tt. H (1)
Seperti boneka yang ingin jadi manusia
Tinggiku satu tujuhpuluh: mau apa!
– tapi saya bilang dengan terus terang:
Di rumahku aku terpaksa membungkuk lewat pintu –
Jadi: apa mau dikata?
Akan kubakar dalam api –
– beruntung telah uput aksi bumi hangus –
Hingga kau menyesal di kemudian hari?
Marilah! Kau kuajar melihat mega, dan
– kau menyerah berarti mesti kucemplungkan sumur
– kemenangan dengan mudah, tidak berarti –
Korbankan darah untuk memanaskan hati!
Lagi: korek api tersedia dalam saku celanaku.
tt. H (2)
ini negeri dari mega dan bayang-bayang
dan pun rakyatnya makan malam
dan udara terang cuaca
dan bulan di awang-awang
dan angin tidak liwat mendesau
– belum, karena musim belumlah datang –
dan gadis-gadis tidak dendang merayu
dan kejauhan tidak menghimbau –
dan aku lemas
dan aku bebas
alam tenang, dan engkaupun seperti mengerti.
Sumber: Zenith (Juli, 1952)
Analisis Puisi:
Puisi "tt. H" karya P. Sengodjo mengangkat tema kegelisahan eksistensial dan pencarian identitas. Ada nuansa pemberontakan terhadap kondisi yang ada serta refleksi mengenai makna kebebasan dan kehidupan.
Makna Tersirat
Makna tersirat dalam puisi ini adalah perlawanan terhadap keterbatasan yang ditentukan oleh keadaan atau lingkungan. Dalam tt. H (1), terdapat gambaran individu yang merasa tertekan oleh keadaan, baik secara fisik maupun psikologis. Ia berbicara tentang kehendaknya untuk membakar sesuatu, yang bisa diartikan sebagai kehancuran demi perubahan atau bentuk pemberontakan. Sementara dalam tt. H (2), suasana lebih tenang, seolah ada penerimaan terhadap keadaan, tetapi tetap menyiratkan kesunyian dan ketidakpastian.
Puisi ini bercerita tentang seseorang yang mengalami pergolakan batin antara keinginan untuk melawan keterbatasan dan pencarian kebebasan. Dalam bagian pertama, penyair mengekspresikan frustrasi dengan membandingkan dirinya dengan boneka yang ingin menjadi manusia, mencerminkan perasaan terkungkung. Sementara bagian kedua menghadirkan gambaran negeri yang tenang namun tetap menyimpan ketidakpastian.
Suasana dalam Puisi
Bagian pertama (tt. H (1)) memiliki suasana tegang, penuh gejolak, dan sedikit bernuansa ancaman. Ada perasaan tertekan dan keinginan untuk melakukan sesuatu yang drastis. Sementara bagian kedua (tt. H (2)) lebih tenang, melankolis, dan sedikit kontemplatif, seolah menggambarkan pasrah terhadap keadaan.
Amanat / Pesan yang Disampaikan
Puisi ini menyampaikan pesan bahwa kebebasan dan identitas tidak selalu mudah diperoleh. Ada pergulatan batin dalam menghadapi realitas hidup, dan terkadang ketenangan yang terlihat dari luar menyembunyikan keresahan di dalam diri seseorang.
Imaji
Widjati menggunakan imaji yang kuat untuk memperkuat makna puisi, seperti:
- Imaji visual: "Seperti boneka yang ingin jadi manusia", "bulan di awang-awang" memberikan gambaran kontras antara realitas dan harapan.
- Imaji pendengaran: "dan gadis-gadis tidak dendang merayu" menciptakan kesan keheningan dan ketenangan yang tidak biasa.
- Imaji sentuhan: "dan aku lemas" menghadirkan sensasi fisik yang menggambarkan perasaan kehilangan kekuatan atau kepasrahan.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Majas Metafora: "Seperti boneka yang ingin jadi manusia" menggambarkan perasaan tidak puas dengan keadaan saat ini.
- Majas Personifikasi: "ini negeri dari mega dan bayang-bayang" memberikan kesan bahwa negeri itu bukan sekadar tempat, tetapi memiliki sifat seperti manusia.
- Majas Paradoks: "dan aku lemas, dan aku bebas" menunjukkan kontradiksi antara kelemahan dan kebebasan, yang bisa diartikan sebagai bentuk kebebasan yang diperoleh melalui kepasrahan.
Puisi "tt. H" karya P. Sengodjo adalah refleksi tentang perjuangan individu melawan keterbatasan serta pencarian kebebasan. Bagian pertama menggambarkan perlawanan, sementara bagian kedua menyiratkan ketenangan yang mungkin merupakan bentuk penerimaan terhadap keadaan. Dengan penggunaan imaji yang kuat dan gaya bahasa yang ekspresif, puisi ini menghadirkan makna mendalam tentang eksistensi dan kebebasan manusia.
Karya: P. Sengodjo
Biodata P. Sengodjo:
- P. Sengodjo (nama sebenarnya adalah Suripman) lahir di Desa Gatak, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, pada tanggal 25 November 1926.
- Dalam dunia sastra, Suripman suka menggunakan nama samaran. Kalau menulis puisi atau sajak, ia menggunakan nama kakeknya, yaitu Prawiro Sengodjo (kemudian disingkat menjadi P. Sengodjo). Kalau menulis esai atau prosa, ia menggunakan nama aslinya, yaitu Suripman. Kalau menulis cerpen, ia juga sering menggunakan nama aslinya Suripman, tapi kadang-kadang menggunakan nama samaran Sengkuni (nama tokoh pewayangan).