Analisis Puisi:
Puisi "Bintang Jatuh" karya Gunoto Saparie merupakan karya yang menggambarkan suasana malam yang penuh renungan dan makna tersembunyi.
Tema
Puisi ini bertemakan tentang perenungan dan makna di balik fenomena alam, khususnya bintang jatuh. Ada kesan refleksi terhadap kehidupan, ketidakpastian, dan harapan yang tersembunyi di dalamnya.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini berkaitan dengan simbolisme bintang jatuh yang sering dikaitkan dengan perubahan, harapan, atau bahkan kehilangan. Penyair mengajak pembaca untuk merenungkan makna dari fenomena tersebut, apakah sebagai pertanda atau sebagai sesuatu yang fana dan tak terjangkau.
Puisi ini bercerita tentang pengalaman penyair melihat bintang jatuh di tengah malam. Ia kemudian merenungkan apakah itu sebuah pertanda dan menghubungkannya dengan misteri kehidupan. Dalam bait selanjutnya, penyair beralih ke pengamatan langit yang jernih dan bulan sabit, yang tampak begitu bersih dan indah, mencerminkan sesuatu yang suci dan berharga—mungkin menggambarkan sosok seseorang yang dikagumi.
Suasana dalam Puisi
Puisi ini menghadirkan suasana tenang dan penuh refleksi. Malam yang sunyi, langit yang jernih, dan fenomena bintang jatuh menambah kesan misterius dan melankolis.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Pesan dalam puisi ini dapat diartikan sebagai ajakan untuk merenungi kehidupan dan segala perubahannya. Seperti bintang jatuh yang lenyap dalam gelap, ada hal-hal dalam hidup yang tak dapat kita genggam atau pahami sepenuhnya. Namun, di balik itu, masih ada keindahan dan ketenangan seperti bulan sabit yang bersinar di langit malam.
Imaji
Puisi ini menghadirkan imaji visual yang kuat, seperti:
- "kulihat bintang jatuh / lenyap entah ke mana" → menggambarkan keindahan dan misteri bintang jatuh.
- "kulihat langit jernih / dan sepotong bulan sabit" → memberikan gambaran suasana malam yang tenang dan indah.
- "sebening parasmu bersih" → menghadirkan imaji keindahan seseorang yang dikaitkan dengan kesucian dan ketulusan.
Majas
- Personifikasi → "misteri tak teraba sampai jauh" → Misteri digambarkan seperti sesuatu yang bisa diraba, padahal abstrak.
- Metafora → "sebening katamu kalam" → Kata-kata yang jernih diibaratkan seperti kebeningan, menunjukkan ketulusan dan kejujuran.
- Simile (perbandingan) → "sebening parasmu bersih" → Menggambarkan kejernihan seseorang dengan kebeningan bulan sabit.
Puisi "Bintang Jatuh" merupakan puisi yang sederhana namun penuh makna. Penyair mengajak pembaca untuk merenungkan simbolisme bintang jatuh dan langit malam, yang bisa diartikan sebagai refleksi kehidupan, harapan, atau kehilangan. Dengan imaji yang kuat dan bahasa yang puitis, puisi ini berhasil menciptakan suasana melankolis dan reflektif bagi pembacanya.
Karya: Gunoto Saparie
GUNOTO SAPARIE. Lahir di Kendal, Jawa Tengah, 22 Desember 1955. Pendidikan formal Sekolah Dasar Kadilangu Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Pertama Cepiring Kendal, Sekolah Menengah Ekonomi Atas Kendal, dan Akademi Uang dan Bank Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Semarang. Pendidikan informal Madrasah Ibtidaiyyah Islamiyyah Tlahab Gemuh Kendal dan Pondok Pesantren KH Abdul Hamid Tlahab Gemuh Kendal.
Selain menulis puisi, juga mencipta cerita pendek, novel, esai, kritik sastra, dan artikel/opini berbagai masalah kebudayaan, pendidikan, agama, ekonomi, dan keuangan.
Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004) dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).
Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015).
Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia - Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta, dan Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah.
Sebelumnya sempat menjadi Wakil Ketua Seksi Budaya dan Film PWI Jawa Tengah dan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Tengah. Sering diundang menjadi pembaca puisi, pemakalah, dan juri berbagai lomba sastra di Indonesia dan luar negeri.
Selain menulis puisi, juga mencipta cerita pendek, novel, esai, kritik sastra, dan artikel/opini berbagai masalah kebudayaan, pendidikan, agama, ekonomi, dan keuangan.
Kumpulan puisi tunggalnya yang telah terbit adalah Melancholia (Damad, Semarang, 1979), Solitaire (Indragiri, Semarang, 1981), Malam Pertama (Mimbar, Semarang, 1996), Penyair Kamar (Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah, Semarang, 2018), dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).
Kumpulan esai tunggalnya Islam dalam Kesusastraan Indonesia (Yayasan Arus, Jakarta, 1986). Kumpulan cerita rakyatnya Ki Ageng Pandanaran: Dongeng Terpilih Jawa Tengah (Pusat Bahasa, Jakarta, 2004) dan Mendung, Kabut, dan Lain-lain (Cerah Budaya, Jakarta, 2019).
Ia pernah menerbitkan antologi puisi bersama Korrie Layun Rampan berjudul Putih! Putih! Putih! (Yogyakarta, 1976) dan Suara Sendawar Kendal (Karawang, 2015).
Puisi-puisinya terhimpun dalam berbagai antologi bersama para penyair Indonesia lain, termasuk dalam Kidung Kelam (Seri Puisi Esai Indonesia - Provinsi Jawa Tengah, 2018).
Saat ini ia menjabat Pemimpin Redaksi Kampus Indonesia (Jakarta) dan Tanahku (Semarang) setelah sebelumnya menjabat Redaktur Pelaksana dan Staf Ahli Pemimpin Umum Koran Wawasan (Semarang). Sempat pula bekerja di bidang pendidikan, konstruksi, dan perbankan. Aktif dalam berbagai organisasi, antara lain dipercaya sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT), Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah, Ketua Forum Komunikasi Wartawan Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Tengah (FKWPK), Pengurus Yayasan Cinta Sastra, Jakarta, dan Ketua III Komite Seni Budaya Nusantara (KSBN) Jawa Tengah.
Sebelumnya sempat menjadi Wakil Ketua Seksi Budaya dan Film PWI Jawa Tengah dan Ketua Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Jawa Tengah. Sering diundang menjadi pembaca puisi, pemakalah, dan juri berbagai lomba sastra di Indonesia dan luar negeri.