cangkir tembaga tua
bau kopi hangus dihalau dentang lonceng gereja

buih perasan anggur kering
pada meja.

Kulihat kau melulu duduk dekat jendela
menaik-turunkan gorden, berulang
mengintip langit
memperkirakan bila hujan curah
memastikan hari tua tidak serupa pokok stroberi
baru disiang
digali-korek anjing tetangga.

Kota lama dari ketinggian Alifakovac
jalur kuburan asing
deretan nisan putih ganih
membikin ingatanku turut jerih.

Dan pada jalur ini barangkali pernah tertabur juga ros sirah
pada rengkah batu-batu jalan
pada dinding ruko serta rumah
pada punggung lelaki tua tiap hari kulihat tersadai
di tubir kuburan sama.
Ros Sarajevo, Fadila
sirah bertahun silam
ketika biji mortir berulang dan berulang
diumbankan dari selingkar bukit
dan kau mengendap dari kolong ke kolong
membekap kuat telinga Nadini kecil.

Di ketinggian ini
kupikir musim bakal bikin gerah
tapi nyatanya dingin
tak sudah-sudah.

Sarajevo, Juli 2018

Analisis Puisi:

Puisi “Di Ketinggian Alifakovac” mengusung tema kenangan, luka sejarah, dan trauma perang. Melalui sudut pandang personal, penyair menghadirkan fragmen-fragmen kehidupan di Sarajevo, khususnya di kawasan Alifakovac, yang penuh jejak perang dan kesedihan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah tentang bagaimana perang menyisakan luka mendalam yang terus membekas, bahkan setelah bertahun-tahun berlalu. Kota lama Alifakovac, yang menjadi latar puisi, bukan sekadar tempat, melainkan simbol kenangan pahit, trauma kolektif, dan ketakutan yang diwariskan lintas generasi. Penyair menyelipkan refleksi bahwa perang tak sekadar merusak fisik kota, tetapi juga menghancurkan jiwa-jiwa yang tinggal di dalamnya.

Puisi ini bercerita tentang pengalaman menyaksikan kota lama Alifakovac di Sarajevo dari ketinggian, sambil mengenang tragedi perang yang pernah melanda kota tersebut. Penyair mengamati benda-benda tua yang menyimpan cerita, mengingat kembali ketakutan akan hujan mortir, serta bayang-bayang kematian yang membayangi kehidupan warga, termasuk sosok Fadila dan Nadini kecil yang menjadi simbol korban perang. Puisi ini menggabungkan personal memory dengan luka sejarah kolektif Sarajevo.

Suasana dalam Puisi

Suasana yang tergambar dalam puisi ini adalah muram, sendu, sekaligus penuh ketegangan tersembunyi. Ada rasa getir yang mengendap di setiap detail—mulai dari aroma kopi hangus, bunyi lonceng gereja, hingga nisan-nisan putih yang berjajar di kuburan asing. Semua itu membentuk suasana melankolis sekaligus mencekam, seolah-olah perang masih membayangi meski sudah lama berlalu.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Beberapa amanat yang dapat dipetik dari puisi ini adalah:
  • Perang menyisakan luka panjang, tidak hanya pada kota yang hancur, tetapi juga pada ingatan dan jiwa manusia.
  • Kenangan pahit akan perang adalah peringatan agar tragedi serupa tidak terulang.
  • Di balik sebuah kota tua yang tampak biasa, selalu ada cerita sejarah yang menyayat dan tidak boleh dilupakan.

Imaji

Puisi ini kaya dengan imaji yang menggugah:
  • Imaji visual: cerek tua, cangkir tembaga, jalur kuburan asing, nisan putih, dan batu jalan yang rengkah.
  • Imaji penciuman: bau kopi hangus yang tercium di udara.
  • Imaji pendengaran: dentang lonceng gereja dan gema mortir yang terus terngiang.
  • Imaji perasaan: dingin yang menusuk meski musim yang datang seharusnya hangat.

Majas

Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
  • Metafora: “ros Sarajevo” yang menjadi simbol luka berdarah sejarah.
  • Personifikasi: “buih perasan anggur kering pada meja,” yang membuat anggur seperti hidup dan menyimpan kenangan.
  • Hiperbola: “kau mengendap dari kolong ke kolong membekap kuat telinga Nadini kecil,” mempertegas ketakutan yang begitu intens saat perang.
  • Simbolisme: cerek tua, talam tua, dan cangkir tembaga tua melambangkan kenangan dan masa lalu yang membekas.

Esha Tegar Putra
Puisi: Di Ketinggian Alifakovac
Karya: Esha Tegar Putra

Biodata Esha Tegar Putra:
  • Esha Tegar Putra lahir pada tanggal 29 April 1985 di Saniang Baka, Kabupaten Solok, Indonesia.

Anda mungkin menyukai postingan ini

  • Penyair Buta kudengar kau bersenandung di tepi perigi, tapi tak semerdu rumi yang kerap mengukur dalamnya sepi. kau, begitu lembutnya mengusap kelopak mawar yang tangkainya b…
  • Sakit dalam parak, gugusan daun memendam kampung dalam lebam serupa tungku, serupa abu, serupa batu yang pecah diamuk bara dan kubaca kau dalam igau dalam parau tidur ya…
  • Perangkap : nirwan dewanto di lubuk: kau tertangkap dalam gelap, dalam malam matamu kini jadi lubuk dalam dan di dalamnya, akulah si penangkap belut dengan lengan yang s…
  • Ombak Laut Sailan Ombak laut sailan, sibakkan gerbang gelombang sebab kibaran selempangku akan membuat langit gelap. Dari pusar arus telah aku tunggangi belasan ma…
  • Perimba lelaki perimba tiba dari basah selatan membesuk ingatan yang tertinggal mirip getah damar. atau ingin menurunkan kapal yang disangkut dulu di batang besar? ah, heba…
  • Jalan Puisi fragmen 6 - daun jemariku angin, tak kuusap pipimu yang daun kumasuki pokok tanpa mengetuk helaimu ah, kularikan sajalah hijaumu. - pantai tepianmu…
© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.