Aceh sedang tidak baik-baik saja.

Puisi: Tarawih (Karya Aspar Paturusi)

Puisi "Tarawih" karya Aspar Paturusi adalah refleksi spiritual yang mendalam tentang ketulusan ibadah di tengah keterbatasan manusia. Lewat bahasa ...
Tarawih

tak kau lihat ada setumpuk kata di halaman
ingin menghimpun diri ke dalam satu kalimat
namun kini tak ada yang mengandung makna
walau hanya sebaris doa
diucapkan terbata-bata

inilah saat-saat paling mulia
mengirim salam pada-Nya
dan akan kau tahu kepada siapa
Dia memalingkan wajah
lalu ada senyum-Nya

bila kau tak mampu menyatukan kata-kata
jauhkan sedih dari rangkaian kalimat
atau amarah
atau putus asa

jadi juga kita sujud pada-Nya
saat kita tarawih bersama?

Jakarta, 1 Agustus 2011

Analisis Puisi:

Tema utama dalam puisi ini adalah spiritualitas dan pencarian makna dalam ibadah tarawih. Puisi ini menggambarkan perenungan batin seorang hamba saat menjalankan salat tarawih, di mana kata-kata, doa, dan niat sering kali terasa terseok, namun tetap berusaha dihaturkan kepada Tuhan.

Makna Tersirat

Makna tersirat dari puisi ini adalah kejujuran dalam beribadah dan pentingnya kesadaran batin saat berdialog dengan Tuhan. Penyair ingin menyampaikan bahwa tarawih bukan hanya sekadar ritual fisik, melainkan juga ruang untuk menyampaikan doa, harapan, dan bahkan kegamangan hati.

Di balik doa yang terbata-bata dan kata-kata yang sulit terangkai, ada kesadaran bahwa Tuhan selalu mendengar. Puisi ini juga menyiratkan bahwa kehadiran hati jauh lebih penting daripada keindahan kata-kata dalam doa.

Puisi ini bercerita tentang pergulatan batin seorang manusia saat menjalankan salat tarawih. Di momen tersebut, ia ingin mengungkapkan doa dan perasaan, tetapi kata-kata terasa sulit terucap. Dalam keraguan dan ketidaksempurnaan doa, ia tetap bersujud, menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Tuhan. Puisi ini menunjukkan bahwa setiap manusia—seberapa pun gelisah dan rapuhnya—tetap memiliki kesempatan untuk mendekat kepada-Nya.

Suasana dalam Puisi

Suasana dalam puisi ini terasa hening, reflektif, dan sarat makna religius. Ada campuran antara ketulusan, rasa canggung, dan harapan yang mewarnai momen ibadah tersebut.

Amanat / Pesan yang Disampaikan Puisi

Pesan utama yang ingin disampaikan adalah bahwa ibadah bukan soal indah atau sempurnanya doa yang dirangkai, melainkan tentang ketulusan hati yang mendekat dan berserah kepada Tuhan. Bahkan jika doa diucapkan terbata-bata, Tuhan tetap mendengar dan menyambut hamba-Nya.

Puisi ini juga mengajak pembaca untuk memandang tarawih lebih dari sekadar rutinitas, tetapi sebagai momen sakral bertemu Tuhan, di mana setiap sujud adalah bentuk komunikasi paling jujur.

Imaji

Beberapa imaji yang hadir dalam puisi ini antara lain:
  • Imaji visual: "setumpuk kata di halaman" memberi gambaran tentang doa-doa yang ingin dituliskan atau diucapkan.
  • Imaji perasaan: "diucapkan terbata-bata" menghadirkan rasa canggung dan haru saat ingin berdoa.
  • Imaji sensorik: "sujud pada-Nya" menghadirkan kesan taktil (rasa bersujud), yang mengingatkan pada pengalaman fisik dan spiritual dalam salat.

Majas

Beberapa majas yang dapat ditemukan dalam puisi ini:
  • Personifikasi – "kata-kata ingin menghimpun diri" seolah-olah kata-kata hidup dan memiliki kehendak.
  • Metafora – "setumpuk kata di halaman" bisa dimaknai sebagai kumpulan doa atau perasaan yang ingin disampaikan.
  • Apostrof – Puisi ini secara implisit menyapa Tuhan, membentuk suasana dialog spiritual yang intim.
Puisi "Tarawih" karya Aspar Paturusi adalah refleksi spiritual yang mendalam tentang ketulusan ibadah di tengah keterbatasan manusia. Lewat bahasa sederhana, puisi ini mengingatkan bahwa Tuhan tidak menuntut doa yang sempurna, tetapi hati yang jujur dan tulus dalam sujudnya.

Tarawih bukan sekadar rangkaian gerakan fisik, melainkan ruang kontemplasi batin di mana manusia—seberapa pun rapuhnya—diberi kesempatan untuk berdialog langsung dengan Tuhan.

Aspar Paturusi
Puisi: Tarawih
Karya: Aspar Paturusi

Biodata Aspar Paturusi:
  • Nama asli Aspar Paturusi adalah Andi Sopyan Paturusi.
  • Aspar Paturusi lahir pada tanggal 10 April 1943 di Bulukumba, Sulawesi Selatan.
© Sepenuhnya. All rights reserved.