Puisi: Banjir di Pulau Jawa dan Sakitnya Sang Jendral (Karya Mawie Ananta Jonie)

Puisi "Banjir di Pulau Jawa dan Sakitnya Sang Jendral" adalah kritik tajam terhadap kondisi sosial dan politik di Indonesia, khususnya terkait ...
Banjir di Pulau Jawa dan Sakitnya Sang Jendral

Masih gelap di luar lampu jalan masih belum lagi dipadamkan,
aku mencigap keluar pintu langit kelabu tanpa bintang berkilauan.

Terasa lebat hujan di Jakarta banjir menggenangi ibukota,
anak anak berenang di jalanan Gubernur meninjau dari angkasa.

Jendral itu sakit berat para mentri dan presiden datang berkunjung,
mereka penguasa berpangkat tempat Suharto kini bisa berlindung.

Ada doa, saran pemberian ampun bila sang Jendral mati,
apakah soal perburuan manusia dan penggelapan harta sampai di sini.

Sepi jalanan di sana banjir dan derita rakyat pulau Jawa jadi satu,
bila sang Jendral pergi perginya dibebani dosa dosanya masa lalu.

Tangannya telah mencincang, bahunya mesti memikul!

Amsterdam, 5 Januari 2008

Analisis Puisi:

Puisi "Banjir di Pulau Jawa dan Sakitnya Sang Jendral" Karya Mawie Ananta Jonie mengangkat tema kritik sosial dan politik, khususnya mengenai kondisi banjir yang melanda Pulau Jawa serta keadaan seorang jenderal yang sakit. Puisi ini menggambarkan ketimpangan sosial di mana rakyat menderita akibat bencana, sementara penguasa berada di posisi yang lebih aman.

Makna Tersirat

Makna tersirat dalam puisi ini adalah kritik terhadap ketidakadilan yang terjadi di masyarakat. Penyair ingin menunjukkan bagaimana rakyat harus menghadapi penderitaan akibat banjir, sementara para pemimpin berada dalam posisi lebih nyaman. Selain itu, puisi ini juga menyinggung beban moral dan dosa masa lalu seorang pemimpin, yang mungkin berkaitan dengan tindakan-tindakan kontroversial selama masa kekuasaannya.

Puisi ini bercerita tentang dua peristiwa yang terjadi secara bersamaan: banjir di Pulau Jawa dan sakitnya seorang jenderal. Banjir melanda rakyat kecil, yang bahkan terlihat berenang di jalanan, sementara seorang jenderal yang sakit mendapatkan perhatian besar dari para pejabat negara. Ada pertanyaan moral dalam puisi ini, apakah dosa-dosa masa lalu sang jenderal akan ikut sirna bersama kepergiannya atau tetap menjadi beban sejarah.

Suasana dalam Puisi

Puisi ini menciptakan suasana muram dan penuh ironi. Hujan lebat, banjir, dan penderitaan rakyat digambarkan berdampingan dengan kemegahan dan kekuasaan seorang jenderal yang sedang sakit.

Amanat / Pesan yang Disampaikan

Puisi ini mengingatkan pembaca bahwa setiap tindakan memiliki konsekuensinya sendiri. Seorang pemimpin yang memiliki sejarah penuh kontroversi tidak bisa begitu saja lepas dari tanggung jawab moralnya. Selain itu, puisi ini juga menyindir ketimpangan sosial yang terjadi di negara ini, di mana penderitaan rakyat sering kali tidak mendapatkan perhatian sebesar persoalan yang menimpa para pemimpin.

Imaji

  • Imaji Visual: "Anak-anak berenang di jalanan, Gubernur meninjau dari angkasa" → menciptakan gambaran yang kontras antara penderitaan rakyat kecil dan sikap penguasa.
  • Imaji Auditori: "Masih gelap di luar, lampu jalan masih belum dipadamkan" → menggambarkan suasana kota yang masih dalam kegelapan, menciptakan kesan sepi dan muram.
  • Imaji Kinestetik: "Tangannya telah mencincang, bahunya mesti memikul!" → memberikan kesan gerakan, seolah-olah ada konsekuensi yang tak bisa dihindari.

Majas

  • Majas Ironi: "Anak-anak berenang di jalanan, Gubernur meninjau dari angkasa" → mengkritik ketimpangan sosial antara rakyat yang menderita dan pemimpin yang melihat dari kejauhan tanpa merasakan langsung penderitaan itu.
  • Majas Metafora: "Tangannya telah mencincang, bahunya mesti memikul!" → menyiratkan bahwa seseorang harus bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri.
  • Majas Personifikasi: "Langit kelabu tanpa bintang berkilauan" → memberikan kesan alam yang turut bersedih dalam situasi yang terjadi.
Puisi "Banjir di Pulau Jawa dan Sakitnya Sang Jendral" adalah kritik tajam terhadap kondisi sosial dan politik di Indonesia, khususnya terkait dengan ketimpangan antara penderitaan rakyat dan kenyamanan para pemimpin. Penyair menyoroti bagaimana sejarah seorang pemimpin tidak bisa begitu saja dihapus, karena setiap tindakan memiliki konsekuensinya sendiri. Dengan gaya bahasa yang kuat dan penuh sindiran, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan keadilan, tanggung jawab, dan realitas sosial di negeri ini.

Sepenuhnya
Puisi: Banjir di Pulau Jawa dan Sakitnya Sang Jendral
Karya: Mawie Ananta Jonie

Anda mungkin menyukai postingan ini

© 2025 Sepenuhnya. All rights reserved.