Tembang Nelayan Dinihari
ada yang terkabarkan dari kepulangan itu
geladak perahumu bau ikan dan membisu
sementara tangan-tangan ombak menyatu
sangsi dan lesu
adakah keringatmu masih berbau garam?
keletihan adalah buih-buih yang menghilang
di laut yang tak lagi jernih
di zaman yang semakin pedih
tapi kenapa termangu-mangu
memandang nasib di cermin waktu?
pulanglah bersama lintang kemukus
gugusan pulau di jauhan
gugusan risau di genggaman
meskipun kita hanya tahu:
di ujung sana ada batas
Parepare, 1997
Analisis Puisi:
Puisi "Tembang Nelayan Dinihari" karya Tri Astoto Kodarie mengangkat kisah para nelayan yang kembali dari melaut, membawa hasil tangkapan sekaligus perenungan tentang kehidupan mereka. Puisi ini tidak hanya menggambarkan realitas keseharian nelayan tetapi juga menyiratkan makna yang lebih dalam tentang perjuangan hidup di tengah perubahan zaman yang semakin sulit.
Tema
Puisi ini mengangkat tema kehidupan nelayan dan perjuangan menghadapi realitas kehidupan. Selain itu, puisi ini juga menyoroti perubahan zaman yang berdampak pada kehidupan masyarakat pesisir.
Makna Tersirat
Puisi ini menyiratkan kehidupan nelayan yang penuh kerja keras, ketidakpastian, dan tantangan zaman yang semakin berat. Beberapa bagian puisi yang memperlihatkan makna ini antara lain:
- "Geladak perahumu bau ikan dan membisu" → Menggambarkan kondisi perahu setelah melaut, dengan aroma ikan yang kuat, tetapi tetap terasa sepi dan sunyi. Ini bisa mencerminkan kelelahan dan ketidakpastian hasil tangkapan mereka.
- "Di laut yang tak lagi jernih, di zaman yang semakin pedih" → Mengisyaratkan bahwa kondisi laut sudah tidak sebaik dulu, baik secara ekologis maupun secara ekonomi.
- "Memandang nasib di cermin waktu" → Menggambarkan refleksi para nelayan tentang kehidupan mereka, mempertanyakan masa depan dan kondisi yang semakin sulit.
Puisi ini bercerita tentang perjalanan pulang seorang nelayan setelah melaut, yang diiringi dengan perenungan tentang kehidupan dan perubahan zaman. Ada kesan kelelahan dan kekhawatiran dalam puisi ini, seolah sang nelayan tidak hanya membawa hasil tangkapan, tetapi juga membawa beban pikiran tentang nasibnya.
Suasana dalam Puisi
Suasana dalam puisi ini terasa melankolis, penuh perenungan, dan sedikit pesimistis. Ada gambaran kelelahan, kebimbangan, dan ketidakpastian akan masa depan, seperti yang tercermin dalam kata-kata "sangsi dan lesu" serta "termangu-mangu memandang nasib".
Imaji
Puisi ini memiliki beberapa imaji visual dan imaji perasaan yang memperkuat suasana melankolis dan perenungan:
1. Imaji visual:
- "Geladak perahumu bau ikan dan membisu" → Menghadirkan gambaran perahu nelayan yang basah dengan bau ikan, tetapi tetap terasa sunyi.
- "Lintang kemukus, gugusan pulau di jauhan" → Menggambarkan pemandangan laut yang luas dengan gugusan pulau di kejauhan.
2. Imaji perasaan:
- "Keletihan adalah buih-buih yang menghilang" → Menggambarkan kelelahan nelayan yang seolah sirna seiring dengan perjalanan waktu.
- "Memandang nasib di cermin waktu" → Menghadirkan rasa bimbang dan ketidakpastian akan masa depan.
Majas
Beberapa majas yang digunakan dalam puisi ini antara lain:
- Majas personifikasi, seperti "tangan-tangan ombak menyatu" yang memberikan sifat manusiawi pada ombak.
- Majas metafora, seperti "keletihan adalah buih-buih yang menghilang" yang menggambarkan rasa lelah sebagai sesuatu yang cepat hilang seperti buih di laut.
- Majas simbolik, seperti "di ujung sana ada batas" yang bisa diartikan sebagai keterbatasan dalam kehidupan, baik dalam hal nasib maupun harapan.
Puisi "Tembang Nelayan Dinihari" karya Tri Astoto Kodarie menggambarkan perjalanan pulang seorang nelayan yang diiringi dengan refleksi tentang kehidupan dan ketidakpastian masa depan. Dengan suasana melankolis dan penggunaan imaji yang kuat, puisi ini mengajak pembaca untuk merenungkan perjuangan nelayan dalam menghadapi kehidupan yang semakin berat di tengah perubahan zaman.
Puisi: Tembang Nelayan Dinihari
Karya: Tri Astoto Kodarie
Biodata Tri Astoto Kodarie:
- Tri Astoto Kodarie lahir di Jakarta, pada tanggal 29 Maret 1961.